23 July 2004

Mata

Gunanya untuk melihat. Apa yang dilihat? Apa saja yang ada di sekeliling si empunya mata. Terutama yang menarik perhatiannya. Sewaktu bayi, mata cenderung melihat hal-hal cerah, misalnya warna merah atau kuning yang terang. Seiring waktu, anak berusia sedikit ini akan melihat bentuk-bentuk, terutama yang menimbulkan bunyi. Mainan berwarna gembira akan menjadi perhatiannya.

Setelah mulai bicara dia akan belajar mengenali lingkup sekelilingnya. Dari manusia lain selain orang tuanya, alam buatan dan asli, dan seterusnya. Saat melihat, mereka bertanya, "Apa ini, apa itu?". Orang tuanya atau orang yang dekat dengannya setiap hari akan memberi penjelasan, atau lebih tepatnya adalah pemberian makna atau nilai pada satu yang dilihat itu. Misalnya, ada satpam kompleks, yang akan diberi makna penjaga, yang tidak tidur bahkan saat hari sudah malam. Ada penjual roti, tukang koran, potong rumput, tukang sayur, dst. dll. Sementara nilai, layaknya pendidikan etika, adalah tentang benar, keliru, kurang tepat, tidak baik, terpuji, baik, atau masuk surga. Masih banyak lainnya.

Seluruh informasi ini dia simpan, yang ia akan gunakan ketika ia melihat hal baru lainnya. Dia akan menterjemahkannya sendiri, memberi nilai. Apabila menurutnya baik, ia akan simpan, apabila buruk, ia juga akan simpan juga. Penggunaannya ya... tergantung waktunya saja.

Seluruh informasi ini kemudian akan membentuknya menjadi manusia yang seperti apa. Maksudnya, ia akan memiliki preferensi tertentu terhadap hal-hal tertentu juga. Apakah dia akan jadi orang yang senang olah raga dan menghabiskan banyak waktunya bersenam dan menonton acara bugar sehat di tv. Ataukah dia senang musik, atau mendaki gunung, atau membaca, atau apa saja. Di akhir proses belajar ini, si anak kecil ini akan memiliki seperangkat pengetahuan mengenai apa yang disukainya, apa yang ingin dia lakukan. Pada saat yang sama, ia juga tahu apa yang ia hindari dan apa yang tidak akan pernah dia lakukan. Dia lain kata, sudah menjadi orang dewasa, menjadi manusia yang bermoral - terlepas dari nilai moral apa yang dia anut. Yang penting, ia sudah sadar bahwa hidup ini ada nilai-nilai yang harus ia patuhi.

Dari sinilah kemudia, dia akan selektif memperkerjakan seluruh indranya. Matanya akan memilih apa yang ingin dia lihat. Telinganya akan memilih apa yang akan dia dengar. Mulutnya memilih kata-kata yang pantas untuk ia ucapkan. Hidungya akan berkembang kempis jika mencium aroma yang ia senangi dan sebaliknya. Kulitnya akan sensitif pada lingkungan; apabila nyaman dia akan senanng, apabila dia benci, dia akan mengumpat. Singkatnya, dia telah memiliki sejumlah standar mengenai apa yang dia sukai. Pada saat yang sama, ia juga punya daftar yang ia benci. Sebab itu, tak mengherankan apabila seseorang tak melihat apa yang dilihat orang lain, dan seterusnya. Sebab apa yang orang lain sukai, belum tentu kita sukai.

Dari sini, tak usah bertanya-tanya tentang standar yang dimiliki orang lain. Jika kejaksaan agung kita melepas orang-orang yang telah memanfaatkan bantuan negara saat bank-banknya kolaps, atau bos kita ternyata terlalu sayang pada orang lain tetapi pada saat yang sama begitu membenci kita. Itu tak penting. Juga tak perlu sok kritis mempertanyakan mengapa kasus-kasus kecurangan pemilu kemarin yang begitu banyak tetapi yang diangkat bersama-sama oleh media adalah yang terjadi di Al-Zaytun. Juga tak perlu khawatir saat peristiwa penembakan seorang pendeta wanita di Sulawesi tengah menjadi kasus nasional.

Semua orang punya kepentingan sendiri-sendiri yang belum tentu sesuai dengan kepentingan kita. Perlukah kita bertengkar atau berkelahi supaya kita menang? Tak perlu, sebab jadinya akan seperti Israel atau Amerika Serikat yang akhirnya repot sendiri menangani problemn yang mereka buat bertahun lalu....

Itulah karma....

20 July 2004

Menghormati Rasa Sakit

Hormat adalah tindakan mulia. Juga pengakuan terhadap posisi yang lebih rendah, lebih lemah, lebih terjajah. Hormat adalah kepatuhan terhadap yang lebih tinggi, kuat, dan penjajah. Dengan lebih tepat, hormat adalah tunduk pada etika, kebiasaan, kenormalan sopan santun dalam hidup bersama. Misalnya, secara etis kita hormat pada yang lebih tua: orang tua kita sendiri, paman, penjual sayur tua, tetangga tua kita. Mengapa begitu? Sebab, orang-orang sebelum kita melakukannya. Ini adalah kebiasaan. Dan supaya kita disebut orang normal, ya... ikuti saja norma-norma itu.

Apalagi jika orang tua yang harus kita hormati ternyata sakit. Misalnya, mantan presiden Soeharto. Dia sudah tua, sakit pula. Jadi hormat kepada dia harus dua kali lipat banyaknya. Sebab, sakit adalah keadaan yang tidak diinginkan oleh siapapun juga. Orang sakit adalah orang yang menderita sebab dia tidak dapat melakukan apa yang bisa dikerjakan oleh orang yang sehat. Orang lain harusnya merasa kasihan. Sakit adalah kondisi lemah manusia yang mampu menguasai orang lain untuk hormat. Orang lain dipaksa bertoleransi dan tentu saja, menghormati keadaannya yang tidak biasa dan normal.

Kita juga dipaksa maklum apabila orang yang sedang sakit bertindak tidak etis, tidak biasa dan tidak normal. Misalnya, Nurdin Halid tiba-tiba sakit ketika diperiksa jadi tersangka dalam kasus penyelundupan gula. Semua orang harus maklum dia tidak pada kondisi normal untuk menjalani proses yang bisa dijalani oleh orang sehat dan normal.

Adat istiadat semacam itu telah membuat sakit jadi alasan untuk melarikan diri dari kenormalan hidup bermasyarakat. Ada yang menjadikan sakit sebagai alasan untuk tidak masuk sekolah, berangkat kerja atau kondangan. Sakit jadi senjata ampuh karena orang kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan orang yang mendengar sakit akan mendoakan cepat sembuh. Sakit adalah keadaan yang super istimewa.

Kapan orang sakit? Menurut ilmu medis, orang bisa sakit jika kondisi tidak fit atau lingkungan sekitarnya tidak sehat. Flu adalah penyakit umum yang kebanyakan disebabkan oleh kondisi tubuh. Sementara penyakit menular lebih banyak disebabkan oleh lingkungan. Menggunakan konteks ini, penjara adalah lingkungan yang dapat menularkan penyakit. Dimulai dari Soeharto hingga terakhir Nurdin Halid. Memang penjara bukan tempat yang nyaman untuk hidup, banyak penghuninya yang sakit. Bahkan karena ketidaksehatannya, orang yang ketahuan akan masuk penjara saja bisa sakit, seperti Soeharto dan Nurdin Halid.

Jadi..... anda mungkin tahu terusannya, sebab saya tiba-tiba kehilangan kata-kata.

13 July 2004

Normalisasi

Michel Foucault, seorang pemikir Perancis, pernah menguraikan beberapa cara untuk secara sengaja tidak mengenali satu pengetahuan. Saya tidak ingat semuanya. Yang saya ingat adalah tabu. Maksudnya, ada pengetahuan yang memang tidak boleh diperbincangkan dalam ruang publik. Pengetahuan itu hanya boleh jadi bahan pembicaraan di ruang tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengatakannya.

Misalnya. Seks. Dulu, topik ini membuat orang yang membicarakan dan mendengarnya dibicarakan secara terbuka menjadi tersipu malu atau malah jengah. Topik ini hanya boleh dibincangkan oleh orang tua saja di kamar, misalnya. Kendati sekarang kebiasaan itu telah bergeser, namun seks masih ditabukan oleh sebagian besar dari 200 juta lebih penduduk Indonesia. Alasan terpenting adalah penggunaan seks yang tak bertanggung jawab, seperti seks di luar nikah, seks bebas, pemerkosaan, pembunuhan terhadap janin tak berdosa.

Seks dapat kembali jadi tabu apabila dilembagakan pelarangannya. Dengan kata lain, keadaan sekarang harus dinormalisasi oleh kekuasaan yang disebarluaskan melalui lembaga-lembaga. Misalnya DPR melarang seks pra nikah. Lalu pemerintah menerapkan larangan itu ke dalam peraturan-peraturan. Misalnya hukuman mati bagi aparat bea cukai yang meloloskan materi seks dari luar negeri, penyelundup, penduplikasi, distributor dan pengecer. Pemerintah juga akan menghukum mati aparat polisi, jaksa dan hakim yang membiarkan para pelaku bebas. Pemerintah menutup lokasi-lokasi yang biasa dijadikan tempat terjadinya seks, seperti hotel atau Ancol. Pemerintah melalui badan sensor melakukan penyeleksian terhadap acara-acara tv, termasuk iklan-iklan dan isi media massa lain. Buku-buku yang tidak senonoh juga harus diberangus. Dan seterusnya.

Selain ini, pemerintah harus menyediakan penyaluran terhadap gairah seks yang tertutup ini. Misalnya dengan membuka lapangan olah raga sebanyak-benyaknya. Entah itu lapangan bulu tangkis, voli, sepak bola. Pemerintah juga memberikan imbalan yang sangat besar bagi mereka yang sukses di bidang olah raga tadi. Sarana olah raga yang masih mungkin diadakan, harus dilaksanakan. Misalnya, lomba sepeda gunung ekstrim yang pesertanya bisa saja mati. Dan seterusnya… Taktik ini dapat disebut sebagai pengalih-perhatian.

Yang penting dari itu adalah waktu. Untuk menormalisasikan penyelewengan perlu durasi waktu yang sangat panjang. Di antara rentang waktu itu harus ada contoh. Jadi dalam dua tahun pertama, mungkin ada 10 pejabat bea cukai yang dihukum mati. Ada 20 polisi, jaksa dan hakim yang dipecat tidak hormat. Ada 50 orang atlit bulu tangkis yang diberi bea siswa seumur hidup. Ada 100 pemain sepakbola Indonesia yang dibiayai untuk berlatih di klub-klub Italia, Inggris, Jerman dan Belanda. Dengan contoh dan kesabaran, normalisasi dapat diwujudkan.

Cara ini dapat juga dipakai untuk memberantas korupsi atau ketidaknormalan lainnya di negara kita, itu kalau ada yang mencoba!

12 July 2004

Adil

Putus asa. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kegagalan kita mengharapkan keadilan sesuai perundangan dijalankan dengan sejujurnya oleh aparatur pengegak keadilan: polisi, jaksa dan hakim.

Entah alasan apa yang pantas untuk menjustifikasi keberadaan mereka saat ini di antara masyarakat. Ketiga fungsi penertiban sosial tadi tak ubahnya seperti pedagang saja. Mereka memiliki jasa yang diperjualbelikan layaknya pedagang sayur di pasar saja. Ada tarif untuk berbagai jenis jasa. Harganya sangat tergantung pada tingkat kerumitan problem yang dihadapi pembeli.

Secara teoritis, apabila ada sekelompok orang banyak berkumpul di satu tempat tentu memerlukan aturan main yang adil dan memaksa. Sebab kalau tidak, pasti ada sekelompok orang yang akan terus menerus menang dan sebaliknya, ada anggota masyarakat yang selalu jadi korban. Jadi orang kaya dan berkuasa tidak diperkenankan menguasai seluruh sumber makanan dan minuman. Maksudnya supaya orang lain memiliki akses mengelola sumber itu.

Untuk menjaga aturan itu, maka sebuah masyarakat memerlukan polisi yang bertugas menjaga peraturan tidak dilanggar, memberi informasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai peraturan yang berlaku dan menangkap orang yang nekad melanggar. Agar tidak dikira sewenang-wenang, maka masyarakat memerlukan jaksa yang bertugas menuntu ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Demi keadilan, maka diperlukan seorang hakim yang harus melihat seluruh fakta yang terjadi, dari pihak kepolisian dan kejaksaan serta dari pihak yang dikenai dakwaan. Lalu hakimlah yang menentukan apa yang akan terjadi berikutnya.

Praktisnya, ya tidak ada yang begitu. Polisi dapat tidak menangkap seseorang apabila ada uang. Apabila fakta-fakta lapangan tidak memungkinkan seseorang mau tidak mau harus ditangkap, maka dia dapat mempengaruhi jaksa untuk membuat tuntutan yang biasa-biasa saja, yang dengan mudah dipatahkan oleh tim penasihat hukum terdakwa. Ini dapat terjadi apabila ada uang. Apabila masih berlanjut ke pengadilan, maka si terdakwa masih dapat berharap dari hakim. Barangkali saja uang akan membebaskannya. Ini fakta yang ada sekarang ini. Jika dianologikan, trio polisi-jaksa-hakim adalah pemain dalam kubangan yang sama.

Dalam konteks semacam inilah pernyataan Jaksa Agung MA Rachman jadi aneh. Dia bilang di Tempo interaktif, 12 Juli 2004, mengharapkan penggantinya berasal dari jaksa karir. Adakah itu berarti jaksa dengan karir menerima uang dari berbagai tingkatan? Jika ini terjadi, ya, kacau balau. Bukan berarti tak ada jaksa jujur saat ini, tapi ya itu tadi, itu kubangan. Masak iya membersihkan badan dari air kubangan. Kotor juga kan hasilnya?

Menurut saya, dari tiga rantai polisi-jaksa-hakim, harus ada perbaikan di dua rantai terakhir: jaksa dan hakim. Kalau polisi, sudahlah... pasrah saja kita. Caranya bagaimana? Pecat dengan mendadak seluruh jaksa dan hakim secara serentak. Sebelum mengumumkan pemecatan, mintalah anggota masyarakat untuk mengisolasi gedung kejaksaan dan pengadilan. Umumkan pemecatan pada malam hari, sehingga para jaksa dan hakim tak sempat membakar berkas-berkasnya.

Setelah itu, seleksi ulang dari para mantan pegawai kejaksaan dan kehakiman, mulai dari tukang sapu hingga ke pimpinan. Ini perlu sebab seluruh jajaran kedua lembaga tadi memang berpartisipasi dalam pembengkokan undang-undang. Mereka yang terpilih diminta langsung bekerja untuk menganalisis kasus-kasus yang ada. Lalu mereka diminta memberlakukan perundangan dengan setegas-tegasnya. Tentu saja mereka harus digaji besar karena resiko dan kerja mereka memang berat.

Tetapi untuk menjalankan itu, perlu orang yang nekad dan berani mati. Adakah orang semacam itu di Indonesia? Ada, hanya saja mereka bukan pemimpin. Orang seperti itu banyak di negara kita ini dan biasanya mereka hanya jadi peserta kuis-kuis adu berani dan adu malu atau adu nekad di tv-tv?

Sayang sekali.......

09 July 2004

Suara Mahasiswa versus Suara Rakyat

Ada masanya ketika mahasiswa dipuja oleh rakyat. Pertama, mungkin, ketika tahun 1966 lampau. Saat itu mahasiswa, entah itu murni atau ditunggangi ABRI, menyerukan penentangan terhadap Bung Karno, sang presiden, dan juga pembubaran Partai Komunis Indonesia, menyusul tragedi pembunuhan terhadap beberapa jendral Angkatan Darat.

Kedua, adalah Mei 1998. Ketika para mahasiwa mulai rajin dan berani mengekspresikan penentangan terhadap Soeharto, presiden juga. Setelah beberapa kematian dan serangkaian demonstrasi, yang juga entah murni atau ditunggangi pihak lain, Soeharto mundur. Mahasiswa generasi 90-an ini memang menuntut Golkar supaya bubar, tetapi pola ini lebih mahir ditangani oleh para elit Golkar, yang dulunya adalah aktivis mahasiswa tahun 66.

Dalam kedua episode itu, rakyat bergembira ria dan mendukung perbuatan mahasiwa. Mereka lega karena sepertinya mereka bisa bebas dari kekuatan Orde Baru dan militer. Mereka setuju saja ketika mahasiswa menuntut agar pemerintahan berikutnya didominasi sipil yang berpihak kepada rakyat.

Kisah selanjutnya tahu sendiri kan? Ada pemilu 99 yang menghasilkan ketidakpastian dan tersebarnya KKN ke seluruh lapisan masyarakat. Ironisnya, justru KKN-lah isu terpenting yang memotivasi mahasiswa berjuang. Dalam istilah: jauh panggang dari api.

Menghidupi enam tahun terakhir dengan kekacaun, rakyat lelah, jenuh dan tak percaya lagi kepada janji-janji dari siapapun juga. Entah itu mahasiswa, entah itu tokoh politik pro-reformasi, atau orang-orang yang dianggap jujur oleh media massa. Rakyat ternyata lebih peduli ketenangan.

Ini wajar saja. Manusia pada dasarnya tercipta untuk menjalani rutinitas. Sebab dengan memilikinya, ada pola yang baku, pasti dan dapat diduga. Biarpun ada masanya ketika seseorang memberontak mencari identitas diri, pada akhirnya dia merindukan rutinitas. Mungkin inilah yang sekarang dinanti-nanti oleh kebanyakan rakyat. Sebuah rutinitas yang dulu pernah diberikan oleh Orde Baru. Oleh sebuah rezim yang kuat. Tak peduli mereka kejam dan korupsi, selama mereka masih mampu memberi makan dan hiburan kepada rakyat.

Dan siapa yang kira-kira dapat mewujudkan itu? Di benak rakyat, tentu saja orang yang dulu pernah ada, setidaknya kenal, dengan kekuasaan Orde Baru. Siapa orangnya? Ya, militer, atau setidaknya bekas militer. Mau bukti, ya lihat saja hasil pemilu sekarang.

Padahal di sisi lain, mahasiswa ataupun aktivis pro-demokrasi, pro-reformasi dan pro-pro yang lain, berkampanye untuk tidak memilih militer dan partai bekas Orde Baru. Rupanya usaha meraka kali ini tak seiring dengan kemauan rakyat. Mahasiswa telah gagal menyerap aspirasi rakyat. Mahasiswa sudah terlalu politis dengan memiliki agenda perjuangan sendiri. Mahasiswa sudah seperti para politisi yang dulu mereka perangi.Walhasil, mahasiwa ditinggalkan rakyat. Para martir mahasiswa jadi percuma.

Mengherankan? Tidak juga! Watak orang Indonesia memang begini. Pada awalnya ada sekelompok orang yang berjuang bersama menghadapi satu kekuatan tertentu demi tujuan bersama. Tetapi setelah lama berjuang, tujuan mereka tak tercapai juga. Dan pada saat itu, ketika ada tawaran yang menarik kepada para pejuang ini untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar, mereka lupa kelompok. Mereka jadi senang dengan diri sendiri. Tak ada setia kawan, tepo seliro dan semangat Pancasila. Semua adalah tentang bagaimana seorang individu hidup enak. Orang lain, peduli setan!

Kebiasaan ini belum hilang. Jadi, tak usah kaget bila ada yang aneh-aneh dalam kehidupan politik kita di masa datang.

Siap-siap ya..

06 July 2004

SBY dan Budaya Popular


Budaya popular adalah jalinan antara ekspresi kebanyakan rakyat dan kekuatan media massa. Misalnya Inul Daratista. Awalnya dia penyanyi kelas kampung yang ditanggap di acara nikahan atau sunatan. Dia terkenal di kalangan ini. Lalu ada pebisnis yang punya penciuman bisnis jenius, merekam goyangnya dalam VCD dan mengedarkannya. CD ini kemudian menyebar kemana-mana. Salah satunya ke petinggi stasiun TV di Jakarta yang kemudian memintanya tampil, dan lalu Blar!... Inul menggoyang Indonesia.

Ada sentuhan industri media dalam produksi budaya popular. Tanpa ada media, khususnya televisi, ekspresi rakyat kebanyakan akan terhalang oleh batas geografis. Televisi dengan kekuatannya membombardir khalayak penonton dengan tontonan yang itu-itu juga, mau tidak mau, tontonan itu melekat di benak penonton walaupun si khalayak membenci tontonan itu. Misalnya, kasus iklan moncong putih PDI Perjuangan dalam masa kampanye pemilu legislatif lalu, banyak sekali orang yang tiba-tiba kreatif memlesetkan moncong putih dengan montok putih, dll.

Budaya popular yang lain adalah Akademi Fantasi Indonesiar. Ini adalah tontonan yang sangat spektakuler, di mana para penontonnya hadir tanpa dipaksa dan dipastikan tetap terhibur meski ia sudah keluar dari lokasi pertunjukkan. Dengan bantuan media massa lain, majalah, koran, tabloid, AFI jadi fenomena budaya popular lain di Indonesia.

Ciri budaya popular adalah penyeragaman selera. Masyarakat dipandang homogen. Tak peduli jenis kelamin, usia, kelas sosial, tingkat pendidikan dan aliansi politik, media massa menawarkan jualan yang sama persis. Artinya barang dagangan itu harus distandardisasikan hingga level terendah. Lain kata, budaya popular adalah tidak cerdas dan sepele. Yang penting, asik.

Di politik juga begitu. Saya pernah menyelidiki bahwa politik bisa dikomodifikasi jadi budaya popular asalkan ada isu atau tokoh yang diposisikan sebagai oposisi penguasa saat itu. Dulu, saya mendapati bahwa tabloid Detik memuat topik-topik berita yang tak lazim di zaman Orde Baru. Ia mewawancarai tokoh-tokoh yang jelas-jelas dimusuhi Soeharto, seperti mantan perdana menteri Soebandrio. Hasilnya, Detik mampu menjual edisinya hingga ratusan ribu lembar, mengalahkan harian Kompas dan majalah Tempo.

Di zaman sekarang, SBY adalah budaya popular. Ia dengan pandai menempatkan diri sebagai korban. Ia adalah menteri yang diasingkan oleh Megawati cs. Dan partai yang ia bela, mendulang suara banyak. Selama masa kampanye calon presiden, SBY adalah orang yang paling sering membantah isu-isu negatif mengenai diri dan partainya. Ia dengan bijak meminta orang-orang tidak melakukan kampanye negatif melawan dirinya. Ini adalah usaha yang cerdik untuk memelihara statusnya sebagai "korban". Hasilnya, untuk sementara waktu dia memperoleh prosentase suara yang paling tinggi. Kata berbagai polling dan prakiraan pengamat politik, SBY dipastikan lolos ke putara kedua pilpres bulan September nanti.

Tetapi, layaknya budaya popular yang datang dengan cepat, menggemparkan, lalu hilang tanpa ada yang tahu, SBY pun akan begitu. Prediksi ini memang sangat spekulatif. Tetapi dengan kenyataan bahwa SBY terkenal bukan karena dukungan massa tradisional, seperti NU atau PDI Perjuangan, atau dukungan organisasi besar seperti Golkar, maka prediksi ini jadi salah satu kemungkinan meramal nasib SBY nantinya.

Menggunakan analogi, SBY adalah seperti buah mangga yang belum matang, dipetik, lalu dieramkan di tumpukan jerami supaya masak lebih cepat. Rasanya, memang enak, tetapi jika terlalu lama di eraman, ia busuk dengan cepat juga. Jadi, menurut saya, sebenarnya SBY perlu waktu lagi sebelum pantas menjadi dia yang sekarang ini.

Untungnya dia berpasangan dengan Jusuf Kalla, seseorang yang saya tahu sangat berani dan memegang kata-katanya. Jusuf Kalla layaknya La Ma'dukelleng, pejuang dari Sulawesi yang memerangi Belanda dengan sangat gagah berani. Semoga JK dapat menjadi seperti pahlawan yang belum diakui negara itu dan menjadi pasangan penyeimbang bagi SBY yang belum masak itu.