13 July 2004

Normalisasi

Michel Foucault, seorang pemikir Perancis, pernah menguraikan beberapa cara untuk secara sengaja tidak mengenali satu pengetahuan. Saya tidak ingat semuanya. Yang saya ingat adalah tabu. Maksudnya, ada pengetahuan yang memang tidak boleh diperbincangkan dalam ruang publik. Pengetahuan itu hanya boleh jadi bahan pembicaraan di ruang tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengatakannya.

Misalnya. Seks. Dulu, topik ini membuat orang yang membicarakan dan mendengarnya dibicarakan secara terbuka menjadi tersipu malu atau malah jengah. Topik ini hanya boleh dibincangkan oleh orang tua saja di kamar, misalnya. Kendati sekarang kebiasaan itu telah bergeser, namun seks masih ditabukan oleh sebagian besar dari 200 juta lebih penduduk Indonesia. Alasan terpenting adalah penggunaan seks yang tak bertanggung jawab, seperti seks di luar nikah, seks bebas, pemerkosaan, pembunuhan terhadap janin tak berdosa.

Seks dapat kembali jadi tabu apabila dilembagakan pelarangannya. Dengan kata lain, keadaan sekarang harus dinormalisasi oleh kekuasaan yang disebarluaskan melalui lembaga-lembaga. Misalnya DPR melarang seks pra nikah. Lalu pemerintah menerapkan larangan itu ke dalam peraturan-peraturan. Misalnya hukuman mati bagi aparat bea cukai yang meloloskan materi seks dari luar negeri, penyelundup, penduplikasi, distributor dan pengecer. Pemerintah juga akan menghukum mati aparat polisi, jaksa dan hakim yang membiarkan para pelaku bebas. Pemerintah menutup lokasi-lokasi yang biasa dijadikan tempat terjadinya seks, seperti hotel atau Ancol. Pemerintah melalui badan sensor melakukan penyeleksian terhadap acara-acara tv, termasuk iklan-iklan dan isi media massa lain. Buku-buku yang tidak senonoh juga harus diberangus. Dan seterusnya.

Selain ini, pemerintah harus menyediakan penyaluran terhadap gairah seks yang tertutup ini. Misalnya dengan membuka lapangan olah raga sebanyak-benyaknya. Entah itu lapangan bulu tangkis, voli, sepak bola. Pemerintah juga memberikan imbalan yang sangat besar bagi mereka yang sukses di bidang olah raga tadi. Sarana olah raga yang masih mungkin diadakan, harus dilaksanakan. Misalnya, lomba sepeda gunung ekstrim yang pesertanya bisa saja mati. Dan seterusnya… Taktik ini dapat disebut sebagai pengalih-perhatian.

Yang penting dari itu adalah waktu. Untuk menormalisasikan penyelewengan perlu durasi waktu yang sangat panjang. Di antara rentang waktu itu harus ada contoh. Jadi dalam dua tahun pertama, mungkin ada 10 pejabat bea cukai yang dihukum mati. Ada 20 polisi, jaksa dan hakim yang dipecat tidak hormat. Ada 50 orang atlit bulu tangkis yang diberi bea siswa seumur hidup. Ada 100 pemain sepakbola Indonesia yang dibiayai untuk berlatih di klub-klub Italia, Inggris, Jerman dan Belanda. Dengan contoh dan kesabaran, normalisasi dapat diwujudkan.

Cara ini dapat juga dipakai untuk memberantas korupsi atau ketidaknormalan lainnya di negara kita, itu kalau ada yang mencoba!

No comments: