11 June 2004

Melodramatic

Padanan kata Indonesianya saya tak tahu persis, lha wong definisi Inggrisnya saja saya juga ragu artinya. Yang saya tangkap, segala aktivitas di atas panggung yang menguatkan kesan dramatis. Jadi kalau mau digampangkan, ya... mendramatisir!

Drama jadi menarik apabila cerita yang dipentaskan mengenai konflik: dua kerajaan berperang, konflik bapak anak, konflik percintaan. Dalam konflik, ada dua peran penting yang membuat cerita itu jalan, yakni yang baik dan yang jahat. Dalam film-film Holywood, Bollywood, Indonesiawood juga begitu. Penjahat menang dulu, yang baik menang setelah menderita sepanjang film dan melatih keahlian: main pedang, ilmu silat, komputer, bikin bom, kursus jadi model, dst-nya.

Saya pikir ini adalah metode umum yang bias kita pakai sehari-hari untuk mengenali realitas. Misalnya, si A baik, si B jahat. Karena sopan santun, kita biasanya menyebut si jahat dengan "kurang baik" atau "cukup jahat". Kita selalu berbelok-berbelok dan memilih cara tak langsung untuk mengatakan kejujuran karena takut si obyek pembicaraan tersinggung, marah dan kemudian membalas dengan lebih keras dan merugikan kita sendiri. Tapi bukan itu yang saya bahas.

Melodramatis. Sekarang ini lagi kampanye presiden. Setiap capres dan cawapres nampaknya berusaha keras ditampilkan oleh media sebagai "korban". Penyebabnya mungkin sukses SBY menjadikan dirinya korban kedzaliman Megawati, melalui pernyataan yang dibuat Taufik Kiemas dan Sekretaris Kabinet. Media massa membesar-besarkan ini dan yang diuntungkan SBY. Hasilnya, dia populer dan Partai Demokrat punya suara banyak.

Sekarang, Megawati berusaha memposisikan diri sebagai korban dari pernyataan para kyai yang mendukung Wiranto dan Salahuddin Wahid. Para kyai bilang "haram" presiden perempuan. Segera saja, orang lain yang punya pendapat lain dengan kyai di-blowout oleh media dan Megawati diuntungkan.

Tetapi, yang kelihatannya mati-matian berusaha menjadikan dirinya korban adalah Wiranto. Dia memposisikan diri sebagai orang lemah yang melakukan sebisanya untuk menjaga negara apabila ada tuduhan tentang keterlibatannya di masa lalu dalam kerusuhan Mei 98 atau Timor Timur. Tetapi, dia memposisikan diri jadi orang yang bakal kuat untuk memimpin masa depan Indonesia. Hasilnya, untuk orang-orang berpendidikan tinggi dan tinggal di kota, kampanye itu tak berefek maksimal, tetapi di desa-desa, kampanye itu mungkin memperkuat posisinya.

Sayangnya, sebagian besar rakyat Indonesia yang sebenarnya jadi korban kebijakan negara, baik langsung atau tidak langsung, tanpa akting dan membuat-buat, tak memperoleh simpati dari mana pun. Kalaupun ada perhatian dari para capres dan cawapres, atau organisasi non-laba asing maupun domestik, itu hanya usaha mereka untuk mencari kesan baik, kurang kerjaan dan bahkan jadi mata pencaharian.

Siapa yang peduli sebenarnya?


No comments: