14 December 2005

Orang Menyebalkan

Pernahkan kalian bertemu orang yang menyebalkan? Artinya, orang itu sangat menganggu indra pendengaran dan mata kita dan tahap selanjutnya adalah menganggu akal pikiran dan perasaan kita. Jika bertemu dengan orang semacam ini mungkin sebaiknya kita merasa iba.

Orang menyebalkan biasanya adalah orang yang 'sakit'. Sejarah hidupnya mungkin terlalu 'memanjakan' dirinya untuk tidak perlu ber-empati dengan sekelilingnya. Mungkin pelajaran untuk memiliki self esteem malah menjadi boomerang bagi dirinya di kemudian hari. Orang semacam ini jadi tidak punya kemampuan 'mendengar'. Dia lebih senang jika didengar. Jadi perhatian. Mendengar, hanya dia lakukan, semata-mata jika itu penting bagi dirinya sendiri. Lucunya, mereka merasa bahwa itu adalah cara bergaul terbaik yang ada. Mereka ingin diakui oleh orang-orang yang mungkin saja bosan mendengar bualannya.

Pernah orang tua saya berkata menjadi pelit, galak, toleran atau kata-kata sifat yang bernilai sosial tidak pernah diajarkan oleh sekolah, tetapi oleh keluarga. "Jadi perlihatkan kepada anak-anakmu saat kamu bersedekah dan jelaskan berulang-ulang kebaikannya," kata mereka. Berangkat dari sini apabila si orang tua tidak pernah mempertontonkan pemberian beras atau uang kepada peminta-minta, tidak perlu heran andaikata jika di hari tuanya si anak akan menganggap si pengemis adalah sampah masyarakat.

Ini adalah adalah masalah etika hidup. Kalau mau agak berat ya boleh lah disebut sebagai akhlaq atau moralitas, walaupun sebenarnya ini juga agak mudah untuk diperdebatkan.

Singkatnya adalah, jika berada pada posisi dekat orang menyebalkan, langkah terbaik adalah sabar. Atau diam sajalah. Karena bisa-bisa keadaaan menjadi lebih destruktif bagi semua orang. Tetapi kalau sudah tidak bisa menahan diri ya bolehlah meludahi mukanya atau menendang pantatnya.

10 December 2005

Mengulang

Dalam berbagai cerita serial Hercule Poirot, Agatha Christie menuliskan bahwa ada beberapa orang yang suka mengulang cerita pengalamannya, bukan sekali saja, tetapi berkali-kali. Dan ternyata saya merasakannya juga. Ada orang yang setiap kali ketemu bercerita hal yang sama. Orang segolongan ini biasanya berusia lanjut yang mengkisahkan pengalaman masa mudanya dulu.

Tapi ada juga orang muda yang sering mengulang cerita yang sama. Orang itu saya!

Menyadari ini saya jadi semakin tahu kalau ternyata orang memang sangat susah berkembang, membuka diri pada hal-hal yang baru. Orang hanya akan mendengar apa yang ingin dia dengar, melihat apa yang ingin dia lihat dan mengatakan apa yang ingin dia katakan saja.

Kendati saya mencoba membaca bagaimana mengatasi mobil mogok, saya tidak pernah bisa mengingat dengan baik. Tapi kalau itu masalah rumah, saya ingat.

Seorang kawan pencinta musik, kalau dia bicara dampak ikutan dari harga kenaikan harga BBM, dia akan kelihatan enggan setengah mati dan omongannya jadi tidak bermutu.

Saya menyimpulkan bahwa life circle kemampuan diri menyerap informasi dari luar sebenarnya sangat pendek. Mungkin sampai usia di bawah 20 tahun. Jadi informasi yang dikumpulkan selama 20 tahun akan dia ulang hingga dia mati. Jika usianya mencapai 40 tahun, dia mengulang satu kali; jika usianya 60 tahun, dia mengulang dua kali.

Lalu apa yang membuatnya hidup hingga selama itu jika ternyata seluruh hidupnya adalah pengulangan?

Saya tak tahu jawabannya.

04 October 2005

Apalagi?

Dari sudut pandang orang Indonesia yang sangat normal, bom yang meledak di Bali sungguh tidak dapat dicerna. Sehari sebelumnya, seluruh orang Indonesia bertempur dengan logika mereka sendiri memikirkan bagaimana caranya menjalani hidup ditengah kenaikan harga-harga barang-barang kebutuhan sehari-hari menyusul kenaikan bahan bakar minyak yang teramat drastis. Lalu bom meledak di Bali lagi. Orang Indonesia harus bereaksi seperti apa?

Marah? Kepada siapa? Jengkel? Kepada siapa? Balas dendam? Kepada siapa? Perasaan ini harus ditujukan kepada siapa? Oalah, nelangsa benar jadi orang Indonesia, mau menumpahkan perasaan saja tidak bisa.

Apakah ini pengalih-perhatian? Sebuah trik lama yang biasa digunakan oleh Orde Baru untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang substansial. Memang benar, berita tentang kenaikan BBM langsung berkurang drastis sewaktu bom Bali meledak.

Ada yang berspekulasi ini ulah negara lain yang tengah getol-getolnya mempromosikan pariwisatanya. Dan ternyata tokoh pembom yang dicari-cari itu orang dari negara itu juga.

Jadi dapat disimpulkan: itu kerjaan pemerintah kita sendiri dan kerjaan pemerintah negara lain.

Tapi sesungguhnya itu tidak menarik sama sekali. Ada yang lebih penting: bagaimana caranya memperoleh tambahan penghasilan untuk hidup sehari-hari. Tidak lebih tidak kurang.

Saya benar-benar kehilangan kata-kata karena otak saya juga tidak sedang bisa menyimpulkan.

Malang nian nasib awak....

28 September 2005

Apa ya? Bosan? Mual?

Entah harus merasa apa sekarang menyambut kenaikan harga BBM yang katanya akan naik per 1 Oktober ini. Marah? Ealah ya percuma saja. Dulu kita marah saat Soeharto tidak mau turun-turun juga. Terus kita gembira ketika akhirnya dia memutuskan mengundurkan diri. Walau kemudian agak tidak sreg melihat gantinya. Apalagi kemudia dia membuat kita tidak mengerti, marah dan kecewa saat dia melepaskan Timor Timur.

Untungnya, keadaan agak membaik sedikit. Apalagi si Habibie membuat pemilihan umum yang sangat ramai dan kata orang-orang asing sukses. Kita senang bisa melepaskan kepenatan pikiran dan batin kita. Kendati kemudian kita tidak mengerti, bingung dan ragu saat Gus Dur terpilih jadi presiden.

Pada giliaran berikutnya, kita malah jadi tak tentu arah akibat gaya kepemimpinan dan pernyataan Gus Dur yang dari sudut pandang masyarakat awam tulalit. Agak khawatir muncul saat masa peralihan dari Gus Dur ke Mega. Untungnya Mega dapat membawa negara ini agak stabil kendati sebagian besar masyarakat juga tidak puas.

Kita agak sumringah waktu SBY dipilih jadi presiden. Banyak orang berharap akan terjadinya hal-hal baik selama masa kepemimpinannya. Tetapi kemudian ada tragedi bencana alam amat dahsyat di NAD sana. Kemudian ada krisis energi yang jadi alasan naiknya harga BBM.

Karena itu sangat beralasan untuk tidak merasa apa-apa terhadap situasi saat ini mengingat bahwa seluruh perasaan yang dikeluarkan karena kedekatan emosional dan bernada harapan sudah tertumpah sebelumnya. Yang masih tersisa mungkin bosan dengan segala janji pemerintah. Bahkan sebagian orang - atau mungkin cuma saya - sudah mual dan mau muntah....

Tak ada harapan yang pantas diletakkan pada orang yang berasal dari masa lalu.... karena masa lalu harusnya sudah beku dimakan usia dan jadi tempat berkunjung sekali waktu kala kita rindu. Tapi tak pantas sama sekali jadi cara menjalani hidup!

Mari kita muntah! Sekarang!

13 June 2005

Kembali ke masa lalu

Apa yang paling mengasyikan di kala kita suntuk, tak tahu arah, putus asa, bosan atau jenuh? Ya! Kembali ke masa lalu. Sebab itu masuk akal bila acara reuni atau apapun yang bertujuan mengulang yang sudah-sudah akan diminati.

Ini juga yang sepertinya akan dilakukan pemerintah sekarang. Dengan klaim bahwa beberapa program masa lalu ternyata telah mumpuni dapat mencegah beberapa musibah yang menimpa kita, misalnya, persoalan Poso yang tak kunjung usai atau penyakit busung lapar yang tidak terdeteksi, mereka memutuskan 'meneruskan'-nya. Untuk menghindarkan diri dari cercaan orang karena berniat menggunakan metode-metode Orde Baru dalam praktik pemerintahannya, SBY mewanti-wanti ada beberapa hal yang juga harus ditinggalkan, misalnya KKN, korupsi, supremasi militer atas sipil.

Mungkinkah itu terjadi? Hanya waktu yang akan membuktikan. Hanya saja kita berspekulasi. Mengingat bahwa program dan metotode tersebut berasal dari satu paket, maka agak sulit memisahkan yang dianggap 'baik' dan 'buruk'. Sangat mungkin andaikata beberapa dari tadi diuji coba, maka resikonya semuanya turut serta.

Mungkin akan sedikit lain jika penamaannya berbeda. Jadi istilah Posyandu untuk Pos Pelayanan Terpadu diubah jadi Kegiatan Masyarakat Untuk Kesehatan Ibu dan Anak-anak (KeMUKA) atau apapun lah. Sebab sebutan akan banyak sekali terhadap praksis. Ini nampak nyata pada pergantian dari ABRI ke TNI. Keduanya merujuk ke hal sama tetapi efek dibenak para pendengar lain.

Saya sepakat bahwa program-program atau metode-metode masa lalu sangat efektif untuk menjaga keutuhan negara kita. Sayangya, dulu praksis di lapangan biasanya sangat overaktif. Sekarang harus diubah.

Ada satu lagi yang harus kembali ke masa lalu, yakni sentralisme kekuasaan. Ini cara lebih tepat dan berhasil menjaga keutuhan negara ketimbang demokrasi - sebuah konsep yang sama utopianya dengan komunisme.

....

06 June 2005

Dipenjara Adalah Gaya Hidup

Apa jadinya bila kita, salah satu dari anggota keluarga kita dikenai sanksi; entah itu dari tempat kerja, sekolah, masyarakat atau kepolisian. Bila pun terjadi hal yang tidak diinginkan orang akan berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan sanksi itu tersebar luas di masyarakat.

Karena empati dan tepo seliro, biasanya si pemberi hukumpun akan bersepekat untuk menghindarkan sanksi yang lebih kejam dari masyarakat. Akibatnya aturam main yang selama ini ada jadi tidak diterapkan sepenuhnya dan adil.

Kebiasaan ini secara langsung memberikan kekuasaan yang berlebih kepada aparat penegak hukum. Dia jadi merasa berkuasa dan sebab itu wajar saja bila menerapkan ’harga’ dalam tanggung jawabnya. Lama-lama ini jadi aturan main yang terjadi.

Bentuk lanjut dari evolusi ini adalah aturan main yang seharusnya tidak menakutkan lagi. Tidak bergigi karena ternyata aturan itu bisa dibeli. Aturan bahkan bagi orang yang tidak mampu membeli adalah penghalang. Trik orang-orang berkuasa untuk memperkaya diri. Ada kecenderungan bahwa semakin tidak aturan semakin aman sebuah daerah.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi pergeseran yang amat radikal terhadap anggapan orang mengenai sanksi ini. Dulu sanksi adalah aib dan orang yang terkena berusaha sebisanya menutupi, sekarang sanksi jadi gaya hidup.

Awalnya orang yang tadinya dikenai sanksi tidak bisa tidak harus masuk bui. Terpaksalah mereka mengikuti aturan main itu. Tetapi saat di dalam bui, dia mulai bermain.

Bila harus disel, maka ruang tahanannya ber-AC, TV dan komplit. Alat komunikasi juga boleh, apalagi makanan. Semuanya mungkin asal dia mampu membayar. Ini yang terjadi dengan tahanan kelas kakap, misalnya Tommy Soeharto. Penjara jadi benar-benar tempat untuk relaksasi.

Bahkan nampaknya penjara jadi tempat yang sangat efektif untuk berbisnis karena seorang yang mampu membeli fasilitas penjara ini tidak harus mengikuti ritual-ritual sosial yang melelahkan. Misalnya, di undang Gubernur ke satu acara, eh ndak tahunya harus menyumbang. Belum jatah ini itu.... terlalu banyak dan pemborosan.

Namun sekali lagi, keindahan hidup macam itu hanya akan diperuntukkan bagi mereka yang punya uang. Rakyat miskin jelata yang tak punya identitas dan pengaruh... yang akan memiliki kesengsaraan yang kian membesar seiring waktu.
Korupsi, Fragment dan SBY

Sekarang lagi musim penangkapan orang-orang terkenal karena dugaan korupsi. KPU menyumbang banyak. Yang terkenal dari KPU adalah Mulyana W Kusumah dan Nazzaruddin S. Bank Mandiri juga ikut menyumbang. Katanya sih akan ada penangkapan lainnya.

KPK, Kejaksaan Agung, Polisi sudah didukung Presiden, bekerjasama dengan banyak lembaga untuk mengumpulkan bukti. Sayangnya hingga kini tidak ada yang meyakinkan.

Dan hasil seperti itu sudah diduga oleh sebagian besar dari kita. Pasti semuanya akan bebas. Yang terjadi ini hanyalah fragmen satu babak, yang tak akan ada lanjutannya, kecuali para penonton - kita - meminta sambungannya.

Korupsi itu tidak akan lenyap dari bumi Indonesia. Bagi sebagian besar orang, korupsi banyak manfaatnya, ketimbang mudharatnya. Karena hingga detik ini tak ada orang yang bener-bener serius menghabisinya.

Bahkan media massa yang teorinya adalah kekuatan rakyat, watchdog, juga terlalu perhitungan dalam menyingkap praktik korupsi. Memang tidak semua media begitu, hanya saja paduan suara media cenderung melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

Praktik media seperti ini juga berlaku di semua kasus-kasus besar: Kerusuhan Mei, Pengadilan Soeharto - semua berakhir hambar karena seolah-olah tak ada pasal hukum yang dapat menjerat mereka.

Walhasil, fragmen ini hanyalah sekedar kisah tak penting...

Tapi ngomong-ngomong soal fragmen, sepertinya Pemerintah SBY sangat gemar memanfaatkan isu-isu besar untuk menjaga kepopuleran. Seperti bintang film Hollywood yang enggan pudar dan terus menghasilkan uang..

19 April 2005

Artinya.......


Saya teringat pelajaran tentang makna sewaktu kuliah dulu. Pelajaran itu membeberkan bahwa kita telah diajari bagaimana mengenal makna yang berasal dari tindakan ataupun perkataan. Pelajaran itu juga menyimpulkan bahwa kita tanpa sadar cenderung bertanya: "apa makna" dari ucapan ini atau tindakan itu bila kita tidak tahu. Padahal cara mengetahui makna lebih tepat jika menanya: "kapan itu bermakna". 'Itu' di sini bisa ucapan atau perbuatan.

Misalnya PKI. Jika bertanya apa, maka jawabnya 'Partai Komunis Indonesia'. Ini benar tetapi pertanyaa itu hanya menjawab definisinya saja. Belum menjawab konteknya. Sebab itu pertanyaan yang lebih menyeluruh adalah 'kapan PKI jadi bermakna?' Jawabnya macam-macam situasi. Misalnya mau melamar jadi pegawai negeri, maka PKI berarti sang pelamar harus lurus 'screening' bebas PKI. Lain situasi adalah kode Eks Tapol (ET) di Kartu Identitas Penduduk (KTP) mereka yang pernah terlibat PKI. Singkatnya, pertanyaan 'kapan bermakna' menjelaskan situasi-situasi yang membuat satu tindakan/ucapan memiliki makna.

TETAPI, itu baru menyentuh kesejarahan sebuah ucapan atau tindakan. Bagaimana kalau mau mengetahu masa depan yang timbul dari ucapan atau perbuatan tertentu? Jika demikian, maka makna harus dilihat dari sejumlah tindakan dan atau ucapan yang merujuk pada ucapan atau tindakan tadi.

Mengambil contoh di atas. Sekali seorang disebut PKI, maka dia akan menghadapi serangkaian halangan. Dia akan sulit berbisnis, bergaul. Dia akan dijauhi layaknya penderita lepra atau orang gila. Serangkaian tindakan inilah yang semakin meneguhkan makna dari PKI tadi.

Ada baiknya mungkin mengambil contoh yang lebih masa kini. "Kumpul kebo" adalah hidup bersama tanpa nikah. Istilah ini ngetop pada tahun 80-an awal. Pasangan yang dikenai cap 'berkumpul kebo' akan dijauhi masyarakat. TETAPI, bagaimana makna itu sekarang. Kumpul kebo tidak diperdebatkan lagi. Istilahnya bahkan diperhalus jadi hidup bersama. Sebuah frasa yang agak membingungkan dan tak merujuk pada 'hidup bagaiakan suami istri'. Masyarakat masa kini bahkan melihatnya sebagai sebuah gaya hidup, jadi tak perlu dicampuri. Tak ada sanksi yang perlu diterapkan.

Dengan kerangka pikir ini, maka ada baiknya bila kita melihat ucapan atau tindakan seseorang dari praktik yang menyertainya. Misalnya Gus Dur bilang bahwa dia demokratis, tetapi sewaktu dia dipilih jadi dewan syuro PKB secara aklamatif dan mengabaikan prosedur demokrasi, dia nyantai aja tuh. Banyak contoh lain: Mulyana W Kusuma aktivis jujur dan dedikatif, lah kok bisanya dia 'terjebak' penyuapan.

Ucapan bukanlah makna yang penting. Ucapan seringkali memiliki beda makna di tiap jaman. Tetapi tindakan adalah derivasi otomatis, mengikat dan permanen dari sebuah keinginan.

Keinginan zaman di Indonesia adalah seorang pemimpin harus lama dan hanya turun bila dia sakit, mati atau dipaksa turun. Sudah tahu begini kok ya nekad mengenalkan demokrasi. Waste of time, gitu lohhhhh.......

Jadi ya.... what can you expect gitu loh dari pemerintahan yang diam-diam berhasrat mempertahankan kekuasaannya dapat menciptakan negara yang penduduknya aman tentram makmur sehat bagahia....

Mimpi deh...

14 March 2005

Datang dan datang lagi

Dimulai ketika SBY terpilih. Itu adalah musibah pertama. Sebab Indonesia kembali mencatat terpilihnya orang karena ngetop, bukan karena berani. Dulu Gus Dur, trus Mega, sekarang SBY. Jadi maklum saja jika tak ada perubahan berarti dari tiap pergantian itu. Ini mungkin karena para presiden itu tidak diperlukan sama sekali. Orang-orang yang jadi presiden harusnya BERANI. Mungkin Jusuf Kalla lebih tepat. Sayangnya dia wapres dan kenal terlalu banyak orang, yang barangkali saja, akan memanfaatkannya.

Lalu ada bencana tsunami yang tingkat kehancurannya susah dimengerti, termasuk, mengapa di Aceh. Yang terakhir lebih metafisik. Artinya, dengan nama Serambi Mekkah, kok ya Tuhan, tega-teganya menimpakan bencana di sana... Atau barangkali, Aceh sudah tak pantas lagi menyandang julukan Serambi Mekkah lagi. Cara memahami ini juga sangat diterima ketika bom meledak di Kuta, Bali. Bahkan orang-orang Bali yakin bahwa Bali sudah tidak suci lagi sehingga perlu diingatkan.

Cara ini pula begitu marak setiap pergantian tahun. Para peramal dimintai pendapat mengenai apa yang akan terjadi di bumi nusantara selama setahun ini. Satu ringkasan ramalan yang pernah saya baca menganjurkan Indonesia untuk melakukan ruwat nasional pada perayaan kemerdekaan tahun ini. Untuk menghindarkan dari bala lebih lanjut. Apalagi ternyata SBY - dalam kalender Jawa - tidak memiliki weton yang cocok untuk jadi pemimpin nasional. Dengan weton sekarang, SBY akan mendatangkan aneka bencana - semacam gonjang-ganjing. Dan ternyata - entah ini logis apa tidak - beberapa malapetakan telah datang dan ada beberapa yang mulai terlihat.

Antaranya: perebutan blok Ambalat dengan Malaysia, bencana kelaparan (baca: KELAPARAN) di provinsi Nusa Tenggara Timur. Entah apa lagi yang akan datang besok.

Percaya atau tidak percaya, kita tidak bisa mengandalkan orang untuk dapat mengurusi negeri kepulauan yang luas ini pada orang yang tidak berani. Kita perlu pemberani, seorang pahlawan yang tidak peduli pada keselamatan jiwanya dan banyak akal, sedikit licik mungkin, untuk maksud yang bermanfaat bagi penduduk Indonesia seluruhnya...

10 March 2005

Batas kita sampai mana


Harus ada batas. Semua hal harus ada batasnya.

Pertanyaannya: bagaimana menemukan batas itu? Kapan? Di mana?

Seringkali, apalagi saat bahagia, batas itu tak nampak. Jikapun terlihat, kita abaikan. Sebab batas tadi akan menghentikan kebahagiaan kita. Sebaliknya, apabila sedih, sang batas adalah impian yang minta segera diwujudkan, atau hadir, atau ada. Dan ini wajar, sangat manusiawi.

Problemnya: kita tak bisa hidup semanusiawi itu selamanya. Setiap saat kita dituntut untuk seperti Tuhan. Baik budi taat beribadah, menjauhi yang kejahatan, beramal kebajikan. Sementara di sekeliling kita ada materi yang harus dimiliki, ada kekuasaan yang harus kita punyai, ada benda-benda nyata dan tak nyata yang lebih mengasyikan untuk dilakukan. Nampaknya kita hidup di lingkungan yang salah. Seperti ayam yang harus hidup di belantara.

Batas, bagaimanapun juga adalah persoalan. Seringkali, batas susah ditentukan. Ada yang menyangka batas di lokasi tertentu, batas ditentukan oleh perilaku tertentu. Lawan bicara kita bilang kita sudah kelewat batas, sementara kita pikir masih belum seberapa.

Ketidakcocokan pemahaman atas batas pasti menimbulkan perselisihan. Bisa bertengkar mulut, bisa juga beradu fisik, bahkan sampai mati.

Batas adalah kesepakatan. Batas dosa dan tidak dosa adalah kesepakatan kita dengan Tuhan, kiyai atau pemuka agama tak punya wewenang mengintervensi. Batas legal dan illegal merupakan kesepakatan kita dengan negara. Batas tak bisa ditentukan sendiri. Batas adalah resultan dari dua atau lebih pendapat.

Begitulah. Batas kita dengan Malaysia tak akan selesai jika tak ada kesepakatan. Dan kesepakatan itu bisa kita peroleh dengan duduk berbincang atau berperang. Yang kalah akan kalah, yang menang boleh ambil semua.

Dan itu sah saja untuk sekali-kali dengan tegas mengatakan kepada orang lain di mana batas kita dan bagaimana rupanya.

12 January 2005

Same Old Story

Lahhhhhh..................ada air bah di Aceh. Ah itu sudah usang. Semua orang sudah tahu berkat pemberitaan media massa. Jadi tak penting dibahas.

Lahhhhhh..................ada anak mantan pejabat Orde Baru menembak mati anak rantau dari Indonesia timur dan semua orang kelihatannya kebingungan bagaimana cara terbaik menyelesaikan masalah ini. Masak iya Presiden RI bicara untuk masalah ini seolah-olah penembakan itu akan dipeti-eskan. Sekarang kan jaman baru, semuanya mau menjalankan hidup sesuai aturan yang berlaku. Jadi tak perlu khawatir polisi tak berani mengatasi ini. TETAPI, kalaupun ternyata kemudian polisi kita memble, itu bukan cerita baru.

Lahhhhhh.................ada segerombolan pegawai negeri di Temanggung Jawa Tengah mengundurkan diri, seolah-olah mereka sudah kaya raya. Mereka mengaku karena diintimidasi Bupati supaya tidak menanggapi penyelidikan polisi atas dugaan korupsi si bupatinya. Ini kan bukan cara baru, yang baru hanya si yang mengaku ditekan bupati menolak permintaan bupati. Biar begitu, itu bukan hal baru lagi, khususnya sejak Soeharto diturunkan. Dulu ada Kapolri yang tak mau mundur, ada pejabat yang menolak diganti. Macam-macam lah...

Lahhhhhh................ada dugaan bantuan Aceh dikorupsi. Ini sama sekali bukan cerita baru. Tak perlu komentar lebih lanjut.

Lahhhhhh...............ada yang menyangka terjadi konflik antara Presiden dan Wakil Presiden. Ini juga bukan hal baru. Contohnya banyak, tapi yang paling sensasional ya antara Gus Dur dan Mega.

Lahhhhhh................ terus apa yang baru, padahal katanya kita baru memasuki tahun baru!