13 June 2005

Kembali ke masa lalu

Apa yang paling mengasyikan di kala kita suntuk, tak tahu arah, putus asa, bosan atau jenuh? Ya! Kembali ke masa lalu. Sebab itu masuk akal bila acara reuni atau apapun yang bertujuan mengulang yang sudah-sudah akan diminati.

Ini juga yang sepertinya akan dilakukan pemerintah sekarang. Dengan klaim bahwa beberapa program masa lalu ternyata telah mumpuni dapat mencegah beberapa musibah yang menimpa kita, misalnya, persoalan Poso yang tak kunjung usai atau penyakit busung lapar yang tidak terdeteksi, mereka memutuskan 'meneruskan'-nya. Untuk menghindarkan diri dari cercaan orang karena berniat menggunakan metode-metode Orde Baru dalam praktik pemerintahannya, SBY mewanti-wanti ada beberapa hal yang juga harus ditinggalkan, misalnya KKN, korupsi, supremasi militer atas sipil.

Mungkinkah itu terjadi? Hanya waktu yang akan membuktikan. Hanya saja kita berspekulasi. Mengingat bahwa program dan metotode tersebut berasal dari satu paket, maka agak sulit memisahkan yang dianggap 'baik' dan 'buruk'. Sangat mungkin andaikata beberapa dari tadi diuji coba, maka resikonya semuanya turut serta.

Mungkin akan sedikit lain jika penamaannya berbeda. Jadi istilah Posyandu untuk Pos Pelayanan Terpadu diubah jadi Kegiatan Masyarakat Untuk Kesehatan Ibu dan Anak-anak (KeMUKA) atau apapun lah. Sebab sebutan akan banyak sekali terhadap praksis. Ini nampak nyata pada pergantian dari ABRI ke TNI. Keduanya merujuk ke hal sama tetapi efek dibenak para pendengar lain.

Saya sepakat bahwa program-program atau metode-metode masa lalu sangat efektif untuk menjaga keutuhan negara kita. Sayangya, dulu praksis di lapangan biasanya sangat overaktif. Sekarang harus diubah.

Ada satu lagi yang harus kembali ke masa lalu, yakni sentralisme kekuasaan. Ini cara lebih tepat dan berhasil menjaga keutuhan negara ketimbang demokrasi - sebuah konsep yang sama utopianya dengan komunisme.

....

06 June 2005

Dipenjara Adalah Gaya Hidup

Apa jadinya bila kita, salah satu dari anggota keluarga kita dikenai sanksi; entah itu dari tempat kerja, sekolah, masyarakat atau kepolisian. Bila pun terjadi hal yang tidak diinginkan orang akan berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan sanksi itu tersebar luas di masyarakat.

Karena empati dan tepo seliro, biasanya si pemberi hukumpun akan bersepekat untuk menghindarkan sanksi yang lebih kejam dari masyarakat. Akibatnya aturam main yang selama ini ada jadi tidak diterapkan sepenuhnya dan adil.

Kebiasaan ini secara langsung memberikan kekuasaan yang berlebih kepada aparat penegak hukum. Dia jadi merasa berkuasa dan sebab itu wajar saja bila menerapkan ’harga’ dalam tanggung jawabnya. Lama-lama ini jadi aturan main yang terjadi.

Bentuk lanjut dari evolusi ini adalah aturan main yang seharusnya tidak menakutkan lagi. Tidak bergigi karena ternyata aturan itu bisa dibeli. Aturan bahkan bagi orang yang tidak mampu membeli adalah penghalang. Trik orang-orang berkuasa untuk memperkaya diri. Ada kecenderungan bahwa semakin tidak aturan semakin aman sebuah daerah.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi pergeseran yang amat radikal terhadap anggapan orang mengenai sanksi ini. Dulu sanksi adalah aib dan orang yang terkena berusaha sebisanya menutupi, sekarang sanksi jadi gaya hidup.

Awalnya orang yang tadinya dikenai sanksi tidak bisa tidak harus masuk bui. Terpaksalah mereka mengikuti aturan main itu. Tetapi saat di dalam bui, dia mulai bermain.

Bila harus disel, maka ruang tahanannya ber-AC, TV dan komplit. Alat komunikasi juga boleh, apalagi makanan. Semuanya mungkin asal dia mampu membayar. Ini yang terjadi dengan tahanan kelas kakap, misalnya Tommy Soeharto. Penjara jadi benar-benar tempat untuk relaksasi.

Bahkan nampaknya penjara jadi tempat yang sangat efektif untuk berbisnis karena seorang yang mampu membeli fasilitas penjara ini tidak harus mengikuti ritual-ritual sosial yang melelahkan. Misalnya, di undang Gubernur ke satu acara, eh ndak tahunya harus menyumbang. Belum jatah ini itu.... terlalu banyak dan pemborosan.

Namun sekali lagi, keindahan hidup macam itu hanya akan diperuntukkan bagi mereka yang punya uang. Rakyat miskin jelata yang tak punya identitas dan pengaruh... yang akan memiliki kesengsaraan yang kian membesar seiring waktu.
Korupsi, Fragment dan SBY

Sekarang lagi musim penangkapan orang-orang terkenal karena dugaan korupsi. KPU menyumbang banyak. Yang terkenal dari KPU adalah Mulyana W Kusumah dan Nazzaruddin S. Bank Mandiri juga ikut menyumbang. Katanya sih akan ada penangkapan lainnya.

KPK, Kejaksaan Agung, Polisi sudah didukung Presiden, bekerjasama dengan banyak lembaga untuk mengumpulkan bukti. Sayangnya hingga kini tidak ada yang meyakinkan.

Dan hasil seperti itu sudah diduga oleh sebagian besar dari kita. Pasti semuanya akan bebas. Yang terjadi ini hanyalah fragmen satu babak, yang tak akan ada lanjutannya, kecuali para penonton - kita - meminta sambungannya.

Korupsi itu tidak akan lenyap dari bumi Indonesia. Bagi sebagian besar orang, korupsi banyak manfaatnya, ketimbang mudharatnya. Karena hingga detik ini tak ada orang yang bener-bener serius menghabisinya.

Bahkan media massa yang teorinya adalah kekuatan rakyat, watchdog, juga terlalu perhitungan dalam menyingkap praktik korupsi. Memang tidak semua media begitu, hanya saja paduan suara media cenderung melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

Praktik media seperti ini juga berlaku di semua kasus-kasus besar: Kerusuhan Mei, Pengadilan Soeharto - semua berakhir hambar karena seolah-olah tak ada pasal hukum yang dapat menjerat mereka.

Walhasil, fragmen ini hanyalah sekedar kisah tak penting...

Tapi ngomong-ngomong soal fragmen, sepertinya Pemerintah SBY sangat gemar memanfaatkan isu-isu besar untuk menjaga kepopuleran. Seperti bintang film Hollywood yang enggan pudar dan terus menghasilkan uang..