09 July 2004

Suara Mahasiswa versus Suara Rakyat

Ada masanya ketika mahasiswa dipuja oleh rakyat. Pertama, mungkin, ketika tahun 1966 lampau. Saat itu mahasiswa, entah itu murni atau ditunggangi ABRI, menyerukan penentangan terhadap Bung Karno, sang presiden, dan juga pembubaran Partai Komunis Indonesia, menyusul tragedi pembunuhan terhadap beberapa jendral Angkatan Darat.

Kedua, adalah Mei 1998. Ketika para mahasiwa mulai rajin dan berani mengekspresikan penentangan terhadap Soeharto, presiden juga. Setelah beberapa kematian dan serangkaian demonstrasi, yang juga entah murni atau ditunggangi pihak lain, Soeharto mundur. Mahasiswa generasi 90-an ini memang menuntut Golkar supaya bubar, tetapi pola ini lebih mahir ditangani oleh para elit Golkar, yang dulunya adalah aktivis mahasiswa tahun 66.

Dalam kedua episode itu, rakyat bergembira ria dan mendukung perbuatan mahasiwa. Mereka lega karena sepertinya mereka bisa bebas dari kekuatan Orde Baru dan militer. Mereka setuju saja ketika mahasiswa menuntut agar pemerintahan berikutnya didominasi sipil yang berpihak kepada rakyat.

Kisah selanjutnya tahu sendiri kan? Ada pemilu 99 yang menghasilkan ketidakpastian dan tersebarnya KKN ke seluruh lapisan masyarakat. Ironisnya, justru KKN-lah isu terpenting yang memotivasi mahasiswa berjuang. Dalam istilah: jauh panggang dari api.

Menghidupi enam tahun terakhir dengan kekacaun, rakyat lelah, jenuh dan tak percaya lagi kepada janji-janji dari siapapun juga. Entah itu mahasiswa, entah itu tokoh politik pro-reformasi, atau orang-orang yang dianggap jujur oleh media massa. Rakyat ternyata lebih peduli ketenangan.

Ini wajar saja. Manusia pada dasarnya tercipta untuk menjalani rutinitas. Sebab dengan memilikinya, ada pola yang baku, pasti dan dapat diduga. Biarpun ada masanya ketika seseorang memberontak mencari identitas diri, pada akhirnya dia merindukan rutinitas. Mungkin inilah yang sekarang dinanti-nanti oleh kebanyakan rakyat. Sebuah rutinitas yang dulu pernah diberikan oleh Orde Baru. Oleh sebuah rezim yang kuat. Tak peduli mereka kejam dan korupsi, selama mereka masih mampu memberi makan dan hiburan kepada rakyat.

Dan siapa yang kira-kira dapat mewujudkan itu? Di benak rakyat, tentu saja orang yang dulu pernah ada, setidaknya kenal, dengan kekuasaan Orde Baru. Siapa orangnya? Ya, militer, atau setidaknya bekas militer. Mau bukti, ya lihat saja hasil pemilu sekarang.

Padahal di sisi lain, mahasiswa ataupun aktivis pro-demokrasi, pro-reformasi dan pro-pro yang lain, berkampanye untuk tidak memilih militer dan partai bekas Orde Baru. Rupanya usaha meraka kali ini tak seiring dengan kemauan rakyat. Mahasiswa telah gagal menyerap aspirasi rakyat. Mahasiswa sudah terlalu politis dengan memiliki agenda perjuangan sendiri. Mahasiswa sudah seperti para politisi yang dulu mereka perangi.Walhasil, mahasiwa ditinggalkan rakyat. Para martir mahasiswa jadi percuma.

Mengherankan? Tidak juga! Watak orang Indonesia memang begini. Pada awalnya ada sekelompok orang yang berjuang bersama menghadapi satu kekuatan tertentu demi tujuan bersama. Tetapi setelah lama berjuang, tujuan mereka tak tercapai juga. Dan pada saat itu, ketika ada tawaran yang menarik kepada para pejuang ini untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar, mereka lupa kelompok. Mereka jadi senang dengan diri sendiri. Tak ada setia kawan, tepo seliro dan semangat Pancasila. Semua adalah tentang bagaimana seorang individu hidup enak. Orang lain, peduli setan!

Kebiasaan ini belum hilang. Jadi, tak usah kaget bila ada yang aneh-aneh dalam kehidupan politik kita di masa datang.

Siap-siap ya..

No comments: