30 November 2004

Munir Mati

Munir, orang yang sangat terkenal saat masa gonjang-ganjing 1998 karena membela orang-orang yang hilang diculik tentara, mati saat berada di pesawat Garuda rute Jakarta-Belanda, kira-kira tiga bulan lalu. Kabarnya karena gangguan kesehatan, entah itu lever atau ginjal.

Waktu saya lihat berita itu di Metro TV, saya langsung ambil kesimpulan bahwa ia mati dibunuh. Saya rasa waktu itu kok banyak yang tak wajar, entah itu apa, tapi banyak yang tidak cocok di sana. Saat itu, kok saya merasa saya adalah Hercule Poirot. Apalagi ternyata, kisah kematian Munir sangat mirip dengan salah satu cerita Agatha Christie, sayangnya judulnya saya lupa.

Sayangnya lagi, saya kemudian tak memaksa sel-sel abu-abu saya untuk bekerja. Karena percuma juga kan? Baru belakangan hari ini saya melanjutkan kecurigaan saya setelah berita-berita mengatakan kalau si Munir mati di racun: satu metode yang sering digunakan oleh para tokoh pembunuh di novel Christie itu. Sekarang kematian Munir sedang diselidiki. Banyak yang terlibat, bahkan hingga presiden.

Seiring dengan itu, istri Munir diteror. Si peneror, langsung tidak langsung menyebut diri sebagai tentara. Tetapi si boss tentara, namaya Endriatono Sutarto, langsung memperingatkan untuk menjauhkan TNI dari kematian Munir. Sekarang, semua sedang tak punya petunjuk, apalagi si polisi kita itu.

Padahal kalau mengikuti plot cerita Hercule Poirot, ada pertanyaan mendasar yang pantas diajukan: siapa yang diuntungkan secara finansial oleh kematian Munir.

Untuk menjawab itu semua orang harus dicurihai, termasuk istrinya atau ahli warisnya. Apalagi ternyata sang istri adalah salah seorang yang punya akses memasukan racun beberapa saat sebelum Munir naik pesawat. Dari sini pertanyaan bisa dikembangkan: apakah Munir menyeleweng dengan perempuan lain, atau justru istrinya yang menyeleweng, atau pertanyaan seputar itu. Adakah orang lain? Mestinya para penyelidik mengungkap berapa kekayaan Munir dan siapa saja yang akan menerima limpahannya kalau dia mati. Pertanyaan dapat berkembang di tempat Munir biasa beraktivitas sehari-hari.

Jika tak ditemukan bukti kuat, maka harus dicari yang diuntungkan secara politis? Nah, jawaban ini sih tak akan ditemukan. Karena itu, pembunuh Munir yang sebenarnya juga tidak akan ketemu. Paling-paling yang akhirnya muncul si antah berantah yang dikambing-hitamkan.

Mungkin kita perlu seorang Hercule Poirot yang bisa kerja sehingga segala penjahat yang merajalela di Indonesia ditangkap dan dihukum.

Kalau tetap mengandalkan polisi kita yang sekarang, pasti jadinya lucu... sumpah!

08 October 2004

Kalah Menang

Ada situasi di mana dua pihak berdiri berhadap-hadapan, bertanding, lalu ada yang kalah dan ada yang menang. Situasi ini terjadi di Indonesia selama tahun 2004, melalui pemilihan umum, pemilihan presiden tahap satu dan paling kentara di putaran kedua pilpres. Hasilnya, Mega kalah dan SBY menang.

Ada banyak orang yang mencoba bijak dengan mengatakan tidak ada yang kalah, semuanya menang atau menegaskan bahwa yang menang adalah rakyat, bukan Mega dan SBY. Mengapa harus malu-malu bahwa memang ada yang kalah dan ada yang menang saat situasi serupa begitu kentara dan gamblang dipamerkan waktu pemilihan ketua DPR, DPD dan MPR.

Ada juga klaim kemenangan berupa iklan satu halaman penuh di berbagai media yang dibuat oleh pengacara Hotman Paris Hutapean mewakili kliennya yang dimenangkan oleh keputusan MA melawan pejabat-pejabat negara, antara lain Laksamana Sukardi dan Tumenggung, mantan ketua bekas BPPN.

Ada situasi-situasi di mana orang juga sering tidak mengaku kalah padahal semua orang tahu dia kalah. Misalnya Polri yang kecolongan lolosnya Adrian Woworuntu dan kegagalan mereka menangkap tersangka teroris asal Malaysia, Dr Azahari dan Noordin Moh Top.

Ada juga yang kalah tapi masih berusaha untuk terus berkuasa. Misalnya Golkar dan PDIP yang mau melakukan apa saja asal mereka bisa menjadi pimpinan lembaga legislatif di berbagai propinsi.

Ada yang kalah terus menerus dan kendati sudah tahu kalah tidak pernah belajar dan berusaha keras untuk bisa jadi pemenenang. Mereka ini adalah timnas sepakbola PSSI yang selalu kalah dalam kategori umur apapapun dan di turnamean apapun.

Sementara, jarang ada pemenang yang mencoba tetap arif dan menjadi orang biasa-biasa saja. Misalnya SBY yang kabarnya begitu jumawa bahwa dirinya saja sebenarnya mampu menjadi pilihaan rakyat tanpa harus berpasangan dengan Jusuf Kalla. Kemenangan selalu diterima dengan berlebih-lebihan sehingga membuat orang lupa. Coba ingat bagaimana Elly Pical dielu-elukan, lalu hilang.

Terus.... apa lagi ya kemenangan yang pernah terjadi di negara kita, oleh negara kita, kok susah banget mengingat-ingat ya... rasa-rasanya kita ini kalah melulu.

Oh ya, kita ini sering menang di lomba-lomba sains belakangan hari ini, tapi kok justru tak ada yang peduli itu. Pemenang AFI 1 dan 2, juga Indonesian Idol, lalu KDI ternyata lebih dipuja.... dan lucunya, sebenarnya mereka bukan pemenang, sebab sebenarnya mereka tak mengalahkan siapapapun juga.

Jadi, kata kalah sebenarnya tak ada rujukannya di dunia nyata Indonesia, sebab semua orang merasa jadi pemenang. Jikapun orang yang kalah merasa kalah, dia akan selalu ditenangkan orang banyak bahwa dia hanya tidak beruntung. Sebaliknya, kata menang punya ekspresi yang lebih beragam..

Atau sebenarnya bukan Indonesia saja yang tidak mengenal kata kalah... Mungkin akan lebih tepat apabila kalah diganti menjadi belum-menang.

Tauk ah gelep.......

07 October 2004

Jangan iri

Merit sebagai kata benda dapat ditafsirkan sebagai kualitas yang mengagumkan; sebagai kata kerja dia berarti layak atau memiliki nilai tertentu. Sistem merit yang diterapkan Singapura dalam rekrutmen SDM adalah pemilihan individual untuk menempati pos jabatan tertentu sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan kepantasan yang dirasa oleh si individu tersebut.

Sehingga, seseorang yang telah bekerja di, misalnya Departemen Pertahanan sejak lulus kuliah, lalu menekuni studi geopolitik serta berbagai keahlian atau pengetahuan lain dan ia mahir serta menguasai apa yang telah ia pelajari, maka dia pantas untuk memperoleh jabatan tertinggi, atau setidaknya penting, di dalam departemen tersebut, dengan fasilitas finansial yang membuatnya nyaman bekerja.

Di Indonesia jaman Orde Baru, sistem merit tidak diterapkan secara menyeluruh. Ada satu dua, tetapi pada umumnya rekrutmen pegawai lebih karena kedekatan seseorang kepada pusat kekuasaan. Istilah yang biasa dipakai adalah patron-client atau hubungan Bapak-anak. Di dalam lembaga kepolisian, ada sistem jendela. Maksudnya, apabila ada seorang polisi yang sering mondar-mandir di luar jendela atasannya, maka ia akan dengan mudah diingat apabila ada promosi jabatan.

Jadi orang-orang yang duduk di jabatan tertentu di dalam pemerintahan saat itu dipilih bukan karena kemampuannya atau karena orang tadi pantas menempati pos itu, melainkan karena tekad dan niat si orang yang ditunjuk untuk patuh dan memperkuat posisi atasannya, baik jabatan ataupun harta bendanya. Gampangnya, selain memberi upeti, seorang bawahan juga harus bersedia pasang badan melindungi atasannya.

Pada jaman itu juga sistem merit juga tidak terjadi di perusahaan swasta nasional. Kekeluargaan, persahabatan, geng adalah mekanisme perekrutan, khususnya untuk posisi-posisi vital dalam usaha tersebut. Ada yang baik, tetapi kebanyakan tidak. Sebab kultur itu ternyata menjalar hingga ke tingkat terendah. Jadi, si pesuruh kantor akan merekrut saudaranya apabila ada lowongan kerja serabutan. Si kepala proyek akan mengajak teman mainnya untuk jadi pelaksana proyek. Dan seterusnya. Walhasil, seluruh perusahaan diurus oleh orang yang kenal satu sama lain di masa sebelumnya.

Akibatnya, pengelolaan perusahaan menjadi tidak sempurna sebab ada ewuh pakewuh, sopan santun, tak enak, dan perasaan personal lainnya. Atau, karena kedekatan ini, pengelolaan perusahaan jadi tidak efisien sebab bila ada penyelewengan, semua bisa diajak bekerja sama.

Dampak lebih lanjut adalah ada orang yang kebagian uang banyak, ada orang yang kebagian sedikit, bahkan ada yang tidak menerima bagian sama sekali. Golongan yang tidak kebagian adalah mereka yang tidak dekat dengan kekuasaan, tidak bersaudara dengan salah satu pejabat yang berkuasa; mereka adalah orang-orang yang terpaksa bekerja keras mencari uang sebanyak-banyanknya dengan cara yang benar. Sebab orang-orang ini tidak memiliki kesempatan melakukan penyelewengan yang menguntungkan dirinya secara finansial. Orang-orang ini bisa jadi lebih mahir dan kompeten dalam pekerjaannya, akan tetapi karena kultur budaya tidak memungkinkan mereka naik pangkat atau memegang jabatan penting, mereka biasanya akan menjadi kacung selama hidupnya. Artinya, dialah sebenarnya yang bekerja, tetapi orang lain yang menikmati hasilnya.

Dapat disimpulkan, apabila sistem merit diberlakukan kepada orang dalam golongan terakhir, maka seharusnya dialah yang memegang jabatan penting dengan gaji yang sepadan dengan kemampuannya itu.

Apakah sekarang sistem merit sudah dapat diterapkan? Belum juga, sebab kultur kedekatan adalah cara yang sudah ada dan dipelihara selama bertahun-tahun oleh berbagai budaya di Indonesia. Sehingga, memerlukan waktu yang teramat lama untuk mengubah pola pikir semacam itu. Bahkan, sejujurnya, pola ini tidak akan pernah lenyap, mengingat bahwa sistem ini ternyata menguntungkan bagi orang yang termasuk di dalamnya. Bagi mereka yang tidak termasuk ke dalam sistem, alih-alih mempromosikan cara baru dalam rekrutmen, mereka justru berusaha masuk ke dalam sistem.

Yang tidak berhasil, jangan iri, kendati sistem itu menyebalkan bukan main. Cara paling tepat adalah membangun pusat kekuasaan sendiri bagaimanapun caranya.

Inilah Indonesia kita!


26 August 2004

Masa Lalu

Banyak pencipta lagu yang terinspirasi oleh masa lalu. Ada lagu yang mengenang masa indah dengan teman karib atau pacar tercinta. Ada juga tentang kemalangan hidup. Biar beda temanya, lagu bersyair masa lalu selalu enak didengar dan dikenang.

Satu hal yang dapat ditarik dari kecenderungan manusia mengingat masa lalu adalah kenyataan bahwa masa lalu dapat dikontrol. Artinya, masa lalu yang dilihat dari masa kini sudah beku, diam dan permanen. Karena sifatnya yang tak bergerak-gerak itulah, masa lalu jadi gampang untuk ditafsir ulang, diambil hikmahnya, diberi nilai yang barangkali berguna bagi dirinya untuk, antara lain, memotivasi dirinya menghadapi masa kini dan masa depan.

Tetapi ada juga yang fatal. Masa lalu dijadikan pegangan hidup. Misalnya, di zaman Orde Baru,militer, khususnya Angkatan Darat, sangat kuat dan mereka dapat menjamin keamanan dan kenyamanan penduduknya. Sayangnya, pada masa itu orang non militer jadi tak punya kesempatan mengaktualisasikan dirinya. Sebab jabatan apapun, khususnya di pemerintahan, adalah jatah militer. Jadinya, orang sipil yang belajar mati-matian dari SD hingga kuliah S-3, akan selalu jadi kacung karena pejabat tertingginya militer, walaupun si militer tadi tak punya keahlian babar-blas. Masak iya, mantan jenderal jadi komisaris bank?

Nah ada banyak orang yang ingin keadaan kita saat ini kembali ke masa lalu itu. Alasannya cukup jelas: lelah menghadapi hidup sekarang yang tak pernah jelas juntrungnya. Para politisi terlalu banyak cakap tapi tak mahir bertindak. Rakyat banyak, yah... jadi korban juga. Sebab itu daripada jadi korban masa sekarang yang jelas-jelas tak enak, lebih baik jadi korban Orde Baru tapi bisa makan dan hidup enak...

Jadi kembali ke masa Orba tak fatal dong? .... kelihatannya enggak juga tuh. Duh... manusia memang selalu rindu pada masa lalu. Manusia memang selalu enggan dan takut menghadapi masa depan. Ini adalah masalah mengetahui dan tidak mengetahui.

Situasi ini seperti pacar lama dan pacar baru saja. Kita tentu sudah tahu siapa dan bagaimana pacar lama kita. Dan karena kita sudah tahu, kita juga tahu hal terbaik yang bisa kita berikan ke pacar lama itu dan apa yang harus direncanakan dan bagaimana mewujudkannya. Sementara dengan pacar baru, yang layaknya hal baru, semuanya harus dicoba. Bila gagal, ya sudah, cari yang baru atau kalau mau sedikit sabar, coba lagi, sampai berhasil. Dan bila sudah berhasil, silakan lah cari pacar baru. Atau bertahan seumur hidup dengan pacar itu.

Hidup, dalam konteks ini, adalah avonturir! Seseorang bertambah pengetahuannya karena rasa ingin tahu, dan seseorang bertambah bijak karena ia ragukan kebenaran yang ada dan menciptakan kebenaran bagi dirinya sendiri.

Jadi tak usah sesali masa lalu!

24 August 2004

Bela Diri

Sewaktu SMP saya ditawari untuk ikut pelajaran bela diri. Dari silat, karate, teakwondo, semuanya saya tolak. Saya pikir waktu itu belum tentu pelajaran itu berguna apabila kita menghadapi, misalnya, tawuran sekolah. Saya bilang kepada teman-teman saya, bila keadaan memaksa seseorang membela diri, tak ada orang yang akan ingat teknik berkelahi yang benar. Pokoknya asal hantam saja.

Alasan lain yang tak saya katakan pada mereka adalah saya takut berkelahi. Buat saya adu fisik itu benar-benar tak masuk akal. Lha wong kita punya mulut dan akal, masak iya tak bisa membuat yang bertentangan jadi rukun. Lain hal juga adalah kenyataan bahwa mereka yang sudah memiliki teknik bela diri, cenderung berkeinginan mempraktekan itu. Lain kata, dia akan cari masalah dengan orang dan sesudahnya dia dapat mempraktekan keahliannya itu.

Dan itu benar. Orang yang punya ilmu bela diri pasti akan lebih petantang-petenteng. Dia akan bergaya sok jago. Memang ada yang dengan bijak bertingkah laku seperti orang biasa, tetapi tindak tanduk itu akan ia tampakkan bila sudah berusia banyak. Bagi mereka yang baru memperoleh ilmu bela diri, dapat dipastikan bahwa orang tadi akan bergaya berlebihan.

Mau bukti. Parto anggota kelompok pembanyol Patrio, baru-baru ini menembakkan pistolnya ke langit-langit Planet Hollywood karena jengkel dikerumuni para wartawan. Ia mengaku bahwa dia baru dua bulan memiliki izin kepemilikan pistol dan karena baru, ia gagah-gagahan. Pasti akan lain kejadiannya jika ia tak punya pistol itu kan?


20 August 2004

Buruan Cium Gue

Ini judul film bioskop buatan Indonesia. Sudah dirilis, tapi harus ditarik kembali sebab ada adegan ciuman yang tak disensor.

Yang meminta menarik adalah perwakilan Islam, antaranya Majelis Ulama Indonesia dan Aa Gym. Alasannya adegan tersebut dapat mengajak para anak muda melakukan zina. Akhirnya Lembaga Sensor Film yang tadinya meloloskan film itu, harus mengeluarkan surat pembatalan Surat Lulus Sensor. Si pembuat film, Raam Punjabi, berharap film itu dapat dirilis lagi setelah adegan itu disensor.

Seorang artis, Lola Amaria namanya, mempertanyakan kewibawaan LSF yang sudah meloloskan kemudian menarik film itu. Katanya derajat kepornoan sebuah film sangat tergantung pada si penonton film, bukan tergantung LSF. Sayang dia tak berkomentar mengenai peran perwakilan Islam dalam penarikan film itu.

Lepas dari itu, saya lihat semuanya aneh. Saya yakin LSF merujuk pada film-film lain yang beredar di Indonesia, baik legal maupun illegal, film barat atau lokal, yang sudah terbiasa menawarkan adegan ciuman. Sebab itu, adegan cium di Buruan Cium Gue (BCG) kelihatan biasa-biasa saja. Para anggota LSF sudah terlalu sering menyaksikan adegan yang lebih 'serem' dan ciuman BCD cuma ecek-ecek.

MUI, Aa Gym dan perwakilan lain juga aneh. Kenyataan ciuman sudah jadi kegiatan yang biasa-biasa saja dalam pacaran anak muda sekarang, ternyata jarang sekali mereka komentari dengan demonstratif. Mereka hanya menghimbau semua pihak untuk menahan diri mengumbar adegan-adegan itu padahal sinetron TV juga sudah memuat adegan cium.

Yang lebih aneh lagi, mengapa BCG sekarang jadi isu? Apa sudah tak ada kerjaan lain bagi para ulama itu? Saya Islam, tetapi sungguh saya pikir ulama Indonesia adalah sebuah profesi yang seolah-olah masih berfungsi. Kenyataannya tidak. Mengapa?

Ulama itu bukan hanya memberi nasehat, tetapi yang lebih penting adalah memberi contoh dengan tindak tanduk. Sekarang pertanyaannya: adakah para ulama sekarang sudah memberi contoh bertingkah laku sesuai dengan kaidah agama dan konvensi sosial? Menurut saya tidak. Sebab, makin banyak umat yang hingga kini seperti anak ayam kehilangan induknya. Bagi umat, dari pada mencontek tingkah laku para ulama yang tidak konsisten, lebih baik mencontoh apa yang diajarkan oleh media massa: TV, koran, majalah, radio dan tabloid.

Menurut saya, peran para pemuka agama dalam kasus BCG sepertinya hanya ingin menegaskan mereka masih ada. Setelah peristiwa ini mereka akan diam. Jika masyarakat sudah mulai lupa, mereka akan cari peristiwa yang dapat mereka komentari.

Dengan menulis ini bukannya saya tidak setuju dengan pendapat para pemuka agama itu. Sebaliknya, saya setuju bahwa adegan-adegan tersebut harus dibatasi dalam ruang-ruang tertentu untuk kalangan terbatas. Sebab jika dibiarkan terlalu terbuka, maka semua orang akan berlomba mengumbar hawa nafsunya.

Hanya saja, kenapa koq para ulama tidak pernah berani berkata yang benar itu benar dan yang salah itu salah secara terus menerus dan konsisten. Sungguh amat memilukan....

Semoga keadaan ini cepat berubah!

12 August 2004

Anagram

Adalah keahlian untuk mengotak-atik huruf-huruf dalam satu kata atau kalimat sehingga menghasilkan satu kata atau kalimat baru. Misalnya, kata kasur dapat diolah menjadi rusak. Anagram jadi salah satu kunci yang membuat novel Da Vince Code jadi menarik.

Anagram sendiri katanya datang dari Yunani jaman dulu. Kata anagram sendiri asalnya dari kata Ars Magna, bahasa latin untuk Great Art. Keahlian ini kemudian turun temurun di Eropa, khususnya Spanyol dan Perancis, sebagai sebuah cara menyampaikan informasi rahasia.

Yang ingin saya tekan di sini adalah penggunaan anagram untuk mengenali keadaan kita. Dulu para mahasiswa di tahun 98-an, mengusung Reformasi. Menurut saya, secara praktis reformasi mirip dengan anagram. Maksudnya begini, reformasi terdiri dari kata re dan formasi. Re gampangnya adalah 'lagi', formasi adalah penataan. Reformasi jadi menata lagi. Apa yang ditata? Ya, yang saat itu ada.

Zaman itu ada Golkar, tentara, KKN, rakyat tertindas, DPR impoten. Apabila di reformasi, ya tetap jadi begitu. Mau bukti, ya lihat saja keadaan saat ini. Kesemuanya masih ada. Memang ada tambahan, tetapi tak memberi efek, tuh...

Nah, apabila teknik anagram diterapkan ke keadaan sekeliling kita, sepertinya anagram akan menemui kegagalannya yang pertama. Saat ini ada Megawati, Akbar Tanjung, SBY, Gus Dur, Amin Rais, Islam, Kristen, infiltrasi Asing, Angkatan Darat, Korupsi, Perusakan Alam, Harga BBM, Sembako, Mahal, Kaya, Miskin, dstnya. Nah apabila keseluruhannya disusun jadi satu kata, maka hanya ada satu makna yang tercipta, yakni Payah! Apabila diotak-atik gatuk, a-ha, ternyata orang Jawa juga punya keqhlian beranagram lewat otak-atik-gatuk itu ya...., tetap saja akan menghasilkan makna Payah.

Akhirnya, memang tak ada yang dapat diharapkan dari apa yang kita miliki saat ini.
Payah!!!!

04 August 2004

Sumatra Barat

Setiap kali saya menyebut propinsi ini saya langsung teringat pada kejeniusan orang-orang sebagaimana dikisahkan dalam pertandingan adu kerbau melawan orang Jawa. Juga selalu mengidentikan dengan tokoh-tokoh cerdik pandai yang berjuang di masa penjajahan Belanda. Apabila didaftar, mungkin Sumatra Barat memiliki orang-orang berpengaruh paling banyak di jajaran petinggi negara.

Sumatra Barat juga adalah identik dengan agama Islam. Mereka adalah salah satu pemangku ajaran Islam paling ketat dan cerdas. Segala urusan sosial diberi nilai keislaman. Tapi itu dulu....

Sekarang, anggota DPRD Sumatra Barat dan Kota Padang adalah tersangka penggelapan uang negara. Ini adalah bukti bawah orang Sumatra Barat sekarang (mohon maaf bagi orang yang berentnis Sumatra Barat) tidak secerdas nenek moyang mereka, dan juga tak setaat para pemuka agama mereka. Mereka telah mengabaikan pentingnya belajar dan bermanfaatnya taat beragama.

Kasus terakhir adalah pengusiran penghuni panti Dhuafa. Ceritanya adalah ada sekelompok orang yang merelakan diri mengasush para anak orang miskin. Ketika bertambang banyak, mereka meminta izin untuk menggunakan sebuah bangunan milik pemerintah provinsi setempat untuk digunakan sebagai tempat tinggal dan belajar. Pemprov mengizinkan asalkan apabila pemprov memerlukan bangunan tersebut, maka pengasuh panti Dhuafa itu harus mengembalikannya.

Beberapa waktu lalu pemprov memerlukan gedung itu, entah untuk keperluan apa, dan meminta pengasuh panti mengosongkan panti itu. Sampai waktu yang ditentukan, pengasuh tak dapat mencari tempat lain sehingga memaksa para penghuni panti tetap tinggal di gedung tadi. Mengetahui ini, pemprov mengirim Satuan Polisi Pamong Praja mengosongkan gedung. Caranya, ya.... agak tidak beradab lah... Bahkan mereka terlibat lempar batu dengan para siswa yang tak bisa masuk gedung untuk bersekolah. Ini adalah ironi...... apalagi terjadi di Sumatra Barat saat ini.

Secara hukum, pemprov benar dan pengasuh panti salah. Secara adat, pemprov yang salah. Sayangnya adat yang mengatur hal ini sepertinya tak berjalan lagi, atau, semoga saja, belum berjalan lagi. Yang terjadi adalah keanehan. Sesuatu yang kontradiktif dengan sejarah Sumatra Barat yang cendekia dan beragama Islam dengan baik.

Sebenarnya, yang benar itu yang mana sih....... saya bingung!

23 July 2004

Mata

Gunanya untuk melihat. Apa yang dilihat? Apa saja yang ada di sekeliling si empunya mata. Terutama yang menarik perhatiannya. Sewaktu bayi, mata cenderung melihat hal-hal cerah, misalnya warna merah atau kuning yang terang. Seiring waktu, anak berusia sedikit ini akan melihat bentuk-bentuk, terutama yang menimbulkan bunyi. Mainan berwarna gembira akan menjadi perhatiannya.

Setelah mulai bicara dia akan belajar mengenali lingkup sekelilingnya. Dari manusia lain selain orang tuanya, alam buatan dan asli, dan seterusnya. Saat melihat, mereka bertanya, "Apa ini, apa itu?". Orang tuanya atau orang yang dekat dengannya setiap hari akan memberi penjelasan, atau lebih tepatnya adalah pemberian makna atau nilai pada satu yang dilihat itu. Misalnya, ada satpam kompleks, yang akan diberi makna penjaga, yang tidak tidur bahkan saat hari sudah malam. Ada penjual roti, tukang koran, potong rumput, tukang sayur, dst. dll. Sementara nilai, layaknya pendidikan etika, adalah tentang benar, keliru, kurang tepat, tidak baik, terpuji, baik, atau masuk surga. Masih banyak lainnya.

Seluruh informasi ini dia simpan, yang ia akan gunakan ketika ia melihat hal baru lainnya. Dia akan menterjemahkannya sendiri, memberi nilai. Apabila menurutnya baik, ia akan simpan, apabila buruk, ia juga akan simpan juga. Penggunaannya ya... tergantung waktunya saja.

Seluruh informasi ini kemudian akan membentuknya menjadi manusia yang seperti apa. Maksudnya, ia akan memiliki preferensi tertentu terhadap hal-hal tertentu juga. Apakah dia akan jadi orang yang senang olah raga dan menghabiskan banyak waktunya bersenam dan menonton acara bugar sehat di tv. Ataukah dia senang musik, atau mendaki gunung, atau membaca, atau apa saja. Di akhir proses belajar ini, si anak kecil ini akan memiliki seperangkat pengetahuan mengenai apa yang disukainya, apa yang ingin dia lakukan. Pada saat yang sama, ia juga tahu apa yang ia hindari dan apa yang tidak akan pernah dia lakukan. Dia lain kata, sudah menjadi orang dewasa, menjadi manusia yang bermoral - terlepas dari nilai moral apa yang dia anut. Yang penting, ia sudah sadar bahwa hidup ini ada nilai-nilai yang harus ia patuhi.

Dari sinilah kemudia, dia akan selektif memperkerjakan seluruh indranya. Matanya akan memilih apa yang ingin dia lihat. Telinganya akan memilih apa yang akan dia dengar. Mulutnya memilih kata-kata yang pantas untuk ia ucapkan. Hidungya akan berkembang kempis jika mencium aroma yang ia senangi dan sebaliknya. Kulitnya akan sensitif pada lingkungan; apabila nyaman dia akan senanng, apabila dia benci, dia akan mengumpat. Singkatnya, dia telah memiliki sejumlah standar mengenai apa yang dia sukai. Pada saat yang sama, ia juga punya daftar yang ia benci. Sebab itu, tak mengherankan apabila seseorang tak melihat apa yang dilihat orang lain, dan seterusnya. Sebab apa yang orang lain sukai, belum tentu kita sukai.

Dari sini, tak usah bertanya-tanya tentang standar yang dimiliki orang lain. Jika kejaksaan agung kita melepas orang-orang yang telah memanfaatkan bantuan negara saat bank-banknya kolaps, atau bos kita ternyata terlalu sayang pada orang lain tetapi pada saat yang sama begitu membenci kita. Itu tak penting. Juga tak perlu sok kritis mempertanyakan mengapa kasus-kasus kecurangan pemilu kemarin yang begitu banyak tetapi yang diangkat bersama-sama oleh media adalah yang terjadi di Al-Zaytun. Juga tak perlu khawatir saat peristiwa penembakan seorang pendeta wanita di Sulawesi tengah menjadi kasus nasional.

Semua orang punya kepentingan sendiri-sendiri yang belum tentu sesuai dengan kepentingan kita. Perlukah kita bertengkar atau berkelahi supaya kita menang? Tak perlu, sebab jadinya akan seperti Israel atau Amerika Serikat yang akhirnya repot sendiri menangani problemn yang mereka buat bertahun lalu....

Itulah karma....

20 July 2004

Menghormati Rasa Sakit

Hormat adalah tindakan mulia. Juga pengakuan terhadap posisi yang lebih rendah, lebih lemah, lebih terjajah. Hormat adalah kepatuhan terhadap yang lebih tinggi, kuat, dan penjajah. Dengan lebih tepat, hormat adalah tunduk pada etika, kebiasaan, kenormalan sopan santun dalam hidup bersama. Misalnya, secara etis kita hormat pada yang lebih tua: orang tua kita sendiri, paman, penjual sayur tua, tetangga tua kita. Mengapa begitu? Sebab, orang-orang sebelum kita melakukannya. Ini adalah kebiasaan. Dan supaya kita disebut orang normal, ya... ikuti saja norma-norma itu.

Apalagi jika orang tua yang harus kita hormati ternyata sakit. Misalnya, mantan presiden Soeharto. Dia sudah tua, sakit pula. Jadi hormat kepada dia harus dua kali lipat banyaknya. Sebab, sakit adalah keadaan yang tidak diinginkan oleh siapapun juga. Orang sakit adalah orang yang menderita sebab dia tidak dapat melakukan apa yang bisa dikerjakan oleh orang yang sehat. Orang lain harusnya merasa kasihan. Sakit adalah kondisi lemah manusia yang mampu menguasai orang lain untuk hormat. Orang lain dipaksa bertoleransi dan tentu saja, menghormati keadaannya yang tidak biasa dan normal.

Kita juga dipaksa maklum apabila orang yang sedang sakit bertindak tidak etis, tidak biasa dan tidak normal. Misalnya, Nurdin Halid tiba-tiba sakit ketika diperiksa jadi tersangka dalam kasus penyelundupan gula. Semua orang harus maklum dia tidak pada kondisi normal untuk menjalani proses yang bisa dijalani oleh orang sehat dan normal.

Adat istiadat semacam itu telah membuat sakit jadi alasan untuk melarikan diri dari kenormalan hidup bermasyarakat. Ada yang menjadikan sakit sebagai alasan untuk tidak masuk sekolah, berangkat kerja atau kondangan. Sakit jadi senjata ampuh karena orang kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan orang yang mendengar sakit akan mendoakan cepat sembuh. Sakit adalah keadaan yang super istimewa.

Kapan orang sakit? Menurut ilmu medis, orang bisa sakit jika kondisi tidak fit atau lingkungan sekitarnya tidak sehat. Flu adalah penyakit umum yang kebanyakan disebabkan oleh kondisi tubuh. Sementara penyakit menular lebih banyak disebabkan oleh lingkungan. Menggunakan konteks ini, penjara adalah lingkungan yang dapat menularkan penyakit. Dimulai dari Soeharto hingga terakhir Nurdin Halid. Memang penjara bukan tempat yang nyaman untuk hidup, banyak penghuninya yang sakit. Bahkan karena ketidaksehatannya, orang yang ketahuan akan masuk penjara saja bisa sakit, seperti Soeharto dan Nurdin Halid.

Jadi..... anda mungkin tahu terusannya, sebab saya tiba-tiba kehilangan kata-kata.

13 July 2004

Normalisasi

Michel Foucault, seorang pemikir Perancis, pernah menguraikan beberapa cara untuk secara sengaja tidak mengenali satu pengetahuan. Saya tidak ingat semuanya. Yang saya ingat adalah tabu. Maksudnya, ada pengetahuan yang memang tidak boleh diperbincangkan dalam ruang publik. Pengetahuan itu hanya boleh jadi bahan pembicaraan di ruang tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengatakannya.

Misalnya. Seks. Dulu, topik ini membuat orang yang membicarakan dan mendengarnya dibicarakan secara terbuka menjadi tersipu malu atau malah jengah. Topik ini hanya boleh dibincangkan oleh orang tua saja di kamar, misalnya. Kendati sekarang kebiasaan itu telah bergeser, namun seks masih ditabukan oleh sebagian besar dari 200 juta lebih penduduk Indonesia. Alasan terpenting adalah penggunaan seks yang tak bertanggung jawab, seperti seks di luar nikah, seks bebas, pemerkosaan, pembunuhan terhadap janin tak berdosa.

Seks dapat kembali jadi tabu apabila dilembagakan pelarangannya. Dengan kata lain, keadaan sekarang harus dinormalisasi oleh kekuasaan yang disebarluaskan melalui lembaga-lembaga. Misalnya DPR melarang seks pra nikah. Lalu pemerintah menerapkan larangan itu ke dalam peraturan-peraturan. Misalnya hukuman mati bagi aparat bea cukai yang meloloskan materi seks dari luar negeri, penyelundup, penduplikasi, distributor dan pengecer. Pemerintah juga akan menghukum mati aparat polisi, jaksa dan hakim yang membiarkan para pelaku bebas. Pemerintah menutup lokasi-lokasi yang biasa dijadikan tempat terjadinya seks, seperti hotel atau Ancol. Pemerintah melalui badan sensor melakukan penyeleksian terhadap acara-acara tv, termasuk iklan-iklan dan isi media massa lain. Buku-buku yang tidak senonoh juga harus diberangus. Dan seterusnya.

Selain ini, pemerintah harus menyediakan penyaluran terhadap gairah seks yang tertutup ini. Misalnya dengan membuka lapangan olah raga sebanyak-benyaknya. Entah itu lapangan bulu tangkis, voli, sepak bola. Pemerintah juga memberikan imbalan yang sangat besar bagi mereka yang sukses di bidang olah raga tadi. Sarana olah raga yang masih mungkin diadakan, harus dilaksanakan. Misalnya, lomba sepeda gunung ekstrim yang pesertanya bisa saja mati. Dan seterusnya… Taktik ini dapat disebut sebagai pengalih-perhatian.

Yang penting dari itu adalah waktu. Untuk menormalisasikan penyelewengan perlu durasi waktu yang sangat panjang. Di antara rentang waktu itu harus ada contoh. Jadi dalam dua tahun pertama, mungkin ada 10 pejabat bea cukai yang dihukum mati. Ada 20 polisi, jaksa dan hakim yang dipecat tidak hormat. Ada 50 orang atlit bulu tangkis yang diberi bea siswa seumur hidup. Ada 100 pemain sepakbola Indonesia yang dibiayai untuk berlatih di klub-klub Italia, Inggris, Jerman dan Belanda. Dengan contoh dan kesabaran, normalisasi dapat diwujudkan.

Cara ini dapat juga dipakai untuk memberantas korupsi atau ketidaknormalan lainnya di negara kita, itu kalau ada yang mencoba!

12 July 2004

Adil

Putus asa. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kegagalan kita mengharapkan keadilan sesuai perundangan dijalankan dengan sejujurnya oleh aparatur pengegak keadilan: polisi, jaksa dan hakim.

Entah alasan apa yang pantas untuk menjustifikasi keberadaan mereka saat ini di antara masyarakat. Ketiga fungsi penertiban sosial tadi tak ubahnya seperti pedagang saja. Mereka memiliki jasa yang diperjualbelikan layaknya pedagang sayur di pasar saja. Ada tarif untuk berbagai jenis jasa. Harganya sangat tergantung pada tingkat kerumitan problem yang dihadapi pembeli.

Secara teoritis, apabila ada sekelompok orang banyak berkumpul di satu tempat tentu memerlukan aturan main yang adil dan memaksa. Sebab kalau tidak, pasti ada sekelompok orang yang akan terus menerus menang dan sebaliknya, ada anggota masyarakat yang selalu jadi korban. Jadi orang kaya dan berkuasa tidak diperkenankan menguasai seluruh sumber makanan dan minuman. Maksudnya supaya orang lain memiliki akses mengelola sumber itu.

Untuk menjaga aturan itu, maka sebuah masyarakat memerlukan polisi yang bertugas menjaga peraturan tidak dilanggar, memberi informasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai peraturan yang berlaku dan menangkap orang yang nekad melanggar. Agar tidak dikira sewenang-wenang, maka masyarakat memerlukan jaksa yang bertugas menuntu ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Demi keadilan, maka diperlukan seorang hakim yang harus melihat seluruh fakta yang terjadi, dari pihak kepolisian dan kejaksaan serta dari pihak yang dikenai dakwaan. Lalu hakimlah yang menentukan apa yang akan terjadi berikutnya.

Praktisnya, ya tidak ada yang begitu. Polisi dapat tidak menangkap seseorang apabila ada uang. Apabila fakta-fakta lapangan tidak memungkinkan seseorang mau tidak mau harus ditangkap, maka dia dapat mempengaruhi jaksa untuk membuat tuntutan yang biasa-biasa saja, yang dengan mudah dipatahkan oleh tim penasihat hukum terdakwa. Ini dapat terjadi apabila ada uang. Apabila masih berlanjut ke pengadilan, maka si terdakwa masih dapat berharap dari hakim. Barangkali saja uang akan membebaskannya. Ini fakta yang ada sekarang ini. Jika dianologikan, trio polisi-jaksa-hakim adalah pemain dalam kubangan yang sama.

Dalam konteks semacam inilah pernyataan Jaksa Agung MA Rachman jadi aneh. Dia bilang di Tempo interaktif, 12 Juli 2004, mengharapkan penggantinya berasal dari jaksa karir. Adakah itu berarti jaksa dengan karir menerima uang dari berbagai tingkatan? Jika ini terjadi, ya, kacau balau. Bukan berarti tak ada jaksa jujur saat ini, tapi ya itu tadi, itu kubangan. Masak iya membersihkan badan dari air kubangan. Kotor juga kan hasilnya?

Menurut saya, dari tiga rantai polisi-jaksa-hakim, harus ada perbaikan di dua rantai terakhir: jaksa dan hakim. Kalau polisi, sudahlah... pasrah saja kita. Caranya bagaimana? Pecat dengan mendadak seluruh jaksa dan hakim secara serentak. Sebelum mengumumkan pemecatan, mintalah anggota masyarakat untuk mengisolasi gedung kejaksaan dan pengadilan. Umumkan pemecatan pada malam hari, sehingga para jaksa dan hakim tak sempat membakar berkas-berkasnya.

Setelah itu, seleksi ulang dari para mantan pegawai kejaksaan dan kehakiman, mulai dari tukang sapu hingga ke pimpinan. Ini perlu sebab seluruh jajaran kedua lembaga tadi memang berpartisipasi dalam pembengkokan undang-undang. Mereka yang terpilih diminta langsung bekerja untuk menganalisis kasus-kasus yang ada. Lalu mereka diminta memberlakukan perundangan dengan setegas-tegasnya. Tentu saja mereka harus digaji besar karena resiko dan kerja mereka memang berat.

Tetapi untuk menjalankan itu, perlu orang yang nekad dan berani mati. Adakah orang semacam itu di Indonesia? Ada, hanya saja mereka bukan pemimpin. Orang seperti itu banyak di negara kita ini dan biasanya mereka hanya jadi peserta kuis-kuis adu berani dan adu malu atau adu nekad di tv-tv?

Sayang sekali.......

09 July 2004

Suara Mahasiswa versus Suara Rakyat

Ada masanya ketika mahasiswa dipuja oleh rakyat. Pertama, mungkin, ketika tahun 1966 lampau. Saat itu mahasiswa, entah itu murni atau ditunggangi ABRI, menyerukan penentangan terhadap Bung Karno, sang presiden, dan juga pembubaran Partai Komunis Indonesia, menyusul tragedi pembunuhan terhadap beberapa jendral Angkatan Darat.

Kedua, adalah Mei 1998. Ketika para mahasiwa mulai rajin dan berani mengekspresikan penentangan terhadap Soeharto, presiden juga. Setelah beberapa kematian dan serangkaian demonstrasi, yang juga entah murni atau ditunggangi pihak lain, Soeharto mundur. Mahasiswa generasi 90-an ini memang menuntut Golkar supaya bubar, tetapi pola ini lebih mahir ditangani oleh para elit Golkar, yang dulunya adalah aktivis mahasiswa tahun 66.

Dalam kedua episode itu, rakyat bergembira ria dan mendukung perbuatan mahasiwa. Mereka lega karena sepertinya mereka bisa bebas dari kekuatan Orde Baru dan militer. Mereka setuju saja ketika mahasiswa menuntut agar pemerintahan berikutnya didominasi sipil yang berpihak kepada rakyat.

Kisah selanjutnya tahu sendiri kan? Ada pemilu 99 yang menghasilkan ketidakpastian dan tersebarnya KKN ke seluruh lapisan masyarakat. Ironisnya, justru KKN-lah isu terpenting yang memotivasi mahasiswa berjuang. Dalam istilah: jauh panggang dari api.

Menghidupi enam tahun terakhir dengan kekacaun, rakyat lelah, jenuh dan tak percaya lagi kepada janji-janji dari siapapun juga. Entah itu mahasiswa, entah itu tokoh politik pro-reformasi, atau orang-orang yang dianggap jujur oleh media massa. Rakyat ternyata lebih peduli ketenangan.

Ini wajar saja. Manusia pada dasarnya tercipta untuk menjalani rutinitas. Sebab dengan memilikinya, ada pola yang baku, pasti dan dapat diduga. Biarpun ada masanya ketika seseorang memberontak mencari identitas diri, pada akhirnya dia merindukan rutinitas. Mungkin inilah yang sekarang dinanti-nanti oleh kebanyakan rakyat. Sebuah rutinitas yang dulu pernah diberikan oleh Orde Baru. Oleh sebuah rezim yang kuat. Tak peduli mereka kejam dan korupsi, selama mereka masih mampu memberi makan dan hiburan kepada rakyat.

Dan siapa yang kira-kira dapat mewujudkan itu? Di benak rakyat, tentu saja orang yang dulu pernah ada, setidaknya kenal, dengan kekuasaan Orde Baru. Siapa orangnya? Ya, militer, atau setidaknya bekas militer. Mau bukti, ya lihat saja hasil pemilu sekarang.

Padahal di sisi lain, mahasiswa ataupun aktivis pro-demokrasi, pro-reformasi dan pro-pro yang lain, berkampanye untuk tidak memilih militer dan partai bekas Orde Baru. Rupanya usaha meraka kali ini tak seiring dengan kemauan rakyat. Mahasiswa telah gagal menyerap aspirasi rakyat. Mahasiswa sudah terlalu politis dengan memiliki agenda perjuangan sendiri. Mahasiswa sudah seperti para politisi yang dulu mereka perangi.Walhasil, mahasiwa ditinggalkan rakyat. Para martir mahasiswa jadi percuma.

Mengherankan? Tidak juga! Watak orang Indonesia memang begini. Pada awalnya ada sekelompok orang yang berjuang bersama menghadapi satu kekuatan tertentu demi tujuan bersama. Tetapi setelah lama berjuang, tujuan mereka tak tercapai juga. Dan pada saat itu, ketika ada tawaran yang menarik kepada para pejuang ini untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar, mereka lupa kelompok. Mereka jadi senang dengan diri sendiri. Tak ada setia kawan, tepo seliro dan semangat Pancasila. Semua adalah tentang bagaimana seorang individu hidup enak. Orang lain, peduli setan!

Kebiasaan ini belum hilang. Jadi, tak usah kaget bila ada yang aneh-aneh dalam kehidupan politik kita di masa datang.

Siap-siap ya..

06 July 2004

SBY dan Budaya Popular


Budaya popular adalah jalinan antara ekspresi kebanyakan rakyat dan kekuatan media massa. Misalnya Inul Daratista. Awalnya dia penyanyi kelas kampung yang ditanggap di acara nikahan atau sunatan. Dia terkenal di kalangan ini. Lalu ada pebisnis yang punya penciuman bisnis jenius, merekam goyangnya dalam VCD dan mengedarkannya. CD ini kemudian menyebar kemana-mana. Salah satunya ke petinggi stasiun TV di Jakarta yang kemudian memintanya tampil, dan lalu Blar!... Inul menggoyang Indonesia.

Ada sentuhan industri media dalam produksi budaya popular. Tanpa ada media, khususnya televisi, ekspresi rakyat kebanyakan akan terhalang oleh batas geografis. Televisi dengan kekuatannya membombardir khalayak penonton dengan tontonan yang itu-itu juga, mau tidak mau, tontonan itu melekat di benak penonton walaupun si khalayak membenci tontonan itu. Misalnya, kasus iklan moncong putih PDI Perjuangan dalam masa kampanye pemilu legislatif lalu, banyak sekali orang yang tiba-tiba kreatif memlesetkan moncong putih dengan montok putih, dll.

Budaya popular yang lain adalah Akademi Fantasi Indonesiar. Ini adalah tontonan yang sangat spektakuler, di mana para penontonnya hadir tanpa dipaksa dan dipastikan tetap terhibur meski ia sudah keluar dari lokasi pertunjukkan. Dengan bantuan media massa lain, majalah, koran, tabloid, AFI jadi fenomena budaya popular lain di Indonesia.

Ciri budaya popular adalah penyeragaman selera. Masyarakat dipandang homogen. Tak peduli jenis kelamin, usia, kelas sosial, tingkat pendidikan dan aliansi politik, media massa menawarkan jualan yang sama persis. Artinya barang dagangan itu harus distandardisasikan hingga level terendah. Lain kata, budaya popular adalah tidak cerdas dan sepele. Yang penting, asik.

Di politik juga begitu. Saya pernah menyelidiki bahwa politik bisa dikomodifikasi jadi budaya popular asalkan ada isu atau tokoh yang diposisikan sebagai oposisi penguasa saat itu. Dulu, saya mendapati bahwa tabloid Detik memuat topik-topik berita yang tak lazim di zaman Orde Baru. Ia mewawancarai tokoh-tokoh yang jelas-jelas dimusuhi Soeharto, seperti mantan perdana menteri Soebandrio. Hasilnya, Detik mampu menjual edisinya hingga ratusan ribu lembar, mengalahkan harian Kompas dan majalah Tempo.

Di zaman sekarang, SBY adalah budaya popular. Ia dengan pandai menempatkan diri sebagai korban. Ia adalah menteri yang diasingkan oleh Megawati cs. Dan partai yang ia bela, mendulang suara banyak. Selama masa kampanye calon presiden, SBY adalah orang yang paling sering membantah isu-isu negatif mengenai diri dan partainya. Ia dengan bijak meminta orang-orang tidak melakukan kampanye negatif melawan dirinya. Ini adalah usaha yang cerdik untuk memelihara statusnya sebagai "korban". Hasilnya, untuk sementara waktu dia memperoleh prosentase suara yang paling tinggi. Kata berbagai polling dan prakiraan pengamat politik, SBY dipastikan lolos ke putara kedua pilpres bulan September nanti.

Tetapi, layaknya budaya popular yang datang dengan cepat, menggemparkan, lalu hilang tanpa ada yang tahu, SBY pun akan begitu. Prediksi ini memang sangat spekulatif. Tetapi dengan kenyataan bahwa SBY terkenal bukan karena dukungan massa tradisional, seperti NU atau PDI Perjuangan, atau dukungan organisasi besar seperti Golkar, maka prediksi ini jadi salah satu kemungkinan meramal nasib SBY nantinya.

Menggunakan analogi, SBY adalah seperti buah mangga yang belum matang, dipetik, lalu dieramkan di tumpukan jerami supaya masak lebih cepat. Rasanya, memang enak, tetapi jika terlalu lama di eraman, ia busuk dengan cepat juga. Jadi, menurut saya, sebenarnya SBY perlu waktu lagi sebelum pantas menjadi dia yang sekarang ini.

Untungnya dia berpasangan dengan Jusuf Kalla, seseorang yang saya tahu sangat berani dan memegang kata-katanya. Jusuf Kalla layaknya La Ma'dukelleng, pejuang dari Sulawesi yang memerangi Belanda dengan sangat gagah berani. Semoga JK dapat menjadi seperti pahlawan yang belum diakui negara itu dan menjadi pasangan penyeimbang bagi SBY yang belum masak itu.


30 June 2004

Gengsi Manusia Unggul

Nietszche (entah ejaaan ini benar apa tidak) berkata seharusnya tujuan hidup setiap insan adalah menjadi overman. Ada yang menterjemahkannya jadi superman. Ada yang lain, saya tak ingat. Yang dia maksud dengan overman adalah ada di jiwanya, rohnya, spirit-nya, manusia yang memiliki the will to power; kehendak untuk kuasa. Kehendak ini bukan berarti seseorang harus menguasai orang lain. Kehendak di sini lebih pantas dipadankan dengan nafsu berkuasa. Dengan memiliki ini seseorang selalu menuntut dirinya untuk menjadi yang terbaik. Cara yang dipakai akhirnya adalah kerja keras. Apabila ada halangan di depannya, misalnya orang atau bahkan konsep, seperti tercermin dalam kebenaran agama atau adat istiadat, dia harus mengatasinya. Apapun resikonya, termasuk menghancurkan persepsi yang sudah tertanam di dalam benaknya. Ini pengertian saya, karena sejujurnya, saya tak yakin saya mengerti seluruh tulisan Nietszche ini; saya pikir saya mengerti sepotong-sepotong saja. Jadi, ya.. harap maklum.

Hanya saja, konsep overman Nietszche memang gampang sekali diartikan sebagai dorongan manusia untuk menguasai orang lain, apapun caranya. Karena dengan memiliki kuasa atas orang lain, orang jadi punya hak untuk menentukan mana yang sah dan mana yang tidak, orang jadi terpandang, dihormati sesama dan memiliki kemungkinan untuk menjadi kaya raya.

Ini yang terjadi di Indonesia. Seiring dengan kekuasaan yang mereka miliki, banyak anggota legislatif yang kerasukan nafsu menjadi kaya. Mau bukti? Baca saja koran....

Persoalan yang perlu ditengok mungkin pada motif mengapa orang cenderung begitu. Menurut saya, kultur Jawa menyumbang gagasan dominan terhadap perilaku ini. Di Jawa, orang yang memiliki kekuasaan HARUS kaya. Jika tidak kaya, maka dia harus cari, bagaimanapun caranya.

Contoh mutahir adalah PP No 37/2006. Peraturan ini akan semakin memperkaya para anggota DPR/D dan memiskinkan rakyat. Lucunya, setelah "agak" sedikit ada keramaian, semua pejabat jadi bingung: siapa sih yang ngeluarin peraturan ini, tak ada yang mengaku dengan jantan. Parpol juga bersuara: ada yang setuju ada yang menolak. Padahal ini kan cuma pura-pura saja. Hare genee siapa yang nolak duit, apalagi politisi!

Dan suara-suara orang protes menjadi kebrisikan biasa saja, yang bakal capai sendiri atau akan diam bila disumpal mulutnya. Di lain pihak, media massa sepertinya tak bernafsu untuk mengangkat isu dengan lebih kontinyu, entah karena alasan malas atau memang ada berita lain yang lebih menarik, misalnya pertengkaran SBY dengan gerombolan pensiuanan TNI AD, yang tidak pernah kehabisan akal dalam merengkuh kekuasaan, bukan untuk menjadi seorang overman, tetapi yaitu tadi: gengsi doang!

Dan sekali lagi, rakyat adalah pihak yang kalah.

29 June 2004

Orang Pintar Dan Korupsi

Cawapres PDIP, Hasyim Muzadi, mengatakan kekayaan negara banyak di korupsi orang pintar (Bisnis Indonesia, 29 Juni 2004). Lengkapnya adalah sebagai berikut: Banyak orang pintar di Indonesia namun pekerjaannya tidak benar karena tidak berakhlaq dan tak beriman, sehingga kekayaan negara banyak dikorupsi. Para orang pintar itu bekerja-sama sehingga korupsi tak bisa diberantas.

Hasyim Muzadi bukan orang pertama yang bilang begitu. Saya mendengar kesimpulan serupa pertama kali dari para transmigran di Kalimantan. Masyarakat pedesaan terpencil di Jawa juga bilang begitu. Jadi, ungkapannya bukan hal baru.

Namum bukan itu yang menarik perhatian. Pernyataan itu akan menarik jika dikaitkan dengan standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) anak-anak SMP dan SMU. Kisahnya dimulai ketika Depdiknas menetapkan nilai minimum untuk lulus adalah 3.01 kendati para ahli pendidik mengingatkan untuk menetapkan angka yang lebih rendah. Walhasil, para peserta UAN mayoritas hanya bisa menjawab 12 hingga 16 soal dari 40 dan 50. Artinya, nilai rata-rata yang diperoleh kebanyakan peserta UAN adalah 2,01. Akibatnya, lebih dari 70% siswa-siswa itu tak lulus ujian.

Untuk mengatasi ini Depdiknas mengeluarkan aturan standardisasi itu. Maksudnya mereka yang mempunyai nilai rendah, dikatrol sedemikian rupa sehingga mencapai ambang minimal standar kelulusan. Sebaliknya, mereka yang nilainya tinggi diturunkan sedemikan rupa sehingga kelihatan pantas. Artinya, mereka yang memperoleh nilai "cukup" harus turun menjadi "kurang", dan mereka yang bernilai "baik" harus turun menjadi "cukup". Ini semacam subsidi silang bagi mereka yang bernilai "tak lulus" menjadi "kurang".

Banyak yang protes. Khususnya siswa-siswi yang belajar mati-matian untuk lulus. Karena standardisasi ini membuat usaha mereka sia-sia. Sementara di lain pihak, mereka yang tak bekerja keras, malah dikasih bonus. "Sungguh tidak adil!" mereka menjerit.

Adakah ini usaha untuk mendemokratisasi kebodohan? Tujuan, bukan lain, untuk mencegah peyebaran korupsi. Logikanya, karena begitu bodohnya orang Indonesia, sampai tidak bisa berpikir untuk korupsi. Ini mungkin efek lain dari pernyataan Hasyim Muzadi tadi.

Jadi pemberantasan korupsi salah satunya adalah dengan membodohi masyarakat kebanyakan sehingga korupsi tak nampak jadi budaya. Biar korupsi dilakukan oleh orang-orang pintar saja, toh jumlah mereka sedikit, sehingga kelihatannya korupsi hasil dari "oknum" anggota masyarakat.

Negara kita memang benar-benar ajaib!

28 June 2004

100 hari

Ini adalah rentang waktu yang biasa digunakan, baik oleh pengamat politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, serta bidang kemasyarakatan lain dan juga oleh para politisi untuk mengukur keberhasilan sebuah program politik. Gampangnya, capres Wiranto berjanji dalam 100 hari akan menaikkan gaji guru. Hamzah Haz berjanji memberantas KKN, dan capres-capres lain saya tak ingat janjinya.

Bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan waktu 100 hari itu. Phileas Fogg, tokoh rekaan Jules Verne, dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari, masih tersisa 20 hari. Di budaya Jawa, bahkan ada kisah yang lebih dramatis. Seorang putri bernama Rara Jonggrang bersedia menikah dengan Bandung Bondowosa asalkan dibangunkan 1000 candi dalam semalam. Bondowosa berhasil dengan menjadikan si calon istrinya candi ke seribunya.

Konteks mana yang dapat kita pakai untuk memperkirakan apa yang bakal terjadi dengan janji para capres itu? Dalam kedua kisah, si tokoh mendapat halangan macam-macam. Fogg, harus menyebrangi bukan hanya benua dan negara saja, dia juga harus melintasi budaya yang tak mengerti nafsunya. Dia juga harus menghindar kejaran polisi. Akhirnya, berhasil tanpa ada seorang yang mati.

Lain dengan Bandung Bondowoso. Selama 2/3 malan dia bekerja tanpa halangan. Baru ketika dia memasuki sisa 1/3 malam, dia diganggu oleh anak-bauh Roro Jonggrang yang memukul alat penumbuk padi supaya para ayam jantan berkokok. Bandung memang sangat terganggu dan hampir gagal, tetapi dia akhirnya berhasil dengan merapal mantra menjadikan Jonggrang jadi batu. Berhasil, tapi gagal.

Jika merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh dua presiden terakhir, 100 hari cuma bualan saja. Kedua presiden, Gus Dur dan Megawati, tak memberikan sesuatu yang berarti dalam rentang waktu itu. Gus Dur, dalam derajat tertentu, berhasil membangkitkan semangat kita untuk berpikir merdeka. Dia berhasil, walau gagal mempertahankan jabatannya. Mega, hingga hari ini, berhasil membuat kita sedikit nyaman, tetapi hasilnya, kita harus tunggu hingga pemilu 5 juli nanti. Keduanya tak mencapai itu dalam 100 hari. Jadi, waktu selama itu bukan hal yang penting.

Sebab, terlalu banyak yang harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum dapat menetapkan waktu. Fogg tahu dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari karena moda transportasi telah ada. Bondowoso mau memenuhi permintaan Jonggrang karena dia tahu dia akan didukung oleh pasukan jin-nya. Lah sekarang, para presiden itu akan didukung oleh apa?

Ambil contoh janji Hamzah Haz meludeskan KKN. Maka dia harus mengubah mentalitas orang Indonesia apapun agamanya, menghancurkan struktur pemiskinan massal yang sudah begitu permanen, mencari sumber uang yang dapat mengimbangi rasa lapar dan lapar akan rasa hormat, membentuk aparat polisional: polisi dan jaksa yang berdedikasi dan meyakinkan masyarakat semua bahwa kerja itu bukan miliknya saja. Bila keadaan ini terpenuhi, baru dia bisa menentukan tanggal. Ataukah dia akan menyiapkan segala ini dalam 90 hari, dan menghabisi KKN dalam 10 hari berikutnya? Sungguh.... sebuah janji nan memilukan!

Tetapi tak apa juga toh kita orang Indonesia juga sudah terbiasa mendengar orang-orang berkata sesuatu dengan maksud sesuatu yang lain. Ini namanya sopan santun, tepo seliro dan musyawarah untuk mufakat.

Sehingga, mungkin lebih baik menonton film 30 hari mencari cinta yang ternyata juga menyajikan kegagalan, tanpa harus ada yang mati!

..........

25 June 2004

Asap

Sejak tahun 1997, pas krisis menghantam Indonesia, asap dari kebakaran hutan di Indonesia telah terbang hingga ke Singapura dan Malaysia. Sejak tahun itu, asap jadi problem serius bagi kedua negara tadi. Dari tahun ke tahun, kedua negara tadi 'membantu' Indonesia memadamkan kebakaran hutan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan.

Bantuan mereka mungkin karena merasa bertanggung jawab juga sebab kedua negara tadi adalah asal cukong yang mendanai penebangan hutan di Indonesia. Bahkan jaringan cukong ini telah begitu kuatnya di Kalimantan, sampai-sampai petugas penjaga ketertiban di sana, polisi, aparat pemerintah daerah dan juga kepala adat di sana, jadi kawan mereka. Mungkin dalam konteks inilah pernyataan Hamzah Haz, wakil presiden RI dapat dimengerti. Di harian Koran Tempo, Hamzah dikutip seperti ini: "Jelas mereka kena. Tapi kan banyak kayu yang dilempar dari sini jatuh ke Malaysia dan Singapura."

Pernyataan ini mungkin tak sepantasnya keluar dari mulut orang nomer dua di negara kita itu. Mungkin akan lebih elok bila Hamzah agak diplomatis. Kendati tak dipungkiri juga, pernyataannya juga merupakan 'jeritan' sebagian besar rakyat Indonesia terhadap perilaku kedua negara yang sepertinya benar-benar memanfaatkan ketidakberdayaan Indonesia.

Tidak berdaya? Iyalah. Lihat bagaimana ribuan TKI bertekad bulat bekerja di kedua negara tadi, dan kemudian dicap sebagai pendatang haram di Malaysia. Lihat juga perlakuan para majikan di Singapura sebagaimana nampak dalam nasib TKI Nirmala Bonet. Lihat bagaimana Singapura berkongkalikong menenggelamkan pulau-pulau di Kep. Riau. Lihat bagaimana Malaysia berlagak pilon mendiamkan penyelundupan kayu dari Indonesia ke Malaysia.

Adakah ungkapan tadi kecemburuan, tak mau merasa kalah, atau semacam ultra-nasionalisme? Tak tahulah... dan mungkin juga tak penting...

Yang pokok, kita ini memang paling spontan dalam mencari kambing hitam. Sekali ada pihak yang 'kelihatannya' dapat disalahkan, langsung saja kita dengan sangat terlatih dan fasihnya menghajar pihak itu. Memang dalam kasus asap ini, Malaysia dan Singapura juga salah. Tetapi harus diingat juga, pangkal kesalahan ada di kita sendiri.

Saya jadi ingat seorang kawan, yang selalu bernyanyi untuk mengusir asap tiap kali ber-api-unggun-an: Asap, sana, sana, Ibu beli daging, sana, sana

Entah apa sebenarnya maksud syair itu, tetapi kadang-kadang, nyanyiannya berhasil mengusir asap.

24 June 2004

Kampanye Negatif

Ini adalah penafsiran lebih jauh dari istilah bahasa Inggris, black campaign. Koran Tempo menterjemahkannya jadi kampanye gelap. Ada yang menyebutnya kampanye hitam. Kesemuanya merujuk pada aktivitas seseorang atau kelompok orang membuat kabar atau berita yang tidak benar mengenai seseorang. Dalam kaitan kampanye presiden kali ini, misalnya ada fax yang dikirim dari kantor kampanye Amin Rais ke seluruh penjuru dunia berisi informasi palsu tentang SBY. Saya yakin, ini seperti kata pepatah, melempar satu batu, dua tiga burung mati.

Yang menarik saya adalah istilah kampanye negatif yang jadi judul opini Media Indonesia. Harian ini membuka opini dengan menyepadankan kampanye presiden dengan penjual obat pinggir jalan yang menjajakan produknya paling bagus, tanpa cacat dan tak berefek samping. Para capres juga begitu, menjual mimpi dengan sangat berlebih-lebihan. Semuanya baik dan mungkin. Nah, kampanye negatif adalah apabila ada orang yang menampilkan fakta lain, yang tidak positif, dari setiap capres ke publik. Ini dapat dikategorikan penghinaan dan perbuatan yang tidak menyenangkan, sebab itu bisa dikenai hukuman penjara.

Tetapi, Media Indonesia menggarisbawahi bahwa kampanye negatif baik sepanjang hal itu digunakan untuk mengungkapkan perjalanan hidup si para calon capres. Sebab, informasi yang utuh ini dapat digunakan oleh rakyat untuk menentukan pilihannya. Ada yang dirugikan nggak? Ya, si capres itu semua. Tentu wajar jika orang marah, sedih, kecewa, trauma, saat aib masa lalunya diotak-atik. Apalagi jika orang itu mati-matian menjauhkannya dari mata publik.

Duh... pusing. Menurut saya, kampanye presiden Indonesia - hakikatnya - adalah negatif. Para capres secara tak langsung mengorbankan rakyat. Jadi... tak tahu saya mau menulis apa lagi......

Pusiiiingggggg.....

16 June 2004

Meramalkan Bunuh Diri

Anak usia sekolah dasar belakangan hari ini banyak yang bunuh diri. Ada yang gagal dan berhasil. Penyebabnyapun aneka. Misalnya, Miftahul Jannah, 15 tahun, gantung diri karena diduga dirinya tak punya uang untuk ikut study tour sebagai perayaan kelulusan sekolahnya. Profil Mitha, begitu dia dipanggil, adalah anak sebatang kara yang sejak kecil tinggal bersama kakek dan neneknya akibat perceraian orang tuanya. Karena ini, dalam kesehariannya, Mitha adalah seorang pemurung penyendiri yang mungkin minder berkawan dengan teman sebayanya.

Heryanto, anak 12 tahun, mencoba bunuh diri karena tak mampu membayar Rp.2,500 biaya ketrampilan di sekolahnya. Yanto merasa malu ketika gurunya tetap menagih uang itu, sementara orang tua Yanto tak mampu memberinya. Jangankan uang sekolah, makan sehari-hari saja mereka masih kepayahan. Harap dimaklumi sebab Yanto adalah salah satu anak miskin dari sembilan juta keluarga miskin di Jawa Barat.

Orang dewasa juga banyak yang bunuh diri. Alasannya: tak ada yang pernah mengerti pasti. Hanya saja, mereka yang bunuh diri rata-rata berpenghasilan kecil. Sebab itu, sepintas lalu alasan ekonomi ini jadi latar belakang yang masuk akal orang lain bagi tindakan mereka. Tapi pada kenyataannya, tidaklah semudah itu. Ekonomi hanya salah satu dari ribuan alasan.

Terlepas dari itu, ada 62 orang bunuh diri di Jakarta di tahun 2003. Di pulau Bali, dari 30 orang yang mencoba bunuh diri, 20 di antaranya tak terselamatkan.

Bunuh diri sepertinya jadi solusi yang baik untuk beragam persoalan. Jika memantau pemberitaan koran di Batam, berbagai alasan bunuh diri ada di situ: ada yang berhutang, seorang pembantu nekad bunuh diri karena takut dimarahi majikannya sehabis pergi ke diskotik, seorang wanita mudah bunuh diri karena pacarnya mangkir. Mereka lari dari apa? Kemiskinan, kesumpekan-hidup atau patah hati?

Terlepas dari itu, gejala bunuh diri yang semakin banyak ini dapat diduga karena runtuhnya pijakan agama dan budaya. Khusus dalam Islam, manusia yang bunuh diri dilaknat masuk neraka. Sementara para kyai atau guru agama yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" akhlaq dan ajaran Islam, sedang asyik masyuk berpolitik dan menelantarkan umatnya. Apalagi dalam berpolitik, para pemuka agama ini membuat pernyataan yang aneh-aneh. Dan perilaku ini dengan sendirinya menghancurkan kredibilitas mereka sebagai orang yang bijak dan tak memihak. Para pemuka agama bukanlah tujuan umat mencari nasihat lagi.

Seiring dengan itu, tercipta standar hidup baru. Umumnya standar ini dibuat di kota-kota besar. Standar ini biasanya sangat sulit dipenuhi oleh orang-orang yang tidak tinggal di kota. Apabila orang pedesaan ini mau memenuhi standar, maka ia harus ke kota, atau setidaknya berlagak layaknya orang kota. Penerapan paling khas dari standar baru ini adalah gaya hidup, yang tercermin antara lain dalam berbusana. Akibatnya, orang desa yang dulunya sudah tertinggal, makin dalam jatuh ke dalam jurang perbedaan.

Bagaimana standar baru ini bisa sampai ke mata, telinga dan pikiran orang desa. Tentu saja karena TV. Karena persaingan begitu kerasnya, stasiun tv berlomba membangun stasiun pemancar untuk menjangkau seluas mungkin wilayah Indonesia. Saya yakin, mungkin sekarang hanya sedikit blank-spot yang tertinggal di negara kita ini.

Dalam caranya memenangi perlombaan, stasiun tv terpaksa harus membuat standar logika baru, yang sialnya, diturunkan hingga ke standar paling rendah. Efek dari ini adalah penyeragaman audien. TV sekarang adalah ganti kyai yang sudah menelantarkan umatnya. TV adalah panduan gaya hidup, bertingkah laku dan guru spiritual sekaligus.

Bagaimana TV menyikapi ini? Sepertinya sih acuh tak acuh. Yang terpenting bagi TV adalah acara yang mereka buat menyerap penonton yang pada akhirnya mengundang iklan, atau uang. Mengenai efek dari acara itu, TV tak terlalu peduli. Apabila penontonnya mampu menerima logika TV itu dengan cerdas, ya syukur, kalau tidak ya... tanggung sendiri.

Nah, terkait dengan bunuh diri, semua TV menyajikan acara kriminal. Seluruh tindak kriminal sekarang sah masuk ke TV. Dari pencurian biasa hingga pembunuhan. Lokasinya bisa di desa terpencil hingga metropolitan. Telah terjadi demokratisasi tindakan kriminal. Dalam genre acara ini, perbuatan yang merenggut nyawa diri sendiri juga boleh masuk. Secara tak langsung, ini jadi model tindakan bagi masyarakat umum. Coba saja sekarang teliti, peningkatan tindakan kriminal di seluruh Indonesia dan tingkat bunuh diri. Kendati perlu penelitian lebih lanjut, saya berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia adalah peniru model perilaku di TV.

Kendati menggarisbawahi TV sebagai salah satu penyebab bunuh diri, saya bukan menunjuk TV sebagai penyebab utama. Bahkan, kebanyakan pakar sosiologi dan psikologi berpendapat tak ada sebab dominan dalam tindak bunuh diri. Umumnya penyebab bunuh diri adalah kombinasi berbagai faktor personal dan sosial.

Karena bisa dihitung, sebenarnya bunuh diri juga dapat diramalkan. Sebab perkembangan personal selalu terkait dengan lingkungan di mana seseorang tinggal. Jadi, seiring dengan perbaikan lingkungan (maksudnya bukan lingkungan hidup, seperti hutan, binatang dst-nya saja), maka tindakan bunuh diri bisa berkurang.

Dan para pemuka agama adalah juga bagian dari lingkungan yang harus diperbaiki... entah itu diganti dengan orang yang lebih peduli dan bijak, entah itu dihilangkan saja perannya...



15 June 2004

Nurani

Hampir semua calon presiden menganjurkan rakyat untuk memilih dengan hati nurani. Apa itu? Nurani, atau hati nurani mungkin sepadan dengan istilah Inggris conscience. Kata itu sering dibayangkan sebagai moral faculty, sense, or consciousness which prompts the individual to make right choices. (free-definition.com). Dalam konteks anjuran para capres, rakyat diminta secara langsung untuk memilih mereka yang mengeluarkan anjuran itu. Jadi apabila Wiranto berkata, "Pilihlah dengan hati nurani", maksudnya adalah permintaan untuk memilih dirinya. Demikian juga apabila SBY, Amin Rais berkata sama.

Tetapi bila kita kaji definisi nurani lebih dalam, ada kata moral di sana. Moral sendiri gampangnya adalah baik, buruk, tepat dan tidak tepat. Sedangkan kategori-kategori itu lebih sering ditentukan oleh lingkungan. Jadi ada satu tindakan yang dulu buruk, sekarang baik, dulunya tepat sekarang tidak tepat. Singkatnya moral berubah-ubah sesuai pengetahuan yang lagi ngetrend saat itu. Dulu, pria pantang ke salon, sekarang pria yang tak ke salon, dianggap kampungan. Akibatnya, nurani juga berubah-ubah.

Dan itu wajar saja. Sebab kata Oscar Wilde, "Kebanyakan orang adalah sama. Isi benak mereka adalah orang lain. kehidupannya hanya mimikri (tiruan), dan semangatnya cuma sebuah pengulangan." (Koran Tempo, 13 Juni 2004). Memang agak menyepelekan, tapi begitulah kenyataannya. Apalagi kenyataan di dunia saat ini ditentukan oleh media massa. Media massa membuat tontonan berdarah dan hantu-hantu, maka ada anak kecil yang mogok sekolah karena dia takut di luar sana ada orang jahat yang siap sedia merampas kebebasan dan harta bendanya. Iklan anti ketombe datang bertubi-tubi dan membuat baju warna hitam tak laku dipakai. Ini telah jadi knowledge (saya mau menterjemahkannya menjadi pengetahuan, tapi kok aneh) seseorang yang akhirnya mempengaruhi sistem kepercayaan seseorang. Bila dikaitkan dengan keseluruhan paparan di atas, maka seseorang sebenarnya terperangkap dalam nuraninya sendiri. Lucunya, Amnesty International sampai-sampai menciptakan frasa Prisoner of Conscience bagi orang-orang yang tidak bisa menjalankan kepercayaannya. Dengan kata lain organisasi itu menguatkan orang untuk selalu terperangkap.

Mengapa begitu? Ya karena dengan mengenali nurani seseorang, maka orang lain akan dengan mudah meramalkan tindakan orang lain. Atau setidaknya ya... memberi label bagi bagi sebuah tindakan. Atau dengan kata lain, memberi nilai moral terhadap sebuah tindakan. Misalnya, meludah di gedung milik pemerintah Amerika Serikat akan dikenai pasal anti-terorisme. Dalam bahasa Immanuel Kant, banyak kategori imperatif diberikan kepada aneka tindakan. Siapa pemberi nama tindakan itu? Ya... rejim kebenaran yang berlaku saat itu. Artinya adalah bahwa tiap orang akan punya kekuasaan untuk memberi nilai moral terhadap orang lain. Bisa jadi suami ke istri, boss ke anak buah, satpam ke para pengunjung mall, dst. Dari mana mereka punya kuasa itu? Ya dari nurani yang sudah dibentuk oleh media massa tadi.

Jadi hingga saat ini tak ada seorang yang punya pemikiran original atas nuraninya sendiri. Manusia adalah orang yang tidak merdeka. Jadi agak membesar-besarkan juga andaikata ada orang berteriak, "Saya orang merdeka yang bebas menyatakan pendapat saya, kapan saja saya mau, di media apapun yang saya sukai". Absurd. Tapi biar begitu, orang masih saja menyangka dirinya adalah individu yang independen. Dalam logika lain, manusia masih percaya pada absurditas. Kalaupun tak percaya, ya setidaknya mengakui absurditas itu ada dan dia tak berbuat apa-apa. Kalaupun mau berbuat, dia tak bisa, karena dia telah jadi anggota rezim kebenaran yang mengagungkan retorika kebebasan. Dan, apabila ini berlanjut, kata Voltaire, manusia terus akan meyakini kekejian. Nyatanya begitu.

Maka dari itu, semakin sedikit kategori imperatif yang kita yakini, semakin merdeka. Dulu saya pernah denger Emha Ainun Najib ceramah dan dia berkata semakin sedikit peraturan yang kita ikuti semakin bebaslah kita. Kalau diterapkan semakin jauh, semakin tak bermoral dan tak berhati nurani, semakin merdekalah manusia. Dan orang-orang seperti itu dikenali oleh berbagi kebudayaan dunia sebagai "orang gila".

Tetapi karena gila, ya terserah dong.... seperti Zarathustra!








11 June 2004

Melodramatic

Padanan kata Indonesianya saya tak tahu persis, lha wong definisi Inggrisnya saja saya juga ragu artinya. Yang saya tangkap, segala aktivitas di atas panggung yang menguatkan kesan dramatis. Jadi kalau mau digampangkan, ya... mendramatisir!

Drama jadi menarik apabila cerita yang dipentaskan mengenai konflik: dua kerajaan berperang, konflik bapak anak, konflik percintaan. Dalam konflik, ada dua peran penting yang membuat cerita itu jalan, yakni yang baik dan yang jahat. Dalam film-film Holywood, Bollywood, Indonesiawood juga begitu. Penjahat menang dulu, yang baik menang setelah menderita sepanjang film dan melatih keahlian: main pedang, ilmu silat, komputer, bikin bom, kursus jadi model, dst-nya.

Saya pikir ini adalah metode umum yang bias kita pakai sehari-hari untuk mengenali realitas. Misalnya, si A baik, si B jahat. Karena sopan santun, kita biasanya menyebut si jahat dengan "kurang baik" atau "cukup jahat". Kita selalu berbelok-berbelok dan memilih cara tak langsung untuk mengatakan kejujuran karena takut si obyek pembicaraan tersinggung, marah dan kemudian membalas dengan lebih keras dan merugikan kita sendiri. Tapi bukan itu yang saya bahas.

Melodramatis. Sekarang ini lagi kampanye presiden. Setiap capres dan cawapres nampaknya berusaha keras ditampilkan oleh media sebagai "korban". Penyebabnya mungkin sukses SBY menjadikan dirinya korban kedzaliman Megawati, melalui pernyataan yang dibuat Taufik Kiemas dan Sekretaris Kabinet. Media massa membesar-besarkan ini dan yang diuntungkan SBY. Hasilnya, dia populer dan Partai Demokrat punya suara banyak.

Sekarang, Megawati berusaha memposisikan diri sebagai korban dari pernyataan para kyai yang mendukung Wiranto dan Salahuddin Wahid. Para kyai bilang "haram" presiden perempuan. Segera saja, orang lain yang punya pendapat lain dengan kyai di-blowout oleh media dan Megawati diuntungkan.

Tetapi, yang kelihatannya mati-matian berusaha menjadikan dirinya korban adalah Wiranto. Dia memposisikan diri sebagai orang lemah yang melakukan sebisanya untuk menjaga negara apabila ada tuduhan tentang keterlibatannya di masa lalu dalam kerusuhan Mei 98 atau Timor Timur. Tetapi, dia memposisikan diri jadi orang yang bakal kuat untuk memimpin masa depan Indonesia. Hasilnya, untuk orang-orang berpendidikan tinggi dan tinggal di kota, kampanye itu tak berefek maksimal, tetapi di desa-desa, kampanye itu mungkin memperkuat posisinya.

Sayangnya, sebagian besar rakyat Indonesia yang sebenarnya jadi korban kebijakan negara, baik langsung atau tidak langsung, tanpa akting dan membuat-buat, tak memperoleh simpati dari mana pun. Kalaupun ada perhatian dari para capres dan cawapres, atau organisasi non-laba asing maupun domestik, itu hanya usaha mereka untuk mencari kesan baik, kurang kerjaan dan bahkan jadi mata pencaharian.

Siapa yang peduli sebenarnya?


09 June 2004

Rasa Malu

Dari mana datangnya? Saya mencoba mencari tahu dengan berkeliling di internet. Ada yang menulis lebih baik mengenali malu dengan cara menggandengkannya dengan kata cemas. Resikonya, kita akan terjebak pada debat kusir seperti dalam kasus "telur sama ayam duluan mana?" Terkadang rasa malu timbul terlebih dulu dan akhirnya membuat cemas yang nampak dalam ekpresi bahasa tubuh; dan sebaliknya kelihatannya kecemasan muncul dulu dan menyebabkan seseorang jadi malu. Dalam keduanya ada situasi eksternal yang mempengaruhi si pemilik rasa malu. Jadi rasa malu itu adalah perasaan tak nyaman ketika: berada di antara orang banyak, berbicara dengan orang lain dan meminta tolong orang lain (www.wordiq.com)

Rasa malu biasanya melekat pada anak kecil. Ia malu ketemu orang lain. Semakin dewasa anak, rasa malu itu akan berkurang, apalagi jika seseorang merasa nyaman di dalam situasi yang dihadapinya. Kendati demikian, tiap orang dewasa punya tendensi untuk merasa malu.

Rasa malu bisa menjadi bagus, bisa juga tidak. Rasa malu bisa jadi pangkal segala perbuatan bajik, karena ia mencegah orang untuk berbuat seenaknya sendiri. Seorang jadi punya kontrol atas dirinya sendiri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan mendeskreditkan namanya.

Rasa malu juga bisa memicu tindakan kriminal. Misalnya ada seorang perempuan yang hamil di luar nikah, janinnya coba digugurkan, atau membunuh bayinya begitu terlahir. Padahal janin atau bayi itu hanyalah sekedar hasil dari perbuatan yang tidak malu-malu. Jadi yang harus dihabisi bukan janin atau bayi itu, melainkan rasa tidak malu-malu ketika melakukan persetubuhan. Logika ini juga bisa diterapkan untuk kasus korupsi: saat melakukannya tak malu, tapi begitu dihukum malu, orang tua malu apabila anaknya tak naik kelas karena masyarakat akan menganggap anaknya tak pandai atau bengal, tetapi tidak malu ketika anaknya tidak belajar sebab masyarakat tak tahu anaknya tak belajar (Oleh: Margaretha Sih Setija Utami)

Rasa malu juga dapat menyebabkan orang jadi fatalis. Misalnya, Tupiyanti (25), seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di plafon rumah kontrakannya, disaksikan anak satu-satunya di Kampung Cibeurih, Desa Galumpit, Kecamatan Plered, Purwakarta, Selasa (24/2). Anak sekecil itu dipaksa untuk melihat sang ibu yang meregang nyawa secara perlahan. Penyebabnya diduga Tupiyanti tak kuat menahan malu lantaran terus-terusan ditagih utang sebesar Rp 50.000,00 (kolom tajuk Pikiran Rakyat).

Bila disimpulkan, rasa malu terkait dengan ruang privat dan ruang publik. Seseorang tak akan merasa malu apabila dia berada di situasi personal yang ia kuasai sendiri; sebaliknya orang akan malu apabila dia berada di situasi yang disangkanya dapat membuka tabir hidup personalnya. Itu sebabnya, sepasang kekasih bermesraan tak malu, tetapi malu ketika si perempuan hamil di luar nikah.

Nah, bagaimana apabila orang yang seharusnya malu malah tak malu. Misalnya, seorang artis membuka tabir pakaian dalamnya di media publik. Atau, ketika Akbar Tanjung langsung memimpin delegasi DPR berkunjung ke luar negeri padahal dia baru saja dikenai hukuman tiga tahun. Wah, kalau ini sekarang sedang trend di Indonesia. Budaya tak tahu malu. Jadi, tak heran pula situasi Indonesia kacau balua sebab orang sudah tak punya kontrol atas perbuatan baik-buruk, benar-salah. Motivasi terpenting dari tindakan manusia Indonesia saat ini adalah - dalam istilahnya Darwin - "survival of the fittest". Hukum rimba!

Adakah yang masih memiliki rasa malu di antara kita? Menurut saya, sebaiknya malu dikeluarkan saja dari kamus Bahasa Indonesia, sebab itu membuat orang Indonesia jadi tak sederajat. Misalnya ada orang yang korupsi trilyunan tanpa malu-malu, tetapi ada orang yang bunuh diri gara-gara uang lima puluh ribu.

Sepertinya kacau banget nih negara kita ya?

08 June 2004

Milih presiden

Tibalah pada tanggal 5 Juli 2004. Penduduk yang punya kartu pemilih mendatangi TPS. Di salah satu TPS ada seorang pemilih yang telah masuk ke bilik sekitar lima menit keluar lagi dengan wajah marah, lalu berteriak, "Kertas suara ini salah cetak. Masak tak ada namanya Siswono Yudhoyono1"

Pada giliran lain, ada seorang pemilih yang begitu lama di dalam bilik tak keluar-keluar. Karena sudah melebih waktu wajar, petugas PPS mendatangi bilik, lalu dari luar bilik ia berkata:
PPS: Sudah, pak
Pemilih (agak gugup): bentar, sebentar lagi, mas
PPS: jangan lama-lama pak
Pemilih: baik, mas
Satu menit berselang, si pemilih keluar, tersenyum ke petugas PPS dan dengan terburu-buru menuju kotak suara. Karena begitu tergesa, ia tersandung, dan gedubrak. Ia terjatuh, dan berserakanlah pensil warna di sekeliling tubuhnya yang terjerembab itu. Sementara kertas suaranya meski tak terbuka semua, menyembul gambar wiranto sudah berwajah merah dan berkumis. Orang lain pada senyum-senyum saja. Karena mereka yakin, bukan cuma wajah wiranto yang berubah, tetapi semuanya, sebab si pemilih tadi ada di bilik lebih dari 20 menit!

Ada satu peristiwa lagi. Seorang ibu menunggu giliran mencoblos. Di beberapa lokasi di sekeliling TPS ada alat peraga. Ia berkomentar. "Kenapa presiden sama wakilnya fotonya di kotak sendiri-sendiri. Kan lebih bagus kalau mereka fotonya berpelukan, kayak teletubbies." Mungkin usulnya juga dapat menghemat ongkos cetak.

Ah... sebel!



02 June 2004

Kita yang harus selalu jadi korban


Sial bener deh kita ini anggota masyarakat biasa yang tak tahu dengan pasti mengapa harga-harga kebutuhan pokok naik. Kata pemerintah, pengamat ekonomi dan orang-orang yang pandai-pandai itu penyebabnya adalah harga minyak mentah naik terus dan nilai rupiah yang semakin lemah menghadapi dolar. Saya tidak tahu hubungannya bagaimana, apalagi untuk harga minyak mentah. Semua orang bilang Indonesia kaya raya akan sumber minyak, karenanya seharusnya senang dong dengan kenaikan harga minyak, sebab kita bisa menangguk untung berlipat. Tetapi, belum-belum si menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menegaskan kenaikan harga minyak mengakibatkan subsidi BBM naik dan anggaran belanja juga harus naik. Sumpah mati saya tak mengerti logika ini. Bukankah dulu tahun 70-an, Indonesia kelimpahan untung begitu banyak ketika harga minyak naik, dan keuntungan itu sebagian untuk membangun negara dan sebagian dikantongi Soeharto, militer dan kroninya. Kok sekarang tak bisa? Mengapa?

Kalau nilai tukar rupiah melemah melawan dolar, saya sedikit mengerti. Misalnya, tempe dibuat di Indonesia. Bahan mentahnya, yakni kedelai diimpor dari sebuah negara di Amerika Selatan. Membayarnya dengan dolar Amerika. Kedele itu diolah lalu dijual dalam rupiah. Pabrik tempe mengambil untung dari selisih nilai dolar dan rupiah itu. Apabila dolar naik, maka selisih semakin kecil. Dia masih dapat untung jika tetap menjual dengan harga sekarang. Hanya saja setelah itu dia akan bangkrut sebab keuntungannya tak cukup untuk beli kedele yang dijual dalam dolar AS. Oleh sebab itu, harga tempe harus naik. Demikian juga harga-harga barang konsumsi yang masih menggunakan bahan baku impor.

Persoalannya adalah sebagian besar sembako masih membutuhkan impor. Beras, diimpor. Minyak goreng masih menggunakan bahan campuran yang diimpor. Pakan ternak juga. Mi instan juga perlu gandum impor. Jadi semuanya naik. Sudah tahu begini, pemerintah kelihatannya juga tak mencoba mengatasinya. Kita seperti semut yang akan mati di timbunan gula. Tanah kita yang subur ternyata tak mampu menumbuhkan segala kebutuhan kita. Kita harus beli dari tanah lain.

Nah, di tengah-tengah ini ada kampanye presiden. Entah apa yang akan mereka janjikan untuk mengatasi hal-hal mendasar seperti ini. Saya yakin apapun janji mereka untuk mengatasi persoalan ini tak ada yang dapat dilaksanakan sebab aturan main yang berlaku saat ini adalah aturan yang tak dibukukan dalam undang-undang. Mereka bisa berhasil mengatasi masalah ini jika mereka memakai cara yang tak terdapat dalam undang-undang juga.

Kalaupun mereka mau pakai undang-undang, maka mereka harus menggunakannya dengan saklek. Hanya ada intepretasi tunggal atas sebuah perundangan, tak ada kompromi. Itu pun baru akan jadi sebuah contoh, belum tentu akan jadi sistem yang akan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.

Contoh akan jadi sistem apabila terus menerus dilakukan, dan bukan hangat-hangat tai ayam!

Begitu dah!



17 May 2004

Sistem Kesalahan Kolektif

Saya sering jengkel saat mengemudi di jalan di mana banyak angkutan umum: metro mini, kopaja, angkot. Sebab, mereka selalu seenaknya sendiri. Seolah-olah cuma mereka yang punya kepentingan khusus, yakni mencari uang untuk menguber setoran dan untuk diri dan keluarganya sendiri, orang lain tidak. Dalam bahasa susah: "Ends justify the means". Apapun sah dilakukan oleh para pengemudi angkutan umum itu asal tujuan tercapai. Betapa mulia!

Seorang kawan yang saya paksa mendengarkan keluhan saya mengenai angkutan umum ini, memberi informasi lain. Secara personal dia memang mengiyakan pendapat saya, tetapi dia memberi fakta lain. Suatu ketika, dia naik angkot. Jalan macet dan angkot yang dia tumpangi mencoba segala upaya melakukan apa yang seharusnya dilakukan pengemudi angkot lain: mengambil jalur dari arah sebaliknya untuk menyalip dan kemudian dengan tiba-tiba dan memaksa kembali ke jalur kiri apabila ada kendaraan dari depan yang tak bisa ia paksa minggir, misalnya truk Pertamina atau kendaraan besar lainnya. Nah, saat akan kembali ke kiri, ada pengemudi mobil pribadi yang tak memberi ruang, si supir angkot langsung mencak-mencak: "dasar gila, mau menang sendiri, mentang-mentang mobil pribadi, enggak mau ngalah sama angkot." Padahal, kalimat tadi seharusnya diucapkan si pemilik kendaraan pribadi tadi. Intinya adalah, pengemudi mobil pribadi akan menyalahkan angkutan umum dan pengemudi angkutan umum akan dengan lebih galak lagi memarahi pemilik mobil pribadi.

Saya pernah mencoba ber-empati terhadap pengemudi angkutan umum. Saya memang maklum dengan apa yang mereka lakukan, tetapi cara itu bukanlah cara yang benar menurut hukum. Jadi, seharusnya mereka tertib saja.

Sayangnya, fakta di lapanga lain. Ada banyak sekali angkutan umum yang mencoba mencari uang. Di beberap jalur, angkutan umum bahkan melebihi kapasitas penumpang. Sehingga, persaingan menjadi sangat keras. Untuk mengatasi itu, para pengemudi harus melakukan apa saja, termasuk melanggar peraturan dan mengacuhkan kepentingan pengguna jalan lain. Dapat diasumsikan jumlah uang yang diperoleh pengemudi berbanding lurus dengan kenekadan si pengemudi. Semakin gila, semakin banyak uang. Sebuah keabsurdan yang teramat nyata.

Tetapi, sekali lagi itu salah, menurut hukum. Tetapi sekali lagi karena keadaan ekonomi sulit, penjaga ketertiban, entah itu polisi, DLLAJ, pamong praja, maklum. Apalagi jika mereka diberi "gizi".

Di Indonesia, sebenarnya banyak yang salah. Tetapi kesalahan itu dibiarkan terus terjadi sebab apabila dilarang, maka akan terdapat terlalu banyak orang miskin. Jadi kehidupan kita sehari-hari, didasarkan atas hukum yang salah.

Atau, jangan-jangan justru hukumnya yang salah. Sudah tahu orang Indonesia tak bisa menunggu dan turun di halte, masih saja dibuat halte di mana. Sudah tahu orang Indonesia lebih senang menunggu di pertigaan atau perempatan jalan menunggu angkutan umum, masih saja membuat terminal yang terlalu jauh. Sudah tahu orang Indonesia suka menyebrang di mana saja, masih saja membuat jembatan penyebrangan atau zebra cross. Dengan ini, kita dapat artikan bahwa, orang-orang yang kita percaya dapat membuat peraturan dan hukum demi ketertiban malah tidak mampu memahami irama hidup manusia Indonesia.

Jadi kalau dirangkum. Ada kelompok orang yang akan membuat peraturan dan hukum supaya kehidupan menjadi aman tertib dan nyaman. Dalam pelaksanaannya, ada aparat yang bertugas memastikan semua peraturan ditaati. Tetapi karena peraturan itu tidak membuat kebanyakan anggota masyarakat, maka kelompok masyarakat ini akan menciptakan sebuah kebiasaan sendiri yang mereka rasa nyaman, kendati cara itu sama sekali tidak sesuai dengan peraturan dan hukum yang ada. Aparat yang seharusnya menjaga peraturan dengan terpaksa menerima kenyataan itu dan membolehkannya, apalagi mereka secara ekonomis diuntungkan. Jadi, terbentuklah sebuah kebiasaan baru yang lebih aktual, bukan imajiner.

Singkatnya, ada sistem hukum yang diciptakan berdasarkan idealisme. Ada sistem sosial yang diciptakan berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat. Yang kedualah yang dijalankan.

Dalam cakupan yang lebih besar, asumsi ini juga dapat diterapkan, koq. Ada sistem pemilu presiden yang memungkinkan tiap individu untuk secara bebas aktif menentukan pilihannya sendiri. Ada juga sistem sosial di mana seorang kuat akan menentukan apa yang harus dilakukan oleh sekelompok massa yang lebih besar.

Sehingga, tak ada kewajiban untuk selalu taat peraturan yang ada. Lebih nyaman ikuti kebiasaan saja. Kendati salah, tetapi lebih membuat kita jadi anggota masyarakat biasa.

Dan tak ada kok yang akan bilang kita dungu karenanya!

06 May 2004

Siapa pemangku kebenaran?

Setiap orang memiliki kuasa. Artinya setiap orang dalam cakupan tertentu mampu mengeksekusi apa yang dia inginkan. Misalnya seorang anak kecil mampu menyuruh temannya untuk tidak berkawan dengan si Polan. Seorang ibu mampu melarang anaknya untuk tidak bermain pasir. Seorang suami mampu meminta istri dan anak-anaknya menghemat listrik. Seorang yang dituakan dalam lingkungan mampu meminta tetangganya agar bekerja bakti. Seorang pemimpin usaha mampu memecat anak buahnya. Dan seterusnya, hingga ke cakupan yang lebih mendunia. Seperti Presiden Amerika Serikat mampu memerintahkan pasukannya menyerbu Irak atau Afghanistan kendati kebanyakan negara menentangnya.

Seseorang selalu akan berusaha mengumpulkan dan melestarikan kekuasaan yang ia miliki. Caranya adalah dengan memperkuat fisiknya. Misalnya dengan berolah raga secara teratur, pergi ke salon untuk bersolek, melatih diri menguasai satu atau beberapa teknik beladiri. Atau belajar menggunakan senjata tertentu. Dengan memperkuat diri bukan berarti kekuasaan harus selalu diwujudkan melalui fisik, akan tetapi kekuatan fisik menjadi satu hal terpenting yang akan membuat orang itu wajar memiliki kekuasaan itu.

Cara kedua adalah dengan menciptakan pengetahuan. Misalnya, seseorang akan menciptakan semacam prosedur yang harus diikuti oleh orang lain. Prosedur ini harus dilengkapi dengan alasan-alasan lain, baik itu akademis, akhlaq atau sosial. Keseluruhan pengetahuan ini berawal dari keinginan melindungi tubuh si pencipta kebenaran dan akan berakhir pada menguatnya tubuh si empu kebenaran tadi. Bila rutinitas ini berlangsung lama, atau setidaknya memungkinkan rutinitas itu selalu diulang-ulang dengan cara yang cepat, maka semakin kuat saja si pemilik kebenaran tadi. Dus, akan semakin berkuasa pula. Misalnya, jika ada menerobos lampu merah di jalan HR Rasuna Said, Kuningan, maka serta merta polisi akan dengan mudah menangkap anda dan meminta tebusan. Rutinitas ini sudah terkenal dan secara konsisten dilaksanakan.

Lalu bagaimana apabila si pemilik kebenaran tadi tak punya tubuh yang sehat, misalnya seperti Gus Dur. Maka, kekuasaan ini sepenuhnya akan bertumpu pada pengetahuan, yang – mungkin – dapat dilihat melalui konsepsi ethos, pathos dan logos. Istilah ini dicetuskan oleh Aristoteles mengenai bentuk terpeting dari Rhetoric.

Ethos merujuk pada karakter si pembicara. Ini terkait dengan sejarah hidup. Apakah seseorang itu pada masa lalunya mempunyai reputasi yang baik pada bidang yang ia tekuni. Apakah pernah membuat kesalahan yang fatal dalam bidangnya itu. Dalam kasus Gus Dur, maka GD adalah seseorang yang memiliki sejarah panjang dalam ilmu agama dan juga dalam politik, sebagaimana dia dulu mampu bertahan memimpin Nahdlatul Ulama kendati kekuatan mantan presiden Soeharto via rejim Orba mencoba menjatuhkannya. Dia lolos dari itu karena mampu bermain politik dengan cerdas.

Pathos adalah emosi. Seorang orator yang baik harus mampu mengenali perilaku khalayaknya. Apakah mereka sudah jenuh, bosan, dan tak mendengar? Atau sebaliknya, mereka antusias dan tekun menyimak. Emosi juga terkait dengan peristiwa apa saja yang mengelilingi si orator. Apakah dia seorang yang didhalimi seperti SBY digambarkan media massa? Apakah dia dianggap orang yang sok kuasa seperti Taufik Kiemas? Khalayak cenderung mudah berempati pada mereka yang menderita. Namum cara khalayak bersikap pun ditentukan pula oleh pengetahuan umum yang dominan pada saat itu. Misalnya, ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang disakiti sistem hukum tetapi kebanyakan masyarakat tak memiliki sikap yang menentu sebab hampir seluruh institusi yang diberi kewenangan menyampaikan kebenaran, seperti polisi, hakim, media massa mencapnya sebagai dalang terorisme.

Logos adalah ilmu. Dalam kasus Gus Dur, maka GD adalah seorang intelek yang mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik. Meski tak lulus sekolah formal, GD besar di lingkungan pesantren yang dapat memastikan bahwa dia dapat beragama Islam dengan baik. Beberapa tulisan GD di masa lalu juga membuktikan bahwa GD mampu berpikir sesuai alur pengetahuan mainstream. Singkatnya GD adalah mumpuni.

Dengan bermodal ketiganya, GD adalah orang yang berhak mencetus kebenaran terlepas dari kekurangan fisiknya. Dan dengan cerdas pula, dia mengolah ketiga bentuk retorik tadi sesuai dengan keadaan khalayaknya. Dengan ini pula ditegaskan bahwa tubuh – dalam beberapa kasus khusus – bukanlah syarat mutlak bagi pemangku kebenaran. Contoh nyata yang lain adalah Paus di agama Katolik.

Pemangku kebenaran biasanya juga didukung oleh lembaga. Suami menjadi lebih kuat karena dia berada dalam lembaga keluarga, sebuah entitas yang dipandang sempurna oleh agama maupun adat istiadat. Kasus lain adalah polisi – sebuah lembaga yang diperkenankan memegang kuasa menertibkan kehidupan bermasyarakat.

Gus Dur juga melembagakan kuasanya. Dengan posisinya sebagai ketua dewan pertimbangan PKB, dia menguasai sebuah sistem penciptaan kebenaran yang melembaga. Sebagai cucu pendiri NU, dia pun seperti memiliki hak khusus terhadap NU kendati secara organisatoris dia tak tersangkut paut. Dalam kalangan NU, GD sering dianggap wali. Semakin besar dan kuat lembaga yang menyokongnya, semakin kuat juga nilai kebenarannya. Untuk analogi yang lain adalah urutan-urutan kekuatan peraturan hukum negara kita, di mana UUD 45 yang diamandemen akan jadi payung seluruh peraturan lainnya.

Pertalian beberapa elemen tadi kemudian membentuk pengetahuan yang akan berfungsi menguatkan kuasa Gus Dur. Jadi, tak perlu heran apabila kata-kata GD sekarang ini sangat ditunggu oleh para politisi. Coba lihat bagaimana baik Akbar Tanjung dan Wiranto menemui GD untuk menanyakan calon dari NU atau PKB yang akan diajukan sebagai wakil presiden. Hasyim Muzadi pun demikian. Kendati dia terkesan tak mau peduli dengan GD, akan tetapi dia kelihatan canggung dan tak percaya diri untuk mengiyakan pinangan PDIP. Coba juga perhatikan bagaimana GD selalu diperlukan oleh partai-partai kecil setiap kali mereka membuat gerakan-gerakan, poros-poros atau sekedar pernyataan. Yang terakhir adalah upaya Sri Sultan HB X mempertemukan Megawati dan GD. Singkat kata, GD memiliki posisi pivotal dalam peta politik Indonesia saaat ini.

Akan tetapi GD pada akhirnya akan mentok pada kekuatan tubuhnya. Seorang yang betubuh sehat cenderung lebih stabil secara emosional. Keadaan ini akan berpengaruh pada hasil pengetahuan yang dia ciptakan. Jadi akan tiba masanya apabila GD membuat pernyataan yang bukan hanya membingungkan para pendengarnya, tetapi juga membingungkan dirinya sendiri. Dan ini bukan hal yang aneh. Sebab, kualitas dan kuantitas pengetahuan selalu berbanding lurus dengan kekuatan tubuh seseorang.

Lalu bagaimana dengan orang-orang semacam Stephen Hawkings? Bukankan dia cacat, dan hingga sekarang pendapatnya selalu diperhitungkan oleh ilmuwan-ilmuwan yang bertubuh sehat. Benar, dan itu dapat terjadi karena Hawking memiliki pendapat yang konsisten. Apakah GD selalu konsisten dengan pendapatnya? Mungkin iya, hanya saja cara menyampaikannya memang lain dari yang lain. Mungkin si pendengar atau pembaca tulisan GD harus aktif menafsirkan apa yang GD maksudkan. Jika benar begini, GD secara tak langsung membuat orang lain cerdas.

Dan itulah yang terjadi. Pendapat GD sering dinilai kontroversial. Tetapi efeknya adalah pencerdasan si lawan bicaranya.

Itu menurut saya..



29 April 2004

Siapa Yang Kuat?

Adakah orang yang kuat bukan karena kita anggap dia kuat, melainkan kuat karena dirinya sendiri? Mungkin ada, tetapi dalam lingkup teramat kecil. Misalnya, seorang kepala rumah tangga, dalam hal ini pria, haruslah kuat mengatur organisasi rumah tangganya. Dia akan tambah kuat apabila istri dan anak-anaknya menganggapnya kuat. Dengan keadaan itu, dia mungkin akan mengatur rumah tangganya dengan baik, jika dia demokratis, ataupun dengan buruk, jika dia seorang otoriter.

Dalam lingkup yang lebih besar dari keluarga, yakni lingkungan tetangga, seseorang akan merasa dirinya kuat apabila dia secara ekonomi mampu, secara intelektual terdidik, secara usia dia cukup tua. Dia akan merasa dirinya kuat. Tetapi apakah keadaan ini akan membuatnya mampu mengatur lingkungannya, misalnya jadi ketua RT? Belum tentu. Sebab dia harus berdialog dengan para tetangganya supaya dia dianggap kuat.

Dalam organisasi lain juga begitu. Misalnya tempat kerja. Atau kelompok hobinya. Model ini juga dapat diproyeksikan ke dalam negara. Pertanyaannya, sekali lagi: adakah orang yang kuat itu?

Wiranto? Bahkan di Golkar pun ia kalah kuat dibanding Akbar Tanjung kendati dia memenangi konvensi. Akbar Tanjung? Ah, dia sudah kalah dalam segala hal. Amien Rais? Kuat di PAN atau di Muhammadiyah, tetapi tak cukup kuat dalam lingkup bangsa. Gus Dur juga begitu. Megawati juga. Singkat kata, ketiga orang yang disebut terakhir adalah jago kandang. Eh, ternyata, istilah ini juga dapat diterapkan pada semua nama-nama yang biasa disebut sebagai calon pemimpin.

Jadi tak ada calon pemimpin yang dapat kita anggap kuat, dong? Memang tak ada. Itu sebabnya semua orang mencari teman untuk menambah kekuatannya. SBY main sama Jusuf Kalla. Mega dan Wiranto berusaha main bareng Hasyim Muzadi, si ketua NU. Gus Dur memang kelihatannya tak mau main sama siapa-siapa, tetapi dia hanya mau mengambil orang yang kuat saja untuk jadi anak buahnya. Jadi, seperti ada gerombolan-gerombolan.

Padaha menurut saya yang kuat cuma militer. Bukan karena mereka punya senjata. Tetapi mereka kuat karena mereka berusaha mengumpulkan dan menjaga kekuatan yang sudah terkumpul. Dan merekalah sebenarnya yang menjalankan negara ini. Mereka tahu itu. Dan tanpa harus berteman dengan siapapun, kemampuan mereka tak berkurang, cuma mungkin jadi kelihatan tak pantas. Analoginya, seperti preman ngurusi pasar. Sebab itu mereka secara verbal mengatakan bahwa mereka netral.

Biar begitu, masih saja ada orang yang membujuki mereka ikut jadi teman. Kalaupun tidak bisa ya bekas militer juga bolehlah. Maka tak perlu heran bila Wiranto dan SBY jadi kandidat presiden.

Maka boleh dibilang, jalannya Indonesia tergantung militer. Jika militer mau ada pemilu presiden aman, ya dia bikin aman. Bila tidak, ya tidak. "Jadi mereka tak bertindak demi NKRI dong?" Memang tidak. Mereka akan melakukan segala yang perlu demi keuntungan sendiri. Jargon NKRI kan sama saja jargon yang biasa dipakai sipil "Brantas KKN".

Akhirnya, kalau mau lihat Indonesia nantinya seperti apa ya lihat saja militer akan kebagian apa. Bila kekuasaan mereka secara hakiki terkurangi, mungkin Indonesia tak akan pernah aman. Setidaknya itu yang akan terjadi hingga 2009.

Begitulah menurut saya!


23 April 2004

Menciptakan Kebenaran

Adakah yang namanya untung? Ada lah! Istilah ini identik dengan dagang. Kita ambil barang dua ribu, kita jual tiga ribu. Untung seribu. Jadi kata "untung" memang ada rujukannya di dunia nyata.

Apakah untung dapat diterapkan di dunia selain dagang? Oh ya, tentu saja bisa. Ada istilah ilmiah di ilmu sosial, khususnya komunikasi, yakni: economy of the truth! Maksudnya adalah apabila seseorang atau sekelompok orang yang diuntungkan oleh satu atau beberapa kebenaran. Misalnya: kemarin ada wabah deman berdarah. Lalu para dokter berkata, "hindarkan diri anda dari gigitan nyamuk". Ini adalah kebenaran. Dan yang diuntungkan adalah para pedangan obat nyamuk.

Kalau begitu kebenaran bisa sengaja diciptakan supaya orang memperoleh untung, dong? Jawabnya: betul! Contoh sederhana begini. Misalnya ada sebuah keluarga yang memiliki anak. Karena keluarga ini tidak kaya, maka sang kepala keluarga tidak mampu menyediakan kebutuhan anaknya dengan berlebihan. Apabila anak laki-laki, dia tidak bisa membelikan mobil dengan remote control. Apabila anak perempuan, dia tak mampu beli boneka Barbie. Lalu kedua orang tua ini menciptakan "kebenaran" yang dapat menghindarkan anak-anaknya mengkonsumsi mainan yang mahal-mahal itu. Misalnya dengan mengatakan, "Mobil remot dan boneka barbie buatan Amerika, nanti yang untung Amerika kalau kita beli. Lebih baik main mobil-mobilan dari kulit jeruk bali dan beli boneka cepot saja. Kita harus bangga jadi orang Indonesia!"

Coba deh lihat sendiri. Pasti pernah mendengar, entah itu orang tua kita, guru, atasan, teman, bahkan pacar yang menciptakan satu pernyataan "kebenaran" karena dengan melakukan itu mereka untung. Atau ingat-ingat sendiri, barangkali saja kita pernah melakukan itu.

Karena untung-rugi juga ada dalam penciptaan kebenaran, maka dari itu kita tak harus percaya-percaya betul apapun kata orang, kendati si pengucap kalimat itu adalah orang yang memiliki otoritas atas kebenaran itu. Misalnya, kyai/ulama atau pendeta yang mengeluarkan pernyataan keagamaan, dokter dengan istilah-istilah yang kedengarannya indah untuk penyakit kelamin, atau hakim/jaksa yang menggunakan kata ulangan untuk membebaskan seorang tersangka, politisi yang berjanji akan memberantas KKN. Sebab semua pernyataan tadi mengikuti prinsip ekonomi kebenaran.

Lalu bagaimana menghadapi dunia yang seperti ini? Waduh... itu saya juga tak tahu. Ada filsuf yang bilang bahwa dunia pernyataan tadi adalah fenomena. Maksudnya, pernyataan tadi benar hanya pada saat itu dan di tempat itu saja dan tidak terkait dengan apapun di luar pernyataan itu sendiri. Misalnya ada yang bilang, "Saya adalah seorang kapiten." Itu artinya, ya dia adalah kapiten pada saat ia mengatakannya dan tak perlu dirujuk kalau dia hidup di laut. Singkatnya, tak perlu menghubungkan sebuah pernyataan dengan pernyataan lain sehingga pernyataan tadi seolah-olah memiliki makna lain.

Tetapi karena orang cenderung selalu mencoba memahami satu pernyataan dengan kerangka pikir lain, ada seorang pakar sosial lain yang bilang bahwa kebiasaan itu dapat menciptakan kenyataan dari kenyataan yang semu. Analoginya adalah seperti seekor anak kucing yang berdiri di depan cermin dan ia menganggap ada kucing lain di seberang sana. Istilahnya, hiper-realitas.

Dan hiperrealitas ini terkadang buruk sebab cenderung menuntun orang merealisasikan kenyataan berdasarkan imajinasinya. Misalnya, ada orang yang ingin membangun rumah. Ia survey ke berbagai perumahan. Ia membaca banyak majalah atau tabloid tentang arsitektur rumah. Dan akhirnya ia menghubungi jasa pembuatan desain rumah yang dilengkapi efek tiga dimensi. Ia telah membuat kenyataan; dan kenyataan itu kemudian mengendalikan dirinya. Ia jadi bekerja lebih keras, lebih tak mempedulikan kemaslahatan orang banyak, asal ia dapat uang untuk membangun impiannya itu. Well, ini sih masih wajar.

Tetapi coba bila ada seorang yang yakin bahwa dunia akan aman apabila dia yang menjadi pemimpin dan mengikuti segala cara yang dia inginkan? Ya, seperti sekarang ini..... datar semua. Tak ada yakin bahwa masa depan patut dipertimbangkan lagi....

Sungguh memilukan!

15 April 2004

Ketidakjelasan yang sangat jelas

Aduh, rasanya sudah lama sekali tak menulis. Memang sebenarnya juga tak ada ide yang pantas untuk ditulis. Habis, saya sejujurnya agak kecewa dan patah arang dengan hasil pemilu kemarin. Saya memang terkejut dengan komposisi hasil perolehan suara, tetapi itu bukan masalahnya. Yang saya tunggu adalah hasil itu cepat selesai dan segera diumumkan, supaya kita tak tertunda dalam mempersiapkan apa yang sepantasnya disiapkan.

Pada hari pertama seusai pemilu, jadi tanggal 6 april, saya masih maklum dengan perolehan suara yang masih seribu dua ribu. Namun pada hari-hari berikutnya, penambahan suara seperti dicicil. Waktu itu saya menduga, paling lama seminggu seluruh suara dapat dihitung. Dan sekarang, tanggal 15 april, belum ada 100 juta suara. Jadi masih ada kurang lebih 40-an juta suara yang belum terhitung. Itu sudah 10 hari.

Memang rada kacau perhitungan suara ini. Kecurangan yang biasa terjadi semasa Orba, dilakukan. Dan panwaslu serta orang-orang yang berkepentingan atas itu juga lalai. Sementara, KPU sebagai panitia pemilu juga kelihatan gagap dengan segala hal. Dalam perundangan, dalam percetakan, dalam pengiriman logistik, dalam perhitungan suara, mungkin juga nanti dalam pengaturan pemiliha presiden. Tapi, ya sudahlah... sebenarnya itu tak ada sangkut pautnya secara langsung dengan kehidupan sehari-hari saya, cuma ini menyebalkan saja... Keseluruhan proses ini makin membuat saya yakin bahwa tak ada satu pun orang Indonesia dapat dipercaya memimpin, tak peduli siapa dia!

Nah, terkait dengan pemimpin, sekarang juga sedang berlangsung, kata koran, lobi tingkat tinggi. Wah, para calon pemimpin itu sepertinya tak kapok juga dan tak menyadari jika rakyat itu bisa menghukum. Perolehan suara PDIP menurun adalah hukuman, juga perolehan suara PAN. Sebaliknya, suara banyak untuk Demokrat dan PK Sejahtera adalah hadiah.

Apa yang para elit lakukan sebenarnya sah saja, setidaknya begitulah ungkapan lisan tiap orang. Tapi dalam hati, seharusnya apa yang seharusnya tidak dilakukan ya jangan dilakukan. Elit itu harusnya tak bermain dengan daerah "abu-abu". Rakyat sudah lelah. Rakyat inginnya yang jelas saja. Sebut saja: saya ingin jadi pemimpin karena ini dan itu dan saya berdedikasi tinggi bagi rakyat semua, karena itu saya tak mau bergabung dengan parpol ini atau itu sebab hal itu akan menganggu keinginan saya memihak rakyat!

Tapi tak ada tuh yang begitu. Mereka masih khawatir dengan jumlah suara yang mereka peroleh. Meski suara itu berpengaruh untuk mencalonkan nama capres dan wapres tetapi itu tak berpengaruh terhadap bagaimana rakyat memilih orang.

Rakyat hanya akan memilih orang yang "kelihatannya" dan "kedengarannya" atau "rasa-rasanya" ada di pihak mereka. Jika mereka melihat dan mendengar X membela mereka, rakyat akan merasa pantas saja memilih X untuk menjadi pemimpinnya. Begitu sederhana.

Tetapi, para elit memang punya kepentingan lain. Jadi... biar saja mereka sekali lagi dihukum oleh rakyat.

Dan ternyata, bagi orang-orang seperti saya yang tidak terdaftar jadi pemilih, dapat mendaftar untuk ikut memilih presiden. Jadi, saya agak senang dan mau memanfaatkan hak pilih saya itu. Setidaknya itu adalah keinginan saya saat ini.
Entah besok......