06 July 2004

SBY dan Budaya Popular


Budaya popular adalah jalinan antara ekspresi kebanyakan rakyat dan kekuatan media massa. Misalnya Inul Daratista. Awalnya dia penyanyi kelas kampung yang ditanggap di acara nikahan atau sunatan. Dia terkenal di kalangan ini. Lalu ada pebisnis yang punya penciuman bisnis jenius, merekam goyangnya dalam VCD dan mengedarkannya. CD ini kemudian menyebar kemana-mana. Salah satunya ke petinggi stasiun TV di Jakarta yang kemudian memintanya tampil, dan lalu Blar!... Inul menggoyang Indonesia.

Ada sentuhan industri media dalam produksi budaya popular. Tanpa ada media, khususnya televisi, ekspresi rakyat kebanyakan akan terhalang oleh batas geografis. Televisi dengan kekuatannya membombardir khalayak penonton dengan tontonan yang itu-itu juga, mau tidak mau, tontonan itu melekat di benak penonton walaupun si khalayak membenci tontonan itu. Misalnya, kasus iklan moncong putih PDI Perjuangan dalam masa kampanye pemilu legislatif lalu, banyak sekali orang yang tiba-tiba kreatif memlesetkan moncong putih dengan montok putih, dll.

Budaya popular yang lain adalah Akademi Fantasi Indonesiar. Ini adalah tontonan yang sangat spektakuler, di mana para penontonnya hadir tanpa dipaksa dan dipastikan tetap terhibur meski ia sudah keluar dari lokasi pertunjukkan. Dengan bantuan media massa lain, majalah, koran, tabloid, AFI jadi fenomena budaya popular lain di Indonesia.

Ciri budaya popular adalah penyeragaman selera. Masyarakat dipandang homogen. Tak peduli jenis kelamin, usia, kelas sosial, tingkat pendidikan dan aliansi politik, media massa menawarkan jualan yang sama persis. Artinya barang dagangan itu harus distandardisasikan hingga level terendah. Lain kata, budaya popular adalah tidak cerdas dan sepele. Yang penting, asik.

Di politik juga begitu. Saya pernah menyelidiki bahwa politik bisa dikomodifikasi jadi budaya popular asalkan ada isu atau tokoh yang diposisikan sebagai oposisi penguasa saat itu. Dulu, saya mendapati bahwa tabloid Detik memuat topik-topik berita yang tak lazim di zaman Orde Baru. Ia mewawancarai tokoh-tokoh yang jelas-jelas dimusuhi Soeharto, seperti mantan perdana menteri Soebandrio. Hasilnya, Detik mampu menjual edisinya hingga ratusan ribu lembar, mengalahkan harian Kompas dan majalah Tempo.

Di zaman sekarang, SBY adalah budaya popular. Ia dengan pandai menempatkan diri sebagai korban. Ia adalah menteri yang diasingkan oleh Megawati cs. Dan partai yang ia bela, mendulang suara banyak. Selama masa kampanye calon presiden, SBY adalah orang yang paling sering membantah isu-isu negatif mengenai diri dan partainya. Ia dengan bijak meminta orang-orang tidak melakukan kampanye negatif melawan dirinya. Ini adalah usaha yang cerdik untuk memelihara statusnya sebagai "korban". Hasilnya, untuk sementara waktu dia memperoleh prosentase suara yang paling tinggi. Kata berbagai polling dan prakiraan pengamat politik, SBY dipastikan lolos ke putara kedua pilpres bulan September nanti.

Tetapi, layaknya budaya popular yang datang dengan cepat, menggemparkan, lalu hilang tanpa ada yang tahu, SBY pun akan begitu. Prediksi ini memang sangat spekulatif. Tetapi dengan kenyataan bahwa SBY terkenal bukan karena dukungan massa tradisional, seperti NU atau PDI Perjuangan, atau dukungan organisasi besar seperti Golkar, maka prediksi ini jadi salah satu kemungkinan meramal nasib SBY nantinya.

Menggunakan analogi, SBY adalah seperti buah mangga yang belum matang, dipetik, lalu dieramkan di tumpukan jerami supaya masak lebih cepat. Rasanya, memang enak, tetapi jika terlalu lama di eraman, ia busuk dengan cepat juga. Jadi, menurut saya, sebenarnya SBY perlu waktu lagi sebelum pantas menjadi dia yang sekarang ini.

Untungnya dia berpasangan dengan Jusuf Kalla, seseorang yang saya tahu sangat berani dan memegang kata-katanya. Jusuf Kalla layaknya La Ma'dukelleng, pejuang dari Sulawesi yang memerangi Belanda dengan sangat gagah berani. Semoga JK dapat menjadi seperti pahlawan yang belum diakui negara itu dan menjadi pasangan penyeimbang bagi SBY yang belum masak itu.


No comments: