08 August 2006

Zaman

Ia berubah. Yang ada saat ini adalah kelanjutan dari apa yang sudah tertelan waktu. Sementara apa yang dikatakan sisa-sisa masa lalu adalah istilah yang bisa kita tengok-tengok barang sebentar apabila kita sudah kehilangan alasan untuk merencana masa depan.

Atas dasar inilah, maka pengetahuan kita akan masa lalu jadi instrumental saja. Maksudanya adalah kita gunakan masa lalu sebagai ketapel untuk melemparkan diri kita jauh ke masa depan. Karena bersifat instrumental - apalagi belum pernah kita ketahui dan hanya dapat kita ketahui sepotong-sepotong - maka jika pengetahuan tentang masa lalu kita jadikan pijakan jadi tak masuk akal dan seringkali "salah tempat."

Contoh pas untuk hal ini adalah perang, khususnya atas nama agama. Bagi si pemenang, perang tersebut akan terus dijadikan simbol yang terus dihidupkan dan diulang-ulang keterangannya - terlepas dari kurang tafsir atau malah hiperbolik - kepada generasi mudanya. Bagi pihak yang kalah, maka akan dilupakan kecuali pihak yang kalah memiliki konsep lain bagaimana menerima kekalahan tadi. Misalnya dengan istilah "pelanggaran HAM".

Jadi, seberapa besarkan usaha kita dan jumlah informasi yang kita harus miliki tentang masa lalu kita? Apakah memang pengetahuan sejarah itu harus instrumental; atau - bicara secara ilmiah - untuk kebenaran dan fakta sebenarnya?

Fakta sebenarnya adalah klaim yang aneh tentang zaman yang tidak pernah kita miliki...

Dan perang memang bisa terjadi bahkan tanpa masa lalu sekalipun.

Bagi para penggemar sejarah, mungkin dia akan mati bosan, mati bingung, mati gila... tidak akan ada yang mati bahagia kecuali mereka menghentikan berpikir tentang "kebenaran".

What a fine paradox?