28 June 2004

100 hari

Ini adalah rentang waktu yang biasa digunakan, baik oleh pengamat politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, serta bidang kemasyarakatan lain dan juga oleh para politisi untuk mengukur keberhasilan sebuah program politik. Gampangnya, capres Wiranto berjanji dalam 100 hari akan menaikkan gaji guru. Hamzah Haz berjanji memberantas KKN, dan capres-capres lain saya tak ingat janjinya.

Bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan waktu 100 hari itu. Phileas Fogg, tokoh rekaan Jules Verne, dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari, masih tersisa 20 hari. Di budaya Jawa, bahkan ada kisah yang lebih dramatis. Seorang putri bernama Rara Jonggrang bersedia menikah dengan Bandung Bondowosa asalkan dibangunkan 1000 candi dalam semalam. Bondowosa berhasil dengan menjadikan si calon istrinya candi ke seribunya.

Konteks mana yang dapat kita pakai untuk memperkirakan apa yang bakal terjadi dengan janji para capres itu? Dalam kedua kisah, si tokoh mendapat halangan macam-macam. Fogg, harus menyebrangi bukan hanya benua dan negara saja, dia juga harus melintasi budaya yang tak mengerti nafsunya. Dia juga harus menghindar kejaran polisi. Akhirnya, berhasil tanpa ada seorang yang mati.

Lain dengan Bandung Bondowoso. Selama 2/3 malan dia bekerja tanpa halangan. Baru ketika dia memasuki sisa 1/3 malam, dia diganggu oleh anak-bauh Roro Jonggrang yang memukul alat penumbuk padi supaya para ayam jantan berkokok. Bandung memang sangat terganggu dan hampir gagal, tetapi dia akhirnya berhasil dengan merapal mantra menjadikan Jonggrang jadi batu. Berhasil, tapi gagal.

Jika merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh dua presiden terakhir, 100 hari cuma bualan saja. Kedua presiden, Gus Dur dan Megawati, tak memberikan sesuatu yang berarti dalam rentang waktu itu. Gus Dur, dalam derajat tertentu, berhasil membangkitkan semangat kita untuk berpikir merdeka. Dia berhasil, walau gagal mempertahankan jabatannya. Mega, hingga hari ini, berhasil membuat kita sedikit nyaman, tetapi hasilnya, kita harus tunggu hingga pemilu 5 juli nanti. Keduanya tak mencapai itu dalam 100 hari. Jadi, waktu selama itu bukan hal yang penting.

Sebab, terlalu banyak yang harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum dapat menetapkan waktu. Fogg tahu dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari karena moda transportasi telah ada. Bondowoso mau memenuhi permintaan Jonggrang karena dia tahu dia akan didukung oleh pasukan jin-nya. Lah sekarang, para presiden itu akan didukung oleh apa?

Ambil contoh janji Hamzah Haz meludeskan KKN. Maka dia harus mengubah mentalitas orang Indonesia apapun agamanya, menghancurkan struktur pemiskinan massal yang sudah begitu permanen, mencari sumber uang yang dapat mengimbangi rasa lapar dan lapar akan rasa hormat, membentuk aparat polisional: polisi dan jaksa yang berdedikasi dan meyakinkan masyarakat semua bahwa kerja itu bukan miliknya saja. Bila keadaan ini terpenuhi, baru dia bisa menentukan tanggal. Ataukah dia akan menyiapkan segala ini dalam 90 hari, dan menghabisi KKN dalam 10 hari berikutnya? Sungguh.... sebuah janji nan memilukan!

Tetapi tak apa juga toh kita orang Indonesia juga sudah terbiasa mendengar orang-orang berkata sesuatu dengan maksud sesuatu yang lain. Ini namanya sopan santun, tepo seliro dan musyawarah untuk mufakat.

Sehingga, mungkin lebih baik menonton film 30 hari mencari cinta yang ternyata juga menyajikan kegagalan, tanpa harus ada yang mati!

..........

No comments: