30 November 2004

Munir Mati

Munir, orang yang sangat terkenal saat masa gonjang-ganjing 1998 karena membela orang-orang yang hilang diculik tentara, mati saat berada di pesawat Garuda rute Jakarta-Belanda, kira-kira tiga bulan lalu. Kabarnya karena gangguan kesehatan, entah itu lever atau ginjal.

Waktu saya lihat berita itu di Metro TV, saya langsung ambil kesimpulan bahwa ia mati dibunuh. Saya rasa waktu itu kok banyak yang tak wajar, entah itu apa, tapi banyak yang tidak cocok di sana. Saat itu, kok saya merasa saya adalah Hercule Poirot. Apalagi ternyata, kisah kematian Munir sangat mirip dengan salah satu cerita Agatha Christie, sayangnya judulnya saya lupa.

Sayangnya lagi, saya kemudian tak memaksa sel-sel abu-abu saya untuk bekerja. Karena percuma juga kan? Baru belakangan hari ini saya melanjutkan kecurigaan saya setelah berita-berita mengatakan kalau si Munir mati di racun: satu metode yang sering digunakan oleh para tokoh pembunuh di novel Christie itu. Sekarang kematian Munir sedang diselidiki. Banyak yang terlibat, bahkan hingga presiden.

Seiring dengan itu, istri Munir diteror. Si peneror, langsung tidak langsung menyebut diri sebagai tentara. Tetapi si boss tentara, namaya Endriatono Sutarto, langsung memperingatkan untuk menjauhkan TNI dari kematian Munir. Sekarang, semua sedang tak punya petunjuk, apalagi si polisi kita itu.

Padahal kalau mengikuti plot cerita Hercule Poirot, ada pertanyaan mendasar yang pantas diajukan: siapa yang diuntungkan secara finansial oleh kematian Munir.

Untuk menjawab itu semua orang harus dicurihai, termasuk istrinya atau ahli warisnya. Apalagi ternyata sang istri adalah salah seorang yang punya akses memasukan racun beberapa saat sebelum Munir naik pesawat. Dari sini pertanyaan bisa dikembangkan: apakah Munir menyeleweng dengan perempuan lain, atau justru istrinya yang menyeleweng, atau pertanyaan seputar itu. Adakah orang lain? Mestinya para penyelidik mengungkap berapa kekayaan Munir dan siapa saja yang akan menerima limpahannya kalau dia mati. Pertanyaan dapat berkembang di tempat Munir biasa beraktivitas sehari-hari.

Jika tak ditemukan bukti kuat, maka harus dicari yang diuntungkan secara politis? Nah, jawaban ini sih tak akan ditemukan. Karena itu, pembunuh Munir yang sebenarnya juga tidak akan ketemu. Paling-paling yang akhirnya muncul si antah berantah yang dikambing-hitamkan.

Mungkin kita perlu seorang Hercule Poirot yang bisa kerja sehingga segala penjahat yang merajalela di Indonesia ditangkap dan dihukum.

Kalau tetap mengandalkan polisi kita yang sekarang, pasti jadinya lucu... sumpah!