15 June 2004

Nurani

Hampir semua calon presiden menganjurkan rakyat untuk memilih dengan hati nurani. Apa itu? Nurani, atau hati nurani mungkin sepadan dengan istilah Inggris conscience. Kata itu sering dibayangkan sebagai moral faculty, sense, or consciousness which prompts the individual to make right choices. (free-definition.com). Dalam konteks anjuran para capres, rakyat diminta secara langsung untuk memilih mereka yang mengeluarkan anjuran itu. Jadi apabila Wiranto berkata, "Pilihlah dengan hati nurani", maksudnya adalah permintaan untuk memilih dirinya. Demikian juga apabila SBY, Amin Rais berkata sama.

Tetapi bila kita kaji definisi nurani lebih dalam, ada kata moral di sana. Moral sendiri gampangnya adalah baik, buruk, tepat dan tidak tepat. Sedangkan kategori-kategori itu lebih sering ditentukan oleh lingkungan. Jadi ada satu tindakan yang dulu buruk, sekarang baik, dulunya tepat sekarang tidak tepat. Singkatnya moral berubah-ubah sesuai pengetahuan yang lagi ngetrend saat itu. Dulu, pria pantang ke salon, sekarang pria yang tak ke salon, dianggap kampungan. Akibatnya, nurani juga berubah-ubah.

Dan itu wajar saja. Sebab kata Oscar Wilde, "Kebanyakan orang adalah sama. Isi benak mereka adalah orang lain. kehidupannya hanya mimikri (tiruan), dan semangatnya cuma sebuah pengulangan." (Koran Tempo, 13 Juni 2004). Memang agak menyepelekan, tapi begitulah kenyataannya. Apalagi kenyataan di dunia saat ini ditentukan oleh media massa. Media massa membuat tontonan berdarah dan hantu-hantu, maka ada anak kecil yang mogok sekolah karena dia takut di luar sana ada orang jahat yang siap sedia merampas kebebasan dan harta bendanya. Iklan anti ketombe datang bertubi-tubi dan membuat baju warna hitam tak laku dipakai. Ini telah jadi knowledge (saya mau menterjemahkannya menjadi pengetahuan, tapi kok aneh) seseorang yang akhirnya mempengaruhi sistem kepercayaan seseorang. Bila dikaitkan dengan keseluruhan paparan di atas, maka seseorang sebenarnya terperangkap dalam nuraninya sendiri. Lucunya, Amnesty International sampai-sampai menciptakan frasa Prisoner of Conscience bagi orang-orang yang tidak bisa menjalankan kepercayaannya. Dengan kata lain organisasi itu menguatkan orang untuk selalu terperangkap.

Mengapa begitu? Ya karena dengan mengenali nurani seseorang, maka orang lain akan dengan mudah meramalkan tindakan orang lain. Atau setidaknya ya... memberi label bagi bagi sebuah tindakan. Atau dengan kata lain, memberi nilai moral terhadap sebuah tindakan. Misalnya, meludah di gedung milik pemerintah Amerika Serikat akan dikenai pasal anti-terorisme. Dalam bahasa Immanuel Kant, banyak kategori imperatif diberikan kepada aneka tindakan. Siapa pemberi nama tindakan itu? Ya... rejim kebenaran yang berlaku saat itu. Artinya adalah bahwa tiap orang akan punya kekuasaan untuk memberi nilai moral terhadap orang lain. Bisa jadi suami ke istri, boss ke anak buah, satpam ke para pengunjung mall, dst. Dari mana mereka punya kuasa itu? Ya dari nurani yang sudah dibentuk oleh media massa tadi.

Jadi hingga saat ini tak ada seorang yang punya pemikiran original atas nuraninya sendiri. Manusia adalah orang yang tidak merdeka. Jadi agak membesar-besarkan juga andaikata ada orang berteriak, "Saya orang merdeka yang bebas menyatakan pendapat saya, kapan saja saya mau, di media apapun yang saya sukai". Absurd. Tapi biar begitu, orang masih saja menyangka dirinya adalah individu yang independen. Dalam logika lain, manusia masih percaya pada absurditas. Kalaupun tak percaya, ya setidaknya mengakui absurditas itu ada dan dia tak berbuat apa-apa. Kalaupun mau berbuat, dia tak bisa, karena dia telah jadi anggota rezim kebenaran yang mengagungkan retorika kebebasan. Dan, apabila ini berlanjut, kata Voltaire, manusia terus akan meyakini kekejian. Nyatanya begitu.

Maka dari itu, semakin sedikit kategori imperatif yang kita yakini, semakin merdeka. Dulu saya pernah denger Emha Ainun Najib ceramah dan dia berkata semakin sedikit peraturan yang kita ikuti semakin bebaslah kita. Kalau diterapkan semakin jauh, semakin tak bermoral dan tak berhati nurani, semakin merdekalah manusia. Dan orang-orang seperti itu dikenali oleh berbagi kebudayaan dunia sebagai "orang gila".

Tetapi karena gila, ya terserah dong.... seperti Zarathustra!








No comments: