19 April 2005

Artinya.......


Saya teringat pelajaran tentang makna sewaktu kuliah dulu. Pelajaran itu membeberkan bahwa kita telah diajari bagaimana mengenal makna yang berasal dari tindakan ataupun perkataan. Pelajaran itu juga menyimpulkan bahwa kita tanpa sadar cenderung bertanya: "apa makna" dari ucapan ini atau tindakan itu bila kita tidak tahu. Padahal cara mengetahui makna lebih tepat jika menanya: "kapan itu bermakna". 'Itu' di sini bisa ucapan atau perbuatan.

Misalnya PKI. Jika bertanya apa, maka jawabnya 'Partai Komunis Indonesia'. Ini benar tetapi pertanyaa itu hanya menjawab definisinya saja. Belum menjawab konteknya. Sebab itu pertanyaan yang lebih menyeluruh adalah 'kapan PKI jadi bermakna?' Jawabnya macam-macam situasi. Misalnya mau melamar jadi pegawai negeri, maka PKI berarti sang pelamar harus lurus 'screening' bebas PKI. Lain situasi adalah kode Eks Tapol (ET) di Kartu Identitas Penduduk (KTP) mereka yang pernah terlibat PKI. Singkatnya, pertanyaan 'kapan bermakna' menjelaskan situasi-situasi yang membuat satu tindakan/ucapan memiliki makna.

TETAPI, itu baru menyentuh kesejarahan sebuah ucapan atau tindakan. Bagaimana kalau mau mengetahu masa depan yang timbul dari ucapan atau perbuatan tertentu? Jika demikian, maka makna harus dilihat dari sejumlah tindakan dan atau ucapan yang merujuk pada ucapan atau tindakan tadi.

Mengambil contoh di atas. Sekali seorang disebut PKI, maka dia akan menghadapi serangkaian halangan. Dia akan sulit berbisnis, bergaul. Dia akan dijauhi layaknya penderita lepra atau orang gila. Serangkaian tindakan inilah yang semakin meneguhkan makna dari PKI tadi.

Ada baiknya mungkin mengambil contoh yang lebih masa kini. "Kumpul kebo" adalah hidup bersama tanpa nikah. Istilah ini ngetop pada tahun 80-an awal. Pasangan yang dikenai cap 'berkumpul kebo' akan dijauhi masyarakat. TETAPI, bagaimana makna itu sekarang. Kumpul kebo tidak diperdebatkan lagi. Istilahnya bahkan diperhalus jadi hidup bersama. Sebuah frasa yang agak membingungkan dan tak merujuk pada 'hidup bagaiakan suami istri'. Masyarakat masa kini bahkan melihatnya sebagai sebuah gaya hidup, jadi tak perlu dicampuri. Tak ada sanksi yang perlu diterapkan.

Dengan kerangka pikir ini, maka ada baiknya bila kita melihat ucapan atau tindakan seseorang dari praktik yang menyertainya. Misalnya Gus Dur bilang bahwa dia demokratis, tetapi sewaktu dia dipilih jadi dewan syuro PKB secara aklamatif dan mengabaikan prosedur demokrasi, dia nyantai aja tuh. Banyak contoh lain: Mulyana W Kusuma aktivis jujur dan dedikatif, lah kok bisanya dia 'terjebak' penyuapan.

Ucapan bukanlah makna yang penting. Ucapan seringkali memiliki beda makna di tiap jaman. Tetapi tindakan adalah derivasi otomatis, mengikat dan permanen dari sebuah keinginan.

Keinginan zaman di Indonesia adalah seorang pemimpin harus lama dan hanya turun bila dia sakit, mati atau dipaksa turun. Sudah tahu begini kok ya nekad mengenalkan demokrasi. Waste of time, gitu lohhhhh.......

Jadi ya.... what can you expect gitu loh dari pemerintahan yang diam-diam berhasrat mempertahankan kekuasaannya dapat menciptakan negara yang penduduknya aman tentram makmur sehat bagahia....

Mimpi deh...