08 October 2004

Kalah Menang

Ada situasi di mana dua pihak berdiri berhadap-hadapan, bertanding, lalu ada yang kalah dan ada yang menang. Situasi ini terjadi di Indonesia selama tahun 2004, melalui pemilihan umum, pemilihan presiden tahap satu dan paling kentara di putaran kedua pilpres. Hasilnya, Mega kalah dan SBY menang.

Ada banyak orang yang mencoba bijak dengan mengatakan tidak ada yang kalah, semuanya menang atau menegaskan bahwa yang menang adalah rakyat, bukan Mega dan SBY. Mengapa harus malu-malu bahwa memang ada yang kalah dan ada yang menang saat situasi serupa begitu kentara dan gamblang dipamerkan waktu pemilihan ketua DPR, DPD dan MPR.

Ada juga klaim kemenangan berupa iklan satu halaman penuh di berbagai media yang dibuat oleh pengacara Hotman Paris Hutapean mewakili kliennya yang dimenangkan oleh keputusan MA melawan pejabat-pejabat negara, antara lain Laksamana Sukardi dan Tumenggung, mantan ketua bekas BPPN.

Ada situasi-situasi di mana orang juga sering tidak mengaku kalah padahal semua orang tahu dia kalah. Misalnya Polri yang kecolongan lolosnya Adrian Woworuntu dan kegagalan mereka menangkap tersangka teroris asal Malaysia, Dr Azahari dan Noordin Moh Top.

Ada juga yang kalah tapi masih berusaha untuk terus berkuasa. Misalnya Golkar dan PDIP yang mau melakukan apa saja asal mereka bisa menjadi pimpinan lembaga legislatif di berbagai propinsi.

Ada yang kalah terus menerus dan kendati sudah tahu kalah tidak pernah belajar dan berusaha keras untuk bisa jadi pemenenang. Mereka ini adalah timnas sepakbola PSSI yang selalu kalah dalam kategori umur apapapun dan di turnamean apapun.

Sementara, jarang ada pemenang yang mencoba tetap arif dan menjadi orang biasa-biasa saja. Misalnya SBY yang kabarnya begitu jumawa bahwa dirinya saja sebenarnya mampu menjadi pilihaan rakyat tanpa harus berpasangan dengan Jusuf Kalla. Kemenangan selalu diterima dengan berlebih-lebihan sehingga membuat orang lupa. Coba ingat bagaimana Elly Pical dielu-elukan, lalu hilang.

Terus.... apa lagi ya kemenangan yang pernah terjadi di negara kita, oleh negara kita, kok susah banget mengingat-ingat ya... rasa-rasanya kita ini kalah melulu.

Oh ya, kita ini sering menang di lomba-lomba sains belakangan hari ini, tapi kok justru tak ada yang peduli itu. Pemenang AFI 1 dan 2, juga Indonesian Idol, lalu KDI ternyata lebih dipuja.... dan lucunya, sebenarnya mereka bukan pemenang, sebab sebenarnya mereka tak mengalahkan siapapapun juga.

Jadi, kata kalah sebenarnya tak ada rujukannya di dunia nyata Indonesia, sebab semua orang merasa jadi pemenang. Jikapun orang yang kalah merasa kalah, dia akan selalu ditenangkan orang banyak bahwa dia hanya tidak beruntung. Sebaliknya, kata menang punya ekspresi yang lebih beragam..

Atau sebenarnya bukan Indonesia saja yang tidak mengenal kata kalah... Mungkin akan lebih tepat apabila kalah diganti menjadi belum-menang.

Tauk ah gelep.......

07 October 2004

Jangan iri

Merit sebagai kata benda dapat ditafsirkan sebagai kualitas yang mengagumkan; sebagai kata kerja dia berarti layak atau memiliki nilai tertentu. Sistem merit yang diterapkan Singapura dalam rekrutmen SDM adalah pemilihan individual untuk menempati pos jabatan tertentu sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan kepantasan yang dirasa oleh si individu tersebut.

Sehingga, seseorang yang telah bekerja di, misalnya Departemen Pertahanan sejak lulus kuliah, lalu menekuni studi geopolitik serta berbagai keahlian atau pengetahuan lain dan ia mahir serta menguasai apa yang telah ia pelajari, maka dia pantas untuk memperoleh jabatan tertinggi, atau setidaknya penting, di dalam departemen tersebut, dengan fasilitas finansial yang membuatnya nyaman bekerja.

Di Indonesia jaman Orde Baru, sistem merit tidak diterapkan secara menyeluruh. Ada satu dua, tetapi pada umumnya rekrutmen pegawai lebih karena kedekatan seseorang kepada pusat kekuasaan. Istilah yang biasa dipakai adalah patron-client atau hubungan Bapak-anak. Di dalam lembaga kepolisian, ada sistem jendela. Maksudnya, apabila ada seorang polisi yang sering mondar-mandir di luar jendela atasannya, maka ia akan dengan mudah diingat apabila ada promosi jabatan.

Jadi orang-orang yang duduk di jabatan tertentu di dalam pemerintahan saat itu dipilih bukan karena kemampuannya atau karena orang tadi pantas menempati pos itu, melainkan karena tekad dan niat si orang yang ditunjuk untuk patuh dan memperkuat posisi atasannya, baik jabatan ataupun harta bendanya. Gampangnya, selain memberi upeti, seorang bawahan juga harus bersedia pasang badan melindungi atasannya.

Pada jaman itu juga sistem merit juga tidak terjadi di perusahaan swasta nasional. Kekeluargaan, persahabatan, geng adalah mekanisme perekrutan, khususnya untuk posisi-posisi vital dalam usaha tersebut. Ada yang baik, tetapi kebanyakan tidak. Sebab kultur itu ternyata menjalar hingga ke tingkat terendah. Jadi, si pesuruh kantor akan merekrut saudaranya apabila ada lowongan kerja serabutan. Si kepala proyek akan mengajak teman mainnya untuk jadi pelaksana proyek. Dan seterusnya. Walhasil, seluruh perusahaan diurus oleh orang yang kenal satu sama lain di masa sebelumnya.

Akibatnya, pengelolaan perusahaan menjadi tidak sempurna sebab ada ewuh pakewuh, sopan santun, tak enak, dan perasaan personal lainnya. Atau, karena kedekatan ini, pengelolaan perusahaan jadi tidak efisien sebab bila ada penyelewengan, semua bisa diajak bekerja sama.

Dampak lebih lanjut adalah ada orang yang kebagian uang banyak, ada orang yang kebagian sedikit, bahkan ada yang tidak menerima bagian sama sekali. Golongan yang tidak kebagian adalah mereka yang tidak dekat dengan kekuasaan, tidak bersaudara dengan salah satu pejabat yang berkuasa; mereka adalah orang-orang yang terpaksa bekerja keras mencari uang sebanyak-banyanknya dengan cara yang benar. Sebab orang-orang ini tidak memiliki kesempatan melakukan penyelewengan yang menguntungkan dirinya secara finansial. Orang-orang ini bisa jadi lebih mahir dan kompeten dalam pekerjaannya, akan tetapi karena kultur budaya tidak memungkinkan mereka naik pangkat atau memegang jabatan penting, mereka biasanya akan menjadi kacung selama hidupnya. Artinya, dialah sebenarnya yang bekerja, tetapi orang lain yang menikmati hasilnya.

Dapat disimpulkan, apabila sistem merit diberlakukan kepada orang dalam golongan terakhir, maka seharusnya dialah yang memegang jabatan penting dengan gaji yang sepadan dengan kemampuannya itu.

Apakah sekarang sistem merit sudah dapat diterapkan? Belum juga, sebab kultur kedekatan adalah cara yang sudah ada dan dipelihara selama bertahun-tahun oleh berbagai budaya di Indonesia. Sehingga, memerlukan waktu yang teramat lama untuk mengubah pola pikir semacam itu. Bahkan, sejujurnya, pola ini tidak akan pernah lenyap, mengingat bahwa sistem ini ternyata menguntungkan bagi orang yang termasuk di dalamnya. Bagi mereka yang tidak termasuk ke dalam sistem, alih-alih mempromosikan cara baru dalam rekrutmen, mereka justru berusaha masuk ke dalam sistem.

Yang tidak berhasil, jangan iri, kendati sistem itu menyebalkan bukan main. Cara paling tepat adalah membangun pusat kekuasaan sendiri bagaimanapun caranya.

Inilah Indonesia kita!