16 June 2004

Meramalkan Bunuh Diri

Anak usia sekolah dasar belakangan hari ini banyak yang bunuh diri. Ada yang gagal dan berhasil. Penyebabnyapun aneka. Misalnya, Miftahul Jannah, 15 tahun, gantung diri karena diduga dirinya tak punya uang untuk ikut study tour sebagai perayaan kelulusan sekolahnya. Profil Mitha, begitu dia dipanggil, adalah anak sebatang kara yang sejak kecil tinggal bersama kakek dan neneknya akibat perceraian orang tuanya. Karena ini, dalam kesehariannya, Mitha adalah seorang pemurung penyendiri yang mungkin minder berkawan dengan teman sebayanya.

Heryanto, anak 12 tahun, mencoba bunuh diri karena tak mampu membayar Rp.2,500 biaya ketrampilan di sekolahnya. Yanto merasa malu ketika gurunya tetap menagih uang itu, sementara orang tua Yanto tak mampu memberinya. Jangankan uang sekolah, makan sehari-hari saja mereka masih kepayahan. Harap dimaklumi sebab Yanto adalah salah satu anak miskin dari sembilan juta keluarga miskin di Jawa Barat.

Orang dewasa juga banyak yang bunuh diri. Alasannya: tak ada yang pernah mengerti pasti. Hanya saja, mereka yang bunuh diri rata-rata berpenghasilan kecil. Sebab itu, sepintas lalu alasan ekonomi ini jadi latar belakang yang masuk akal orang lain bagi tindakan mereka. Tapi pada kenyataannya, tidaklah semudah itu. Ekonomi hanya salah satu dari ribuan alasan.

Terlepas dari itu, ada 62 orang bunuh diri di Jakarta di tahun 2003. Di pulau Bali, dari 30 orang yang mencoba bunuh diri, 20 di antaranya tak terselamatkan.

Bunuh diri sepertinya jadi solusi yang baik untuk beragam persoalan. Jika memantau pemberitaan koran di Batam, berbagai alasan bunuh diri ada di situ: ada yang berhutang, seorang pembantu nekad bunuh diri karena takut dimarahi majikannya sehabis pergi ke diskotik, seorang wanita mudah bunuh diri karena pacarnya mangkir. Mereka lari dari apa? Kemiskinan, kesumpekan-hidup atau patah hati?

Terlepas dari itu, gejala bunuh diri yang semakin banyak ini dapat diduga karena runtuhnya pijakan agama dan budaya. Khusus dalam Islam, manusia yang bunuh diri dilaknat masuk neraka. Sementara para kyai atau guru agama yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" akhlaq dan ajaran Islam, sedang asyik masyuk berpolitik dan menelantarkan umatnya. Apalagi dalam berpolitik, para pemuka agama ini membuat pernyataan yang aneh-aneh. Dan perilaku ini dengan sendirinya menghancurkan kredibilitas mereka sebagai orang yang bijak dan tak memihak. Para pemuka agama bukanlah tujuan umat mencari nasihat lagi.

Seiring dengan itu, tercipta standar hidup baru. Umumnya standar ini dibuat di kota-kota besar. Standar ini biasanya sangat sulit dipenuhi oleh orang-orang yang tidak tinggal di kota. Apabila orang pedesaan ini mau memenuhi standar, maka ia harus ke kota, atau setidaknya berlagak layaknya orang kota. Penerapan paling khas dari standar baru ini adalah gaya hidup, yang tercermin antara lain dalam berbusana. Akibatnya, orang desa yang dulunya sudah tertinggal, makin dalam jatuh ke dalam jurang perbedaan.

Bagaimana standar baru ini bisa sampai ke mata, telinga dan pikiran orang desa. Tentu saja karena TV. Karena persaingan begitu kerasnya, stasiun tv berlomba membangun stasiun pemancar untuk menjangkau seluas mungkin wilayah Indonesia. Saya yakin, mungkin sekarang hanya sedikit blank-spot yang tertinggal di negara kita ini.

Dalam caranya memenangi perlombaan, stasiun tv terpaksa harus membuat standar logika baru, yang sialnya, diturunkan hingga ke standar paling rendah. Efek dari ini adalah penyeragaman audien. TV sekarang adalah ganti kyai yang sudah menelantarkan umatnya. TV adalah panduan gaya hidup, bertingkah laku dan guru spiritual sekaligus.

Bagaimana TV menyikapi ini? Sepertinya sih acuh tak acuh. Yang terpenting bagi TV adalah acara yang mereka buat menyerap penonton yang pada akhirnya mengundang iklan, atau uang. Mengenai efek dari acara itu, TV tak terlalu peduli. Apabila penontonnya mampu menerima logika TV itu dengan cerdas, ya syukur, kalau tidak ya... tanggung sendiri.

Nah, terkait dengan bunuh diri, semua TV menyajikan acara kriminal. Seluruh tindak kriminal sekarang sah masuk ke TV. Dari pencurian biasa hingga pembunuhan. Lokasinya bisa di desa terpencil hingga metropolitan. Telah terjadi demokratisasi tindakan kriminal. Dalam genre acara ini, perbuatan yang merenggut nyawa diri sendiri juga boleh masuk. Secara tak langsung, ini jadi model tindakan bagi masyarakat umum. Coba saja sekarang teliti, peningkatan tindakan kriminal di seluruh Indonesia dan tingkat bunuh diri. Kendati perlu penelitian lebih lanjut, saya berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia adalah peniru model perilaku di TV.

Kendati menggarisbawahi TV sebagai salah satu penyebab bunuh diri, saya bukan menunjuk TV sebagai penyebab utama. Bahkan, kebanyakan pakar sosiologi dan psikologi berpendapat tak ada sebab dominan dalam tindak bunuh diri. Umumnya penyebab bunuh diri adalah kombinasi berbagai faktor personal dan sosial.

Karena bisa dihitung, sebenarnya bunuh diri juga dapat diramalkan. Sebab perkembangan personal selalu terkait dengan lingkungan di mana seseorang tinggal. Jadi, seiring dengan perbaikan lingkungan (maksudnya bukan lingkungan hidup, seperti hutan, binatang dst-nya saja), maka tindakan bunuh diri bisa berkurang.

Dan para pemuka agama adalah juga bagian dari lingkungan yang harus diperbaiki... entah itu diganti dengan orang yang lebih peduli dan bijak, entah itu dihilangkan saja perannya...



No comments: