14 March 2005

Datang dan datang lagi

Dimulai ketika SBY terpilih. Itu adalah musibah pertama. Sebab Indonesia kembali mencatat terpilihnya orang karena ngetop, bukan karena berani. Dulu Gus Dur, trus Mega, sekarang SBY. Jadi maklum saja jika tak ada perubahan berarti dari tiap pergantian itu. Ini mungkin karena para presiden itu tidak diperlukan sama sekali. Orang-orang yang jadi presiden harusnya BERANI. Mungkin Jusuf Kalla lebih tepat. Sayangnya dia wapres dan kenal terlalu banyak orang, yang barangkali saja, akan memanfaatkannya.

Lalu ada bencana tsunami yang tingkat kehancurannya susah dimengerti, termasuk, mengapa di Aceh. Yang terakhir lebih metafisik. Artinya, dengan nama Serambi Mekkah, kok ya Tuhan, tega-teganya menimpakan bencana di sana... Atau barangkali, Aceh sudah tak pantas lagi menyandang julukan Serambi Mekkah lagi. Cara memahami ini juga sangat diterima ketika bom meledak di Kuta, Bali. Bahkan orang-orang Bali yakin bahwa Bali sudah tidak suci lagi sehingga perlu diingatkan.

Cara ini pula begitu marak setiap pergantian tahun. Para peramal dimintai pendapat mengenai apa yang akan terjadi di bumi nusantara selama setahun ini. Satu ringkasan ramalan yang pernah saya baca menganjurkan Indonesia untuk melakukan ruwat nasional pada perayaan kemerdekaan tahun ini. Untuk menghindarkan dari bala lebih lanjut. Apalagi ternyata SBY - dalam kalender Jawa - tidak memiliki weton yang cocok untuk jadi pemimpin nasional. Dengan weton sekarang, SBY akan mendatangkan aneka bencana - semacam gonjang-ganjing. Dan ternyata - entah ini logis apa tidak - beberapa malapetakan telah datang dan ada beberapa yang mulai terlihat.

Antaranya: perebutan blok Ambalat dengan Malaysia, bencana kelaparan (baca: KELAPARAN) di provinsi Nusa Tenggara Timur. Entah apa lagi yang akan datang besok.

Percaya atau tidak percaya, kita tidak bisa mengandalkan orang untuk dapat mengurusi negeri kepulauan yang luas ini pada orang yang tidak berani. Kita perlu pemberani, seorang pahlawan yang tidak peduli pada keselamatan jiwanya dan banyak akal, sedikit licik mungkin, untuk maksud yang bermanfaat bagi penduduk Indonesia seluruhnya...

10 March 2005

Batas kita sampai mana


Harus ada batas. Semua hal harus ada batasnya.

Pertanyaannya: bagaimana menemukan batas itu? Kapan? Di mana?

Seringkali, apalagi saat bahagia, batas itu tak nampak. Jikapun terlihat, kita abaikan. Sebab batas tadi akan menghentikan kebahagiaan kita. Sebaliknya, apabila sedih, sang batas adalah impian yang minta segera diwujudkan, atau hadir, atau ada. Dan ini wajar, sangat manusiawi.

Problemnya: kita tak bisa hidup semanusiawi itu selamanya. Setiap saat kita dituntut untuk seperti Tuhan. Baik budi taat beribadah, menjauhi yang kejahatan, beramal kebajikan. Sementara di sekeliling kita ada materi yang harus dimiliki, ada kekuasaan yang harus kita punyai, ada benda-benda nyata dan tak nyata yang lebih mengasyikan untuk dilakukan. Nampaknya kita hidup di lingkungan yang salah. Seperti ayam yang harus hidup di belantara.

Batas, bagaimanapun juga adalah persoalan. Seringkali, batas susah ditentukan. Ada yang menyangka batas di lokasi tertentu, batas ditentukan oleh perilaku tertentu. Lawan bicara kita bilang kita sudah kelewat batas, sementara kita pikir masih belum seberapa.

Ketidakcocokan pemahaman atas batas pasti menimbulkan perselisihan. Bisa bertengkar mulut, bisa juga beradu fisik, bahkan sampai mati.

Batas adalah kesepakatan. Batas dosa dan tidak dosa adalah kesepakatan kita dengan Tuhan, kiyai atau pemuka agama tak punya wewenang mengintervensi. Batas legal dan illegal merupakan kesepakatan kita dengan negara. Batas tak bisa ditentukan sendiri. Batas adalah resultan dari dua atau lebih pendapat.

Begitulah. Batas kita dengan Malaysia tak akan selesai jika tak ada kesepakatan. Dan kesepakatan itu bisa kita peroleh dengan duduk berbincang atau berperang. Yang kalah akan kalah, yang menang boleh ambil semua.

Dan itu sah saja untuk sekali-kali dengan tegas mengatakan kepada orang lain di mana batas kita dan bagaimana rupanya.