23 April 2004

Menciptakan Kebenaran

Adakah yang namanya untung? Ada lah! Istilah ini identik dengan dagang. Kita ambil barang dua ribu, kita jual tiga ribu. Untung seribu. Jadi kata "untung" memang ada rujukannya di dunia nyata.

Apakah untung dapat diterapkan di dunia selain dagang? Oh ya, tentu saja bisa. Ada istilah ilmiah di ilmu sosial, khususnya komunikasi, yakni: economy of the truth! Maksudnya adalah apabila seseorang atau sekelompok orang yang diuntungkan oleh satu atau beberapa kebenaran. Misalnya: kemarin ada wabah deman berdarah. Lalu para dokter berkata, "hindarkan diri anda dari gigitan nyamuk". Ini adalah kebenaran. Dan yang diuntungkan adalah para pedangan obat nyamuk.

Kalau begitu kebenaran bisa sengaja diciptakan supaya orang memperoleh untung, dong? Jawabnya: betul! Contoh sederhana begini. Misalnya ada sebuah keluarga yang memiliki anak. Karena keluarga ini tidak kaya, maka sang kepala keluarga tidak mampu menyediakan kebutuhan anaknya dengan berlebihan. Apabila anak laki-laki, dia tidak bisa membelikan mobil dengan remote control. Apabila anak perempuan, dia tak mampu beli boneka Barbie. Lalu kedua orang tua ini menciptakan "kebenaran" yang dapat menghindarkan anak-anaknya mengkonsumsi mainan yang mahal-mahal itu. Misalnya dengan mengatakan, "Mobil remot dan boneka barbie buatan Amerika, nanti yang untung Amerika kalau kita beli. Lebih baik main mobil-mobilan dari kulit jeruk bali dan beli boneka cepot saja. Kita harus bangga jadi orang Indonesia!"

Coba deh lihat sendiri. Pasti pernah mendengar, entah itu orang tua kita, guru, atasan, teman, bahkan pacar yang menciptakan satu pernyataan "kebenaran" karena dengan melakukan itu mereka untung. Atau ingat-ingat sendiri, barangkali saja kita pernah melakukan itu.

Karena untung-rugi juga ada dalam penciptaan kebenaran, maka dari itu kita tak harus percaya-percaya betul apapun kata orang, kendati si pengucap kalimat itu adalah orang yang memiliki otoritas atas kebenaran itu. Misalnya, kyai/ulama atau pendeta yang mengeluarkan pernyataan keagamaan, dokter dengan istilah-istilah yang kedengarannya indah untuk penyakit kelamin, atau hakim/jaksa yang menggunakan kata ulangan untuk membebaskan seorang tersangka, politisi yang berjanji akan memberantas KKN. Sebab semua pernyataan tadi mengikuti prinsip ekonomi kebenaran.

Lalu bagaimana menghadapi dunia yang seperti ini? Waduh... itu saya juga tak tahu. Ada filsuf yang bilang bahwa dunia pernyataan tadi adalah fenomena. Maksudnya, pernyataan tadi benar hanya pada saat itu dan di tempat itu saja dan tidak terkait dengan apapun di luar pernyataan itu sendiri. Misalnya ada yang bilang, "Saya adalah seorang kapiten." Itu artinya, ya dia adalah kapiten pada saat ia mengatakannya dan tak perlu dirujuk kalau dia hidup di laut. Singkatnya, tak perlu menghubungkan sebuah pernyataan dengan pernyataan lain sehingga pernyataan tadi seolah-olah memiliki makna lain.

Tetapi karena orang cenderung selalu mencoba memahami satu pernyataan dengan kerangka pikir lain, ada seorang pakar sosial lain yang bilang bahwa kebiasaan itu dapat menciptakan kenyataan dari kenyataan yang semu. Analoginya adalah seperti seekor anak kucing yang berdiri di depan cermin dan ia menganggap ada kucing lain di seberang sana. Istilahnya, hiper-realitas.

Dan hiperrealitas ini terkadang buruk sebab cenderung menuntun orang merealisasikan kenyataan berdasarkan imajinasinya. Misalnya, ada orang yang ingin membangun rumah. Ia survey ke berbagai perumahan. Ia membaca banyak majalah atau tabloid tentang arsitektur rumah. Dan akhirnya ia menghubungi jasa pembuatan desain rumah yang dilengkapi efek tiga dimensi. Ia telah membuat kenyataan; dan kenyataan itu kemudian mengendalikan dirinya. Ia jadi bekerja lebih keras, lebih tak mempedulikan kemaslahatan orang banyak, asal ia dapat uang untuk membangun impiannya itu. Well, ini sih masih wajar.

Tetapi coba bila ada seorang yang yakin bahwa dunia akan aman apabila dia yang menjadi pemimpin dan mengikuti segala cara yang dia inginkan? Ya, seperti sekarang ini..... datar semua. Tak ada yakin bahwa masa depan patut dipertimbangkan lagi....

Sungguh memilukan!

No comments: