30 March 2004

Ada yang aneh deh...

Rasa-rasanya pabrik-pabrik banyak yang terbakar dalam beberapa bulan terakhir ini. Pasar-pasar juga banyak yang terbakar. Dan seiring dengan itu, harga-harga pada mulai naik. Elpiji naik, minyak goreng naik, harga telur juga.

Sepertinya pabrik yang menampung banyak pekerja sengaja dibikin tidak produktif sehingga memaksa perusahaan melakukan pemecatan. Selanjutnya, mereka tidak akan punya uang. Di sisi lain, kebutuhan pokok juga pada naik. Sehingga uang yang seharusnya dapat dipakai sekian hari, jadi sanggup hanya untuk beberapa hari saja.

Menuju ke manakah fenomena ini?

Coba lihat juga persiapan Pemilu 2004 yang selalu diberitakan media kekurang sempurnaannya. Perdebatan terakhir adalah penundaan Pemilu. Mulai pula beredar isu-isu menyangkut tokoh tertentu. Yang sekarang heboh, Gus Dur dibaptis. Terus ada bom yang meledak di Cimanggis, Depok.

Adakah ini diatur menuju ke satu tujuan tertentu?

Saya koq khawatir sekali. Semoga saja tak terjadi yang aneh-aneh...

23 March 2004

Tips Memilih Presiden

Saya kenal sebuah keluarga yang unik. Mereka terdiri dari enam orang: Bapak, Ibu, dua anak laki dan dua anak perempuan. Keunikan mereka terletak pada cara mereka memandang dunia. Misalnya, waktu ada wabah tikus menyerang tanah pertanian yang siap panen di Lampung, mereka menganjurkan untuk mengirim manusia sebanyak-banyaknya untuk mengatasi keadaan. "Kenapa?" saya bertanya. Sebab, manusia itu pemakan segala; jadi biar tikus-tikus yang menyerang padi, dimakan manusia, pasti habis. Saya selalu ingat nasehat mereka ketika ada wabah apapun melanda pertanian kita. Entah itu wabah belalang, atau serangga apa pun.

Kadang-kadang saya berpikir mereka itu saman, yakni cara pandang sebuah masyarakat di Jawa Tengah bagian utara (mungkin Blora). Ada sebuah cerita. Waktu itu jaman Soeharto. Apabila kita bertanya siapa presiden Indoensia, orang saman akan bilang Soekarno. "Bukannya Soeharto?" Mereka akan menjawab, "Soeharto kan gantinya."

Saya sudah lama tak jumpa mereka. Mereka tinggal jauh dari tempat saya. Pada satu kesempatan libur panjang, saya berkujung. Saat itu, hanya ada Bapak, Ibu, satu anak perempuan dan satu anak laki-laki.

Setelah berbincang ngalor-ngidul, akhirnya kita ngomongin juga masalah Pemilu. Tentang bagaimana mencoblosnya. Partai mana yang lebih baik. Dan seterusnya. Waktu kita bicara tentang siapa presiden yang akan dipilih, mereka menunjukkan watak aslinya. Si anak laki-laki berkata akan memilih Yusril Ihza Mahendra karena ia gagah. Si anak perempuan bilang akan memilih Susilo Bambang Yudoyono karena SBY lebih gagah dari Yusril, dan lebih berwibawa. Si Ibu bilang ia akan pilih Surya Paloh sebab tak ada satupun calon presiden yang brewok.

Duh, waktu saya dengar alasan mereka memilih saya jadi ingat teman saya yang pada pemilu 1999 tidak akan pernah memilih Gus Dur karena Gus Dur tak fotogenik sama sekali.

Sementara si Bapak bilang akan memilih Megawati. Kenapa? "Kasihan, masa mau jadi presiden lagi ndak boleh? Wong Soeharto saja sampai 32 tahun, koq," jawabnya santai.

Mendengar alasan mereka memilih, saya jadi ingin ikut pemilu deh..

19 March 2004

Sujiwo Tedjo's Klenikism

Pagi ini, Jum'at, 19 Maret 2004, saya mendengarkan dialog di Delta FM yang menghadirkan Sujiwo Tedjo. Pada intronya, si penyiar menyebut aktivitas Tedjo yang paling anyar adalah novelis dan pembawa acara klenik di TV, setelah sebelumnya menekuni alat-alat musik barat, khususnya saxophone, pemain film, dalang, wartawan dan penyiar radio dari masa sekolahnya di ITB, di Teknik Industri dan satu lagi - duanya drop-out.

Dalam dialog, ada beberapa SMS dan telepon yang masuk. Ada SMS yang memarahi Tedjo karena dalam mendalang ia menyalahi pakem pendalangan. Tedjo berargumen bahwa justru pakem yang sekarang sering dipakai adalah salah sebab pakem yang sekarang diadaptasi dari versi India pada masa orang Jawa dijajah Belanda. Jadi yang menjiwai adalah semangat orang yang kalah. Tedjo menutup dengan minta maaf bagi yang tidak berkenan, tapi dia akan melanjutkan caranya mendalang.

SMS lain menanyakan adakah sekolah dalang. Tedjo menjawab ada, tetapi kebanyakan murid sekolah itu berakhir menjadi peneliti atau dosen perdalangan. Sangat jarang yang jadi dalang. Sebab, katanya, percaya atau tidak, dalang adalah profesi turun temurun, seperti jabatan Presiden Indonesia. He..he..

Ada beberapa SMS lain dan penelepon masuk yang saya tidak ingat betul bertanya apa. Yang menarik perhatian saya adalah tentang klenik. Tedjo diprotes karena ia membawakan acara hantu-hantuan. Dia menjawab bahwa dia dengan sengaja membawakan acara itu dengan alasan bahwa acara-acara hantu-hantuan - yang dalam istilahnya klenik - ternyata lebih rasional ketimbang dunia nyata di Indonesia, khususnya politik. Dia merujuk, Akbar Tanjung kok bisa bebas? Ini tak logis. Atau dengan kata lain: ini klenik!

Dan saya pikir banyak yang tak masuk akal di sekeliling kita ini. Pegawai negeri atau anggota TNI/Polri dengan gaji sedemikian kecil dapat hidup dengan berkecukupan, bahkan mewah. Ada orang yang tak bekerja, punya uang banyak. Sebaliknya, yang jujur dan bekerja keras, hidup dalam keterbatasan. Ini klenik.

Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa dunia politik Indonesia memang klenik, Tedjo sedang menyiapkan film tentang Sumanto. Ya! Si kanibal itu. Dia akan memerankan jadi guru Sumanto, yang katanya memberi petunjuk kanibalismenya si Sumanto. Saya tak menangkap hubungannya. Hanya saya senang saja waktu dia bilang ada yang lebih klenik dari dunia klenik sendiri.

Dan kita memang begitu kan ya?




16 March 2004

Coba Lihat

Coba lihat di sekeliling kita. Tetangga kita. Orang-orang yang kita lihat sepanjang perjalanan menuju sekolah, kantor atau tempat aktivitas kita. Coba lihat secara ekonomis: miskin kah mereka atau kaya kah? dan secara kelas sosial: mereka priyayi atau bukan? atau secara agamis: taatkah mereka atau tidak? dan coba saja dengan cara lain untuk melihat mereka.

Coba lihat juga teman seperjalanan kita di jalanan yang macet ini. Bersepeda motor, bermobil tua, baru, mahal, CBU, curian. Jalan kaki, naik sepeda. Mengojek, menumpang tetangga? Membayar angkutan kota sesuai tarif, atau sebisanya, atau tak bayar sama sekali?

Coba lihat diri sendiri? Kayakah kita dibanding rata-rata mereka? Terhormatkah kita dibanding mereka? Taatkah kita dibanding mereka? Siapa kita ini?

Dan tahukah jawabnya? Mudah sekali. Secara verbal, tak ada. Secara praktis, juga tak ada? Artinya, pertanyaan seperti tadi tak perlu ada kok. Saya cuma iseng saja karena tak punya sesuatu untuk ditulis?

Horas!

15 March 2004

Kampanye

Saya mencoba mencari-cari sesuatu yang menarik dari kampanye pemilu sekarang. Dan saya gagal. Calon legislatif yang mengajukan diri kebanyakan tak diketahui rimbanya. Sekali diketahui, ternyata orang yang dulu-dulu juga. Janji yang mereka ucapkan, ya.. cuma beda redaksional saja. Esensi (jika ada) sama. Tak peduli yang bicara itu orang yang telah begitu lama di politik atau mereka yang mencobai politik sebagai lahan baru.

Cara berkampanye juga sama. Ada orang-orang yang penuh semangat berorasi di hadapan segelintir orang yang tak sabar untuk segera berpawai, bersama segenap keluarga: istri dan anak-anak mereka. Kampanye, dari kacamata ini, seperti darma wisata. Dan amat salah jika KPU atau Panwaslu mengatakan perilaku ini sebagai pelanggaran.

Apabila ada massa yang lebih besar berkumpul di lapangan terbuka dan besar, menunggu idola politik mereka berorasi, keadaan jadi agak kacau. Sebab, semua orang di wilayah itu 'dipaksa' untuk ikut kampanye walaupun mereka sebenarnya bukan anggota partai itu, atau bahkan simpatisannya sama sekali. Tetapi karena mereka menghadapi gelombang massa yang lebih besar, terpaksalah mereka ikut kampanye dengan tidak membuka toko, menunda keberangkatan, membatalkan acara, dan bersabar. Padahal, si idola politik yang ditunggu datang begitu terlambat sampai penyusun kamus bahasa Indonesia mungkin harus menciptakan definisi baru. Mereka datang pun hanya untuk bicara paling lama 10 menit, lalu mencelat begitu saja.

Kampanye juga menyebabkan segala benda yang bisa dicantoli dan ditempeli jadi berwarna. Ada bendera merah, kuning, hijau, putih, atau kombinasi warna-warna itu. Posternya juga. Dengan ini, masyarakat tiba-tiba bisa menjadi kritikus seni. "Bendera itu jelek, bendera ini bagus, kertasnya murah, kertas ini mahal. Tak kreatif, masa logo partai saja sama. Dst, dll." Masyarakat juga seperti ikut kursus sempoa. "Parta nomer sekian, gambarnya ini." Jadi bolehlah, kampanye membuat "rasa" dan "logika" masyarakat lebih tajam.

Semoga saja "ketajaman" mereka juga menjadi alasan untuk memilih parpol yang "cukup" bersih dan mau membela rakyat. Mengapa cukup? Karena, mustahil menyebut parpol "bersih". Logikanya begini: politik adalah sebuah sistem. Di Indonesia, politik diakui lebih kotor ketimbang seni. Jadi, politik di Indonesia adalah seni kekotoran. Siapapun yang mau menerjuni politik di Indonesia harus bersedia kotor. Dengan mempertahankan sistem kekotoran ini, sistem politik berjalan. Ini logika politik kita. Lalu ada orang yang dengan serta merta berkata menerjuni politik dengan semangat bersih. Yah, tak mungkin lah. Pepatah bilang, "main api terbakar, main air basah." Demikian juga mereka nantinya. Jika terus bermain politik, tentulah akan kotor juga. Tak ada kesempatan mereka untuk bersih. Singkat kata, pemilu kali ini tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Kita akan tahu bahwa keadaan sesudah pemilu 2004 seratus persen mirip dengan keadaan yang kita miliki selama lima tahun terakhir ini. Istilahnya, "Deja Vu!"

Jadi, kembali ke keinginan tahu saya mencari sesuatu yang baru di kampanye kali ini, kegagalan saya mendapatinya telah memperoleh jawabnya. Saya sedih tapi bagaimana lagi. Perlu lebih dari sekedar pemilu untuk mengubah Indonesia kita ini. Amat menakutkan kemungkinan ini, tetapi, seperti kata pakar matematika di Jurassic Park edisi pertama, "life will find its way". Dan Indonesia akan menemukan jalan hidupnya sendiri, nanti, dengan resiko apapun.

Bersiaplah semua!

08 March 2004

Pemusik Sebagai Penghibur

Saya sering jengkel saat melihat pertunjukan musik hidup (memang ada musik mati?), terutama artis-artis yang sudah punya nama. Pasalnya, mereka tak bisa tampil sebaik kaset rekamannya. Mereka seringkali bersuara jelek. Kalaupun mereka bisa, mereka tak melakukannya. Mereka lebih senang berimprovisasi. Mungkin dipikirnya dengan melakukan itu, para penggemar mereka akan menganggap mereka lebih hebat. Padahal bukan itu yang terjadi.

Para penggemar menginginkan satu: hiburan. Dalam kasus artis rekaman, mereka ingin mendengar lagu. Lagu apa? Ya, lagu-lagu yang ada di kaset rekaman. Mereka ingin mendengar irama serupa yang ada di kaset. Tentu saja dibumbuhi dengan aksi panggung.

Tetapi sepertinya ada keengganan dari para artis 1untuk menghibur para penggemar mereka. Mereka lebih asyik mengeksloparasi diri mereka sendiri tanpa persetujuan penggemar. Mudahnya, mereka pamer kalau mereka itu bisa yang susah-susah. Jadi kaset adalah pintu masuk ke audiens yang lebih luas, dan setelah laku, mereka berbuat semau-maunya.

Amatlah berbeda dengan penyanyi asing. Red Hot Chilli Peppers menyanyikan seluruh lagunya persis seperti yang direkaman. Mereka menambahinya dengan aksi panggung. Mariah Carey juga. Metallica juga. Bahkan The Beatles juga. Karena mereka tahu mereka harus menghibur. Eksplorasi dilakukan di ruang studio, atau di tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau media massa dan fans.

Kok artis Indonesia tidak begitu? Mereka, layaknya orang Indonesia yang lain, merasa amat jumawa begitu terkenal. Dengan terkenal mereka menjadi berkuasa. Setelah berkuasa ya.. bebas melakukan segala. Tak ada jiwa pengabdian. Tak ada semangat menghibur. Semuanya adalah tentang aku!
Kok tulisan ini kedengarannya lebih cocok dengan kondisi para politisi kita ya? Mereka berjanji-janji manis, seperti artis merekam. Ketika janji manis itu dibeli oleh para pemilih, mereka mangkir. Duh..

Singkatnya, orang Indonesia memang adatnya begitu-itu!


04 March 2004

Usaha Sendiri

Adalah membuang waktu untuk mengharapkan ada mukjizat yang menguntungkan kita. Seluruh keajaiban yang menimpa kita adalah buah dari usaha kita sendiri. Besar kecil usaha berbanding lurus dengan besar kecilnya keuntungan yang kita peroleh.

Dulu, saya adalah orang yang tak percaya pada nasehat-nasehat orang bijak bahwa letak segala perubahan adalah diri kita sendiri. Bukannya mereka berkata salah, ataupun karena saya tidak tahu itu. Saya pikir itu cuma buang-buang waktu. Tentu saja semua orang akan tahu apa yang akan mereka lakukan tanpa harus dinasehati dulu. Apalagi bila itu berhubungan dengan "survival".

Jadi ketika ada iklan koran yang menawarkan sesi pengembangan dan atau motivasi diri serta beraneka ragam buku yang membahas perihal serupa, saya acuhkan saja. Dalam hati, "adakah orang yang rela dan ikhlas menghabiskan uang untuk itu?". Ternyata banyak.

Sepertinya banyak dari kita kehilangan kepercayaan diri. Bukan berarti mereka sendiri menghilangkannya, akan tetapi situasi yang mereka hadapi saat ini membuat mereka hilang akal, buntu dan kesepian. Duh, begita kejamnya lingkungan kita ini.

Jeleknya, kebanyakan dari kita tak sanggup bangkit sendiri menjadi diri kita yang biasa lagi setelah terpuruk, dalam bisnis, pekerjaan dan cinta. Seolah seluruh dunia ada di pundak mereka. Jalan keluar yang tersedia satu-satunya adalah menuju ke "pelarian diri". Tak mau menghadapi kenyataan. Sebab itu perlu diciptakan kenyataan lain yang berasal dari kenyataan yang nyata. Istilah yang menyederhanakan adalah "impian". Kata seorang pintar Prancis, disebut: hiperealitas. Singkatnya, banyak yang sekarang hidup dalam impian.

Dan untuk bangun dari mimpi itu ternyata butuh lebih dari sekedar "kemauan". Harus ada situasi lain yang menarik mereka keluar dari itu. Harus ada bantuan dari orang lain. Inilah fungsi para motivator kepercayaan diri. Supaya peserta sesi ini atau pembaca buku dapat memberi makna pada diri mereka sediri dengan cara apapun.

Melihat dalam konteks yang lebih luas, sepertinya masyarakat Indonesia juga perlu sesi memulihkan percaya diri mereka. Sebelum krisis, semua orang dapat hidup enak. Akan tetapi sebagian besar adalah karena ketergantungan. Dan ketika gantungan itu runtuh, semuanya jadi berantakan.

Saat ini ketika masyarakat belum cukup mampu berdiri sendiri, krisis lain datang silih berganti. Ada harga kebutuhan pokok yang naik, ada bencana alam di sana sini, ada orang yang tidak tahu diri mencalonkan jadi pemimpin. Semuanya kelihatan tidak tertib.

Nah, daripada terlibat pada hal-hal semacam itu, mungkin akan lebih baik berusaha sendiri. Karena bila berharap pada "gantungan", tak ada harapan. Dengan memulai usaha sendiri, kita juga membangun masyarakat yang pada nantinya punya "daya tawar" tinggi dan kuat ketika berhadapan dengan "gantungan" yang ada.

Semoga kita bisa mulai usaha sendiri hari ini. Ciao!!