08 August 2008

Import Now, Risk Later

Kata maju identik dengan Barat: Eropa dan Amerika. Kedua benua itulah yang memiliki kata maju. Jepang, kendati maju juga, boleh menggunakannya dengan berbagai syarat. Negara dunia ketiga - istilah yang diciptakan negara-negara maju - tidak berhak menggunakan kata maju, apalagi dengan sembrono, apalagi untuk merujuk aktivitas-aktivitas yang mengandalkan otak. Orang dari negara dunia ketiga sama sekali tidak pantas menggunakan kata kemajuan jika mereka menemukan teknologi baru. Mereka hanya pantas menyebutnya sebagai perkembangan.

Oleh sebab itulah, jika ada negara-negara tidak maju ingin menjadi negara maju, maka ia harus mengimpor dan mengimplementasikan ragam hal yang berasal dari negara maju. Mesin-mesin, sistem politik hingga cara berpikir.

Apakah Indonesia sudah melakukan impor itu? Sudah lah. Mau contoh. Perempuan seksi bagi pria Indonesia kebanyakan adalah mereka yang memiliki payudara besar. Mengapa begitu? Sebab film Amerika yang beredar di Indonesia diciptakan oleh mereka yang tergila-gila kepada Dolly Parton, Pamela Anderson. Coba jika dulu pria Indonesia lebih banyak menonton film Perancis yang punya kategori berbeda tentang perempuan seksi itu!

Apakah dengan mengimpor kemajuan negara-negara maju Indonesia kemudian menjadi maju? Enggak juga tuh. Indonesia malah semakin terpuruk karena seiring dengan penyerapan yang berbau asing itu, Indonesia justru lupa, atau bahkan meniadakan, dirinya sendiri. Ini yang terjadi dengan batik, rendang, lagu Rasa Sayange atau yang paling mutahir: penjualan naskah kuno dari Kesultanan Cirebon ke Malaysia.

Parahnya lagi, negara-negara maju yang dulu memaksa kita menerima produk-produk kemajuan mereka, justru kelihatannya mengimpor nilai-nilai yang ada di negara-negara dunia ketiga. Misalnya ada sebuah artikel: Two into one won't go: Cambridge survey shows new doubts over working mothers (http://www.guardian.co.uk/society/2008/aug/06/equality.gender?gusrc=rss&feed=networkfront) menemukan bahwa dukungan terhadap kesetaraan jender di Inggris dan Amerika menurun. Lucunya, kesetaraan jender sedang gencar dikampanyekan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.

Hal lain yang tengah digemari oleh negara-negara maju adalah produk makanan yang masih murni. Artinya, hasil dari pengolahan tradisional, bukan hasil dari teknologi pertanian. Dan produk-produk ini mahal harganya.

Kelihatannya adalah negara-negara maju mengiming-imingi negara-negara dunia ketiga dengan kemajuan supaya mereka bisa dapat dengan mudah mengambil produk-produk dari negara-negara ketiga. Ini adalah lanjutan dari kolonialisme, kayaknya.

Dan kita sebagai penduduk dunia ketiga cenderung percaya untuk terus mengimpor, resikonya ditanggung belakangan. Padahal resikonya sudah terlalu besar dibanding barang-barang impor yang sekarang tak berguna!



04 August 2008

TUA MUDA

Malam minggu di rumah menonton pertandingan sepakbola antara Arsenal dan Juventus. Ada kontras di sana. Arsenal dipenuhi pemain muda usia, Juventus sebaliknya. Tetapi kedua tim bermain dengan kualitas yang sama. Bahkan pemain Arsenal cenderung lebih ofensif dalam tingkat kematangan yang sama dengan para pemain Juventus. Mungkin karena main di kandang sendiri.

Saya sih terkagum-kagum saja melihat permainan bola kelas tinggi dimainkan dengan apik oleh anak-anak muda. Kok bisa? Kok di negeri kita tak bisa? Kalau mau repot-repot mencari penjelasanny, well, kita akan dapat banyak jawaban. Mungkin fasilitas, kultur, sistem edukasi atau faktor pelatih, tetapi yang pasti bukan karena faktor manusia. Sebab, manusia di mana-mana sama. Jika ada pembunuh berantai (terminologi yang aneh: kalau dirantai bagaimana bisa membunuh....) di Amerika yang mengubur mayat-mayatnya di dasar rumahnya, di Indonesia juga ada tuh. Sebab itu, jika ada anak-anak berusia muda dari pelbagai penjuru dunia dan berkumpul di Arsenal dan memainkan bola bagus, harusnya ada jugalah anak-anak Indonesia yang bisa bermain sebagus mereka. Apalagi, jika kita menimbang sejarah, banyak sekali orang Indonesia di masa lalu yang memiliki prestasi melebihi orang-orang Eropa. Sebut saja Tan Malaka yang berhasil memenangkan kursi di dewan perwakilan Belanda mewakilui partai buruh pada saat berusia 20-an tahun, mengungguli ketua partainya sendiri yang notabene orang Belanda asli. Anak Indonesia, bukanlah anak-anak terbelakang terlepas dari makanan, gaya hidup, cara dibesarkan, dan dipimpin oleh koruptor.

Apakah usia memang harus jadi isu? Ya! Sebab, dalam dua dekade terakhir, prestasi anak muda berbanding lurus dengan kecepatan informasi. Kok? Informasi cenderung bebas, dan mengalir demikian cepatnya, apa yang terjadi di belahan dunia lain, dalam hitungan detik, dapat diketahui oleh mereka yang tinggal di sisi yang lain. Informasi ini telah membuat orang yang mengaksesnya berkembang sedemikian cepatnya karena orang-orang ini dengan cepat pula menggunakan informasi itu untuk kepentingan dirinya, untuk kemajuan dirinya. Anak muda cenderung lebih adaptif dengan informasi sebab mereka masih terbilang cukup murni, tanpa beban, dan memiliki visi tanpa menyadari bahwa di masa datang begitu banyak yang harus dihadapi. Tetapi biar begitu, mereka maju pantang mundur. Alih-alih tertelan oleh sistem, mereka mendobrak sistem. Ini yang terjadi dengan sepakbola. Ketika Ronaldo yang masih muda menjadi pemain termahal, dengan segera digantikan oleh Michael Owen, dan seterusnya.

Singkat kata memang perlu lokomotif. Harus ada yang mencoba. Syukur-syukur, yang mencoba itu gerombolan, kelompok besar. Sehingga, daya dobrak kian besar. Sekali terdobrak, gerbong lain akan dengan sendirinya tertarik masuk.

Ini yang saya harapkan dari wacana yang dikembangkan oleh PKS yang meminta tokoh tua mundur. Sebenarnya ini bukan hal baru sebab di bidang-bidang lain, para muda Indonesia sudah mulai menggejolak, bukan dengan demo, tetapi dengan karya, dengan prestasi.

Saya dukung ini bukan berarti saya fans PKS. Saya cuma sudah bosan aja dengan orang-orang yang itu-itu juga. Kita telah berisiko menjadikan mereka pemimpin dan hasilnya juga boleh dibilang sama dengan rezim terdahulu. Saya pingin para muda yang memimpin, ambil resiko itu, moga-moga hasilnya beda. Kalaupun gagal, kita cuma kehilangan lima tahun. Tetapi kita bisa bangga bahwa kita pernah mencoba. Dan kita bisa mati dengan tanpa rasa sesal!

28 July 2008

PEMBUNUHAN OLEH MEDIA

Media punya isu bagus sepekan terakhir. Bukan politik, bukan pula skandal artis, tetapi pembunuhan. Biasanya berita macam ini tampil di koran-koran yang disajikan untuk kelas menengah bawah, sekarang bahkan media kuat, ikut memanfaatkan isu ini jadi penglaris jualan.

Memang pembunuhan kali ini sangat khas. Dalam pemasaran produk, pembunuhan kali ini baru, beda, dan segar. Baru karena pembunuhnya satu, korbannya banyak - serial killer lah istilahnya. Bedanya karena pembunuhnya adalah laki-laki kemayu yang membunuh karena cemburu pacar prianya digoda. Segar karena kedua hal tadi hadir di tengah situasi kondisi masyarakat yang lagi megap-megap membeli barang kebutuhan pokok yang naik terus.

Setelah isu KPK yang menangkap koruptor kelas kakap, katanya, maka pembunuhan berantai oleh gay adalah daya tarik berkekuatan besar. Well, setidaknya bisa dibikin besar oleh media. Beberapa hari sebelum peristiwa ini sebenarnya ada hukuman mati bagi beberapa tersangka pembunuhan yang rada mirip dengan pembunuhan kali ini. Dan saat berita pembunuhan ini ramai, ada pula pembunuhan kategori sadis lain yang ketahuan - judulnya mayat dalam koper.

Singkat kata, dua pekan terakhir dan mungkin sampai beberapa pekan ke depan, masyarakat Indonesia akan terus dijejali dengan pembunuhan oleh media massa. Publik jadi lupa jika harga beras terus naik, minyak tanah susah, tabung LPG meledak, kekeringan, gagal panen, dan persoalan lain yang tiap hari dihadapinya. Media massa seperti bersepakat mengalihkan penderitaan banyak orang Indonesia menjadi bebannya si pembunuh seorang.

Sepertinya, apapun boleh dilakukan penguasa untuk membuat masyarakat lupa kalau mereka punya problem. Saya sih mengira-ngira, Liga Inggris yang tadinya dimonopoli stasiun TV berbayar akan dibebaskan lagi supaya masyarakat terus lupa kalau mereka punya masalah.

Kalau soal Liga Inggris itu, saya juga suka dan mungkin juga lupa dengan masalah saya.