18 December 2006

Kemiripan

Otak manusia adalah sebuah sistem yang sangat rumit. Hingga kini belum ada satupun komputer yang mampu menandingi kemampuan otak dalam mengingat, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi. Sayangnya, kerja otak, menurut beberapa ahli, belum optimal. Entah kenapa, manusia sepertinya belum mampu membuat otaknya bekerja lebih banyak. Ahli-ahli ini menyimpullkan kemampuan otak masih banyak yang menganggur. Bagaimana kemampuan otak sebenarnya itu, mungkin contoh yang paling mudah adalah film yang dimainkan John Travolta, judulnya kalau tidak salah Phenomenon.

Ceritanya, si Travolta yang cuma pemiliki bengkel kota kecil di Amerika sana, mengaku melihat cahaya dan terus menghantam dirinya. Semenjak itu, si tukang bengkel ini jadi jenius sekali. Bisa belajar bahasa asing dalam beberapa menit saja. Di akhir cerita, ada penyakit di kepalanya yang justru menjadi pemicu kerja saraf otaknya hingga ke taraf super jenius. Waktu nonton film ini saya membayangkan apa jadinya kalau semua orang bisa berpikir seperti dia.

Saya tidak tahu bagaimana persisnya, tapi rasa-rasanya salah satu kerja otak dalam menyerap informasi dan kemudian mengeluarkannya adalah dengan mekanisme kemiripan. Jadi sebuah obyek akan serta merta dibandingkan dengan informasi yang sebelumnya tersimpan. Maka dari itu tak heranlah pabila ada ungkapan "sejarah selalu berulang", "hidup itu seperti roda yang berputar". Ini menjelaskan biar hidup itu bergerak maju, manusia cenderung menafsirkannya sebagai kemiripan dengan apa yang telah terjadi di masa lalu.

Kadang-kadang kemiripan dapat berfungsi dengan baik bagi hidup seseorang, kadang juga sebaliknya. Misalnya ada orang yang dikenali sebagai orang yang mirip dengan keturunan bangsawan yang telah hilang dan merupakan ahli waris dari kekayaan berjuta-juta. Orang ini bernasib baik. Sebaliknya, ada orang yang mirip dengan pelaku pembunuhan, walaupun dia tidak melakukannya sama sekali, akan menanggung sanksi.

Kemiripan ini juga yang membuat orang kadang panik, bingung atau bahagia malah. Misalnya ada gempa di Medina. Bagi sebagian orang akan menyangka gempa terjadi di Arab Saudi sana, oleh sebab itu masyarakat Indonesia yang anggota keluarga sedang berhaji menjadi panik. Padahal gempa itu terjadi di Sumatra.

Apabila mengamati berita-berita sekarang ini di media massa, di sana juga terdapat banyak kemiripan. Bukan dalam redaksionalnya saja, tapi dala polanya. Misalnya, artis bercerai, artis mati narkoba, politisi nakal, selalu datang silih berganti dengan perseteruan SBY-JK, bencana alam, kenaikan harga beras, prestasi olah raga. Satu yang tidak pernah berubah adalah rakyat menderita di seluruh kategori di atas.

Rasa-rasanya fenomena ini juga mirip dengan dongeng-dongen HC Andersen di mana rakyat menderita karena kerajaan diperintah oleh orang tak bijak, lalim. Kisah ini juga jadi genre dalam dongeng klasik di Indonesia.

Rakyat bergembira apabila sang pemimpin adil, bijaksana, dan biasanya bertampang ganteng atau cantik. Tapi kok keadaan ini tak ada kemiripannya dengan rakyat Indonesia ya...

Auk ah.

05 December 2006

Alat Kelamin dan Seks

Anggota DPR dan artis dangdut telanjang berduaan di milis. Aa Gym dan istri barunya di Internet.

Di kedua peristiwa tersebut, kecenderungan orang menafsirkan peristiwa terpisah itu dengan satu definisi: seks. Dan istilah itu mempersempit menjadi alat kelamin. Si anggota DPR memanjakan alat kelaminnya di vagina penyanyi dangdut; Aa Gym melakukannya dengan berlindung pada kalimat-kalimat yang sulit dimengerti.

Sejujurnya, adakah yang perlu didebatkan andai saja kategorisasi moral/akhlaq kita distandarisasikan menjadi nol, seperti ajakan Nietszche: nihilism? Mungkin masih ada. Penyelewengan Pangeran Charles dengan Camilla atau Putri Diana dengan beberapa pria juga jadi isu nasional di Inggris. Monica Lewinsky juga pernah bikin Bill Clinton kebingungan. Padahal kedua peristiwa tersebut terjadi di negara-negara yang memiliki definisi moral longgar terhadap aktivitas seks.

Mungkin kata kuncinya adalah perkawinan. Seluruh agama di kebudayaan manapun menganggap perkawinan sakral. Walaupun, demi untuk mengakomodasi kekuasaan, raja di manapun diperkenankan untuk memiliki banyak istri dan selir-selir. Dan kebanyakan orang menganggap hal ini wajar.

Akan jadi perdebatan apabila yang melakukan orang-orang yang seharusnya bertugas menjaga moralitas seperti anggota DPR dan konon kabarnya - ulama! Orang-orang dari kalangan ini terlarang mengumbar alat kelaminnya, apalagi untuk seks.

Kesimpulannya: masyarakat Indonesia semakin hari semakin sakit saja. Dan pada saat bersamaan ruang publik pun - dalam arti fisik maupun psikis - berantakan tak terurus untuk mengakomodasi kepenatan akal dan kegelisahan emosi.

Atau barangkali saat ini adalah momen yang sangat berharga bagi berjalannya proses menuju nihilisme ala Nietszche, dan kemudian semua orang akan mampu membentuk mentalitas yang sangat tangguh dan dengan sendirinya akan membuat Indonesia menjadi sangat kuat, yang saking kuatnya akan membuat survivalitas bangsa Cina dan kedisipilinan orang Jepang jadi masa lalu tak berguna.

Semoga saja begitu; dan jika cara itu yang terjadi maka anggota DPR dan ulama itu bolehlah kita sebut sebagai martir!