30 June 2004

Gengsi Manusia Unggul

Nietszche (entah ejaaan ini benar apa tidak) berkata seharusnya tujuan hidup setiap insan adalah menjadi overman. Ada yang menterjemahkannya jadi superman. Ada yang lain, saya tak ingat. Yang dia maksud dengan overman adalah ada di jiwanya, rohnya, spirit-nya, manusia yang memiliki the will to power; kehendak untuk kuasa. Kehendak ini bukan berarti seseorang harus menguasai orang lain. Kehendak di sini lebih pantas dipadankan dengan nafsu berkuasa. Dengan memiliki ini seseorang selalu menuntut dirinya untuk menjadi yang terbaik. Cara yang dipakai akhirnya adalah kerja keras. Apabila ada halangan di depannya, misalnya orang atau bahkan konsep, seperti tercermin dalam kebenaran agama atau adat istiadat, dia harus mengatasinya. Apapun resikonya, termasuk menghancurkan persepsi yang sudah tertanam di dalam benaknya. Ini pengertian saya, karena sejujurnya, saya tak yakin saya mengerti seluruh tulisan Nietszche ini; saya pikir saya mengerti sepotong-sepotong saja. Jadi, ya.. harap maklum.

Hanya saja, konsep overman Nietszche memang gampang sekali diartikan sebagai dorongan manusia untuk menguasai orang lain, apapun caranya. Karena dengan memiliki kuasa atas orang lain, orang jadi punya hak untuk menentukan mana yang sah dan mana yang tidak, orang jadi terpandang, dihormati sesama dan memiliki kemungkinan untuk menjadi kaya raya.

Ini yang terjadi di Indonesia. Seiring dengan kekuasaan yang mereka miliki, banyak anggota legislatif yang kerasukan nafsu menjadi kaya. Mau bukti? Baca saja koran....

Persoalan yang perlu ditengok mungkin pada motif mengapa orang cenderung begitu. Menurut saya, kultur Jawa menyumbang gagasan dominan terhadap perilaku ini. Di Jawa, orang yang memiliki kekuasaan HARUS kaya. Jika tidak kaya, maka dia harus cari, bagaimanapun caranya.

Contoh mutahir adalah PP No 37/2006. Peraturan ini akan semakin memperkaya para anggota DPR/D dan memiskinkan rakyat. Lucunya, setelah "agak" sedikit ada keramaian, semua pejabat jadi bingung: siapa sih yang ngeluarin peraturan ini, tak ada yang mengaku dengan jantan. Parpol juga bersuara: ada yang setuju ada yang menolak. Padahal ini kan cuma pura-pura saja. Hare genee siapa yang nolak duit, apalagi politisi!

Dan suara-suara orang protes menjadi kebrisikan biasa saja, yang bakal capai sendiri atau akan diam bila disumpal mulutnya. Di lain pihak, media massa sepertinya tak bernafsu untuk mengangkat isu dengan lebih kontinyu, entah karena alasan malas atau memang ada berita lain yang lebih menarik, misalnya pertengkaran SBY dengan gerombolan pensiuanan TNI AD, yang tidak pernah kehabisan akal dalam merengkuh kekuasaan, bukan untuk menjadi seorang overman, tetapi yaitu tadi: gengsi doang!

Dan sekali lagi, rakyat adalah pihak yang kalah.

29 June 2004

Orang Pintar Dan Korupsi

Cawapres PDIP, Hasyim Muzadi, mengatakan kekayaan negara banyak di korupsi orang pintar (Bisnis Indonesia, 29 Juni 2004). Lengkapnya adalah sebagai berikut: Banyak orang pintar di Indonesia namun pekerjaannya tidak benar karena tidak berakhlaq dan tak beriman, sehingga kekayaan negara banyak dikorupsi. Para orang pintar itu bekerja-sama sehingga korupsi tak bisa diberantas.

Hasyim Muzadi bukan orang pertama yang bilang begitu. Saya mendengar kesimpulan serupa pertama kali dari para transmigran di Kalimantan. Masyarakat pedesaan terpencil di Jawa juga bilang begitu. Jadi, ungkapannya bukan hal baru.

Namum bukan itu yang menarik perhatian. Pernyataan itu akan menarik jika dikaitkan dengan standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) anak-anak SMP dan SMU. Kisahnya dimulai ketika Depdiknas menetapkan nilai minimum untuk lulus adalah 3.01 kendati para ahli pendidik mengingatkan untuk menetapkan angka yang lebih rendah. Walhasil, para peserta UAN mayoritas hanya bisa menjawab 12 hingga 16 soal dari 40 dan 50. Artinya, nilai rata-rata yang diperoleh kebanyakan peserta UAN adalah 2,01. Akibatnya, lebih dari 70% siswa-siswa itu tak lulus ujian.

Untuk mengatasi ini Depdiknas mengeluarkan aturan standardisasi itu. Maksudnya mereka yang mempunyai nilai rendah, dikatrol sedemikian rupa sehingga mencapai ambang minimal standar kelulusan. Sebaliknya, mereka yang nilainya tinggi diturunkan sedemikan rupa sehingga kelihatan pantas. Artinya, mereka yang memperoleh nilai "cukup" harus turun menjadi "kurang", dan mereka yang bernilai "baik" harus turun menjadi "cukup". Ini semacam subsidi silang bagi mereka yang bernilai "tak lulus" menjadi "kurang".

Banyak yang protes. Khususnya siswa-siswi yang belajar mati-matian untuk lulus. Karena standardisasi ini membuat usaha mereka sia-sia. Sementara di lain pihak, mereka yang tak bekerja keras, malah dikasih bonus. "Sungguh tidak adil!" mereka menjerit.

Adakah ini usaha untuk mendemokratisasi kebodohan? Tujuan, bukan lain, untuk mencegah peyebaran korupsi. Logikanya, karena begitu bodohnya orang Indonesia, sampai tidak bisa berpikir untuk korupsi. Ini mungkin efek lain dari pernyataan Hasyim Muzadi tadi.

Jadi pemberantasan korupsi salah satunya adalah dengan membodohi masyarakat kebanyakan sehingga korupsi tak nampak jadi budaya. Biar korupsi dilakukan oleh orang-orang pintar saja, toh jumlah mereka sedikit, sehingga kelihatannya korupsi hasil dari "oknum" anggota masyarakat.

Negara kita memang benar-benar ajaib!

28 June 2004

100 hari

Ini adalah rentang waktu yang biasa digunakan, baik oleh pengamat politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, serta bidang kemasyarakatan lain dan juga oleh para politisi untuk mengukur keberhasilan sebuah program politik. Gampangnya, capres Wiranto berjanji dalam 100 hari akan menaikkan gaji guru. Hamzah Haz berjanji memberantas KKN, dan capres-capres lain saya tak ingat janjinya.

Bukan itu yang saya ingin bahas, melainkan waktu 100 hari itu. Phileas Fogg, tokoh rekaan Jules Verne, dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari, masih tersisa 20 hari. Di budaya Jawa, bahkan ada kisah yang lebih dramatis. Seorang putri bernama Rara Jonggrang bersedia menikah dengan Bandung Bondowosa asalkan dibangunkan 1000 candi dalam semalam. Bondowosa berhasil dengan menjadikan si calon istrinya candi ke seribunya.

Konteks mana yang dapat kita pakai untuk memperkirakan apa yang bakal terjadi dengan janji para capres itu? Dalam kedua kisah, si tokoh mendapat halangan macam-macam. Fogg, harus menyebrangi bukan hanya benua dan negara saja, dia juga harus melintasi budaya yang tak mengerti nafsunya. Dia juga harus menghindar kejaran polisi. Akhirnya, berhasil tanpa ada seorang yang mati.

Lain dengan Bandung Bondowoso. Selama 2/3 malan dia bekerja tanpa halangan. Baru ketika dia memasuki sisa 1/3 malam, dia diganggu oleh anak-bauh Roro Jonggrang yang memukul alat penumbuk padi supaya para ayam jantan berkokok. Bandung memang sangat terganggu dan hampir gagal, tetapi dia akhirnya berhasil dengan merapal mantra menjadikan Jonggrang jadi batu. Berhasil, tapi gagal.

Jika merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh dua presiden terakhir, 100 hari cuma bualan saja. Kedua presiden, Gus Dur dan Megawati, tak memberikan sesuatu yang berarti dalam rentang waktu itu. Gus Dur, dalam derajat tertentu, berhasil membangkitkan semangat kita untuk berpikir merdeka. Dia berhasil, walau gagal mempertahankan jabatannya. Mega, hingga hari ini, berhasil membuat kita sedikit nyaman, tetapi hasilnya, kita harus tunggu hingga pemilu 5 juli nanti. Keduanya tak mencapai itu dalam 100 hari. Jadi, waktu selama itu bukan hal yang penting.

Sebab, terlalu banyak yang harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum dapat menetapkan waktu. Fogg tahu dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari karena moda transportasi telah ada. Bondowoso mau memenuhi permintaan Jonggrang karena dia tahu dia akan didukung oleh pasukan jin-nya. Lah sekarang, para presiden itu akan didukung oleh apa?

Ambil contoh janji Hamzah Haz meludeskan KKN. Maka dia harus mengubah mentalitas orang Indonesia apapun agamanya, menghancurkan struktur pemiskinan massal yang sudah begitu permanen, mencari sumber uang yang dapat mengimbangi rasa lapar dan lapar akan rasa hormat, membentuk aparat polisional: polisi dan jaksa yang berdedikasi dan meyakinkan masyarakat semua bahwa kerja itu bukan miliknya saja. Bila keadaan ini terpenuhi, baru dia bisa menentukan tanggal. Ataukah dia akan menyiapkan segala ini dalam 90 hari, dan menghabisi KKN dalam 10 hari berikutnya? Sungguh.... sebuah janji nan memilukan!

Tetapi tak apa juga toh kita orang Indonesia juga sudah terbiasa mendengar orang-orang berkata sesuatu dengan maksud sesuatu yang lain. Ini namanya sopan santun, tepo seliro dan musyawarah untuk mufakat.

Sehingga, mungkin lebih baik menonton film 30 hari mencari cinta yang ternyata juga menyajikan kegagalan, tanpa harus ada yang mati!

..........

25 June 2004

Asap

Sejak tahun 1997, pas krisis menghantam Indonesia, asap dari kebakaran hutan di Indonesia telah terbang hingga ke Singapura dan Malaysia. Sejak tahun itu, asap jadi problem serius bagi kedua negara tadi. Dari tahun ke tahun, kedua negara tadi 'membantu' Indonesia memadamkan kebakaran hutan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan.

Bantuan mereka mungkin karena merasa bertanggung jawab juga sebab kedua negara tadi adalah asal cukong yang mendanai penebangan hutan di Indonesia. Bahkan jaringan cukong ini telah begitu kuatnya di Kalimantan, sampai-sampai petugas penjaga ketertiban di sana, polisi, aparat pemerintah daerah dan juga kepala adat di sana, jadi kawan mereka. Mungkin dalam konteks inilah pernyataan Hamzah Haz, wakil presiden RI dapat dimengerti. Di harian Koran Tempo, Hamzah dikutip seperti ini: "Jelas mereka kena. Tapi kan banyak kayu yang dilempar dari sini jatuh ke Malaysia dan Singapura."

Pernyataan ini mungkin tak sepantasnya keluar dari mulut orang nomer dua di negara kita itu. Mungkin akan lebih elok bila Hamzah agak diplomatis. Kendati tak dipungkiri juga, pernyataannya juga merupakan 'jeritan' sebagian besar rakyat Indonesia terhadap perilaku kedua negara yang sepertinya benar-benar memanfaatkan ketidakberdayaan Indonesia.

Tidak berdaya? Iyalah. Lihat bagaimana ribuan TKI bertekad bulat bekerja di kedua negara tadi, dan kemudian dicap sebagai pendatang haram di Malaysia. Lihat juga perlakuan para majikan di Singapura sebagaimana nampak dalam nasib TKI Nirmala Bonet. Lihat bagaimana Singapura berkongkalikong menenggelamkan pulau-pulau di Kep. Riau. Lihat bagaimana Malaysia berlagak pilon mendiamkan penyelundupan kayu dari Indonesia ke Malaysia.

Adakah ungkapan tadi kecemburuan, tak mau merasa kalah, atau semacam ultra-nasionalisme? Tak tahulah... dan mungkin juga tak penting...

Yang pokok, kita ini memang paling spontan dalam mencari kambing hitam. Sekali ada pihak yang 'kelihatannya' dapat disalahkan, langsung saja kita dengan sangat terlatih dan fasihnya menghajar pihak itu. Memang dalam kasus asap ini, Malaysia dan Singapura juga salah. Tetapi harus diingat juga, pangkal kesalahan ada di kita sendiri.

Saya jadi ingat seorang kawan, yang selalu bernyanyi untuk mengusir asap tiap kali ber-api-unggun-an: Asap, sana, sana, Ibu beli daging, sana, sana

Entah apa sebenarnya maksud syair itu, tetapi kadang-kadang, nyanyiannya berhasil mengusir asap.

24 June 2004

Kampanye Negatif

Ini adalah penafsiran lebih jauh dari istilah bahasa Inggris, black campaign. Koran Tempo menterjemahkannya jadi kampanye gelap. Ada yang menyebutnya kampanye hitam. Kesemuanya merujuk pada aktivitas seseorang atau kelompok orang membuat kabar atau berita yang tidak benar mengenai seseorang. Dalam kaitan kampanye presiden kali ini, misalnya ada fax yang dikirim dari kantor kampanye Amin Rais ke seluruh penjuru dunia berisi informasi palsu tentang SBY. Saya yakin, ini seperti kata pepatah, melempar satu batu, dua tiga burung mati.

Yang menarik saya adalah istilah kampanye negatif yang jadi judul opini Media Indonesia. Harian ini membuka opini dengan menyepadankan kampanye presiden dengan penjual obat pinggir jalan yang menjajakan produknya paling bagus, tanpa cacat dan tak berefek samping. Para capres juga begitu, menjual mimpi dengan sangat berlebih-lebihan. Semuanya baik dan mungkin. Nah, kampanye negatif adalah apabila ada orang yang menampilkan fakta lain, yang tidak positif, dari setiap capres ke publik. Ini dapat dikategorikan penghinaan dan perbuatan yang tidak menyenangkan, sebab itu bisa dikenai hukuman penjara.

Tetapi, Media Indonesia menggarisbawahi bahwa kampanye negatif baik sepanjang hal itu digunakan untuk mengungkapkan perjalanan hidup si para calon capres. Sebab, informasi yang utuh ini dapat digunakan oleh rakyat untuk menentukan pilihannya. Ada yang dirugikan nggak? Ya, si capres itu semua. Tentu wajar jika orang marah, sedih, kecewa, trauma, saat aib masa lalunya diotak-atik. Apalagi jika orang itu mati-matian menjauhkannya dari mata publik.

Duh... pusing. Menurut saya, kampanye presiden Indonesia - hakikatnya - adalah negatif. Para capres secara tak langsung mengorbankan rakyat. Jadi... tak tahu saya mau menulis apa lagi......

Pusiiiingggggg.....

16 June 2004

Meramalkan Bunuh Diri

Anak usia sekolah dasar belakangan hari ini banyak yang bunuh diri. Ada yang gagal dan berhasil. Penyebabnyapun aneka. Misalnya, Miftahul Jannah, 15 tahun, gantung diri karena diduga dirinya tak punya uang untuk ikut study tour sebagai perayaan kelulusan sekolahnya. Profil Mitha, begitu dia dipanggil, adalah anak sebatang kara yang sejak kecil tinggal bersama kakek dan neneknya akibat perceraian orang tuanya. Karena ini, dalam kesehariannya, Mitha adalah seorang pemurung penyendiri yang mungkin minder berkawan dengan teman sebayanya.

Heryanto, anak 12 tahun, mencoba bunuh diri karena tak mampu membayar Rp.2,500 biaya ketrampilan di sekolahnya. Yanto merasa malu ketika gurunya tetap menagih uang itu, sementara orang tua Yanto tak mampu memberinya. Jangankan uang sekolah, makan sehari-hari saja mereka masih kepayahan. Harap dimaklumi sebab Yanto adalah salah satu anak miskin dari sembilan juta keluarga miskin di Jawa Barat.

Orang dewasa juga banyak yang bunuh diri. Alasannya: tak ada yang pernah mengerti pasti. Hanya saja, mereka yang bunuh diri rata-rata berpenghasilan kecil. Sebab itu, sepintas lalu alasan ekonomi ini jadi latar belakang yang masuk akal orang lain bagi tindakan mereka. Tapi pada kenyataannya, tidaklah semudah itu. Ekonomi hanya salah satu dari ribuan alasan.

Terlepas dari itu, ada 62 orang bunuh diri di Jakarta di tahun 2003. Di pulau Bali, dari 30 orang yang mencoba bunuh diri, 20 di antaranya tak terselamatkan.

Bunuh diri sepertinya jadi solusi yang baik untuk beragam persoalan. Jika memantau pemberitaan koran di Batam, berbagai alasan bunuh diri ada di situ: ada yang berhutang, seorang pembantu nekad bunuh diri karena takut dimarahi majikannya sehabis pergi ke diskotik, seorang wanita mudah bunuh diri karena pacarnya mangkir. Mereka lari dari apa? Kemiskinan, kesumpekan-hidup atau patah hati?

Terlepas dari itu, gejala bunuh diri yang semakin banyak ini dapat diduga karena runtuhnya pijakan agama dan budaya. Khusus dalam Islam, manusia yang bunuh diri dilaknat masuk neraka. Sementara para kyai atau guru agama yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" akhlaq dan ajaran Islam, sedang asyik masyuk berpolitik dan menelantarkan umatnya. Apalagi dalam berpolitik, para pemuka agama ini membuat pernyataan yang aneh-aneh. Dan perilaku ini dengan sendirinya menghancurkan kredibilitas mereka sebagai orang yang bijak dan tak memihak. Para pemuka agama bukanlah tujuan umat mencari nasihat lagi.

Seiring dengan itu, tercipta standar hidup baru. Umumnya standar ini dibuat di kota-kota besar. Standar ini biasanya sangat sulit dipenuhi oleh orang-orang yang tidak tinggal di kota. Apabila orang pedesaan ini mau memenuhi standar, maka ia harus ke kota, atau setidaknya berlagak layaknya orang kota. Penerapan paling khas dari standar baru ini adalah gaya hidup, yang tercermin antara lain dalam berbusana. Akibatnya, orang desa yang dulunya sudah tertinggal, makin dalam jatuh ke dalam jurang perbedaan.

Bagaimana standar baru ini bisa sampai ke mata, telinga dan pikiran orang desa. Tentu saja karena TV. Karena persaingan begitu kerasnya, stasiun tv berlomba membangun stasiun pemancar untuk menjangkau seluas mungkin wilayah Indonesia. Saya yakin, mungkin sekarang hanya sedikit blank-spot yang tertinggal di negara kita ini.

Dalam caranya memenangi perlombaan, stasiun tv terpaksa harus membuat standar logika baru, yang sialnya, diturunkan hingga ke standar paling rendah. Efek dari ini adalah penyeragaman audien. TV sekarang adalah ganti kyai yang sudah menelantarkan umatnya. TV adalah panduan gaya hidup, bertingkah laku dan guru spiritual sekaligus.

Bagaimana TV menyikapi ini? Sepertinya sih acuh tak acuh. Yang terpenting bagi TV adalah acara yang mereka buat menyerap penonton yang pada akhirnya mengundang iklan, atau uang. Mengenai efek dari acara itu, TV tak terlalu peduli. Apabila penontonnya mampu menerima logika TV itu dengan cerdas, ya syukur, kalau tidak ya... tanggung sendiri.

Nah, terkait dengan bunuh diri, semua TV menyajikan acara kriminal. Seluruh tindak kriminal sekarang sah masuk ke TV. Dari pencurian biasa hingga pembunuhan. Lokasinya bisa di desa terpencil hingga metropolitan. Telah terjadi demokratisasi tindakan kriminal. Dalam genre acara ini, perbuatan yang merenggut nyawa diri sendiri juga boleh masuk. Secara tak langsung, ini jadi model tindakan bagi masyarakat umum. Coba saja sekarang teliti, peningkatan tindakan kriminal di seluruh Indonesia dan tingkat bunuh diri. Kendati perlu penelitian lebih lanjut, saya berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia adalah peniru model perilaku di TV.

Kendati menggarisbawahi TV sebagai salah satu penyebab bunuh diri, saya bukan menunjuk TV sebagai penyebab utama. Bahkan, kebanyakan pakar sosiologi dan psikologi berpendapat tak ada sebab dominan dalam tindak bunuh diri. Umumnya penyebab bunuh diri adalah kombinasi berbagai faktor personal dan sosial.

Karena bisa dihitung, sebenarnya bunuh diri juga dapat diramalkan. Sebab perkembangan personal selalu terkait dengan lingkungan di mana seseorang tinggal. Jadi, seiring dengan perbaikan lingkungan (maksudnya bukan lingkungan hidup, seperti hutan, binatang dst-nya saja), maka tindakan bunuh diri bisa berkurang.

Dan para pemuka agama adalah juga bagian dari lingkungan yang harus diperbaiki... entah itu diganti dengan orang yang lebih peduli dan bijak, entah itu dihilangkan saja perannya...



15 June 2004

Nurani

Hampir semua calon presiden menganjurkan rakyat untuk memilih dengan hati nurani. Apa itu? Nurani, atau hati nurani mungkin sepadan dengan istilah Inggris conscience. Kata itu sering dibayangkan sebagai moral faculty, sense, or consciousness which prompts the individual to make right choices. (free-definition.com). Dalam konteks anjuran para capres, rakyat diminta secara langsung untuk memilih mereka yang mengeluarkan anjuran itu. Jadi apabila Wiranto berkata, "Pilihlah dengan hati nurani", maksudnya adalah permintaan untuk memilih dirinya. Demikian juga apabila SBY, Amin Rais berkata sama.

Tetapi bila kita kaji definisi nurani lebih dalam, ada kata moral di sana. Moral sendiri gampangnya adalah baik, buruk, tepat dan tidak tepat. Sedangkan kategori-kategori itu lebih sering ditentukan oleh lingkungan. Jadi ada satu tindakan yang dulu buruk, sekarang baik, dulunya tepat sekarang tidak tepat. Singkatnya moral berubah-ubah sesuai pengetahuan yang lagi ngetrend saat itu. Dulu, pria pantang ke salon, sekarang pria yang tak ke salon, dianggap kampungan. Akibatnya, nurani juga berubah-ubah.

Dan itu wajar saja. Sebab kata Oscar Wilde, "Kebanyakan orang adalah sama. Isi benak mereka adalah orang lain. kehidupannya hanya mimikri (tiruan), dan semangatnya cuma sebuah pengulangan." (Koran Tempo, 13 Juni 2004). Memang agak menyepelekan, tapi begitulah kenyataannya. Apalagi kenyataan di dunia saat ini ditentukan oleh media massa. Media massa membuat tontonan berdarah dan hantu-hantu, maka ada anak kecil yang mogok sekolah karena dia takut di luar sana ada orang jahat yang siap sedia merampas kebebasan dan harta bendanya. Iklan anti ketombe datang bertubi-tubi dan membuat baju warna hitam tak laku dipakai. Ini telah jadi knowledge (saya mau menterjemahkannya menjadi pengetahuan, tapi kok aneh) seseorang yang akhirnya mempengaruhi sistem kepercayaan seseorang. Bila dikaitkan dengan keseluruhan paparan di atas, maka seseorang sebenarnya terperangkap dalam nuraninya sendiri. Lucunya, Amnesty International sampai-sampai menciptakan frasa Prisoner of Conscience bagi orang-orang yang tidak bisa menjalankan kepercayaannya. Dengan kata lain organisasi itu menguatkan orang untuk selalu terperangkap.

Mengapa begitu? Ya karena dengan mengenali nurani seseorang, maka orang lain akan dengan mudah meramalkan tindakan orang lain. Atau setidaknya ya... memberi label bagi bagi sebuah tindakan. Atau dengan kata lain, memberi nilai moral terhadap sebuah tindakan. Misalnya, meludah di gedung milik pemerintah Amerika Serikat akan dikenai pasal anti-terorisme. Dalam bahasa Immanuel Kant, banyak kategori imperatif diberikan kepada aneka tindakan. Siapa pemberi nama tindakan itu? Ya... rejim kebenaran yang berlaku saat itu. Artinya adalah bahwa tiap orang akan punya kekuasaan untuk memberi nilai moral terhadap orang lain. Bisa jadi suami ke istri, boss ke anak buah, satpam ke para pengunjung mall, dst. Dari mana mereka punya kuasa itu? Ya dari nurani yang sudah dibentuk oleh media massa tadi.

Jadi hingga saat ini tak ada seorang yang punya pemikiran original atas nuraninya sendiri. Manusia adalah orang yang tidak merdeka. Jadi agak membesar-besarkan juga andaikata ada orang berteriak, "Saya orang merdeka yang bebas menyatakan pendapat saya, kapan saja saya mau, di media apapun yang saya sukai". Absurd. Tapi biar begitu, orang masih saja menyangka dirinya adalah individu yang independen. Dalam logika lain, manusia masih percaya pada absurditas. Kalaupun tak percaya, ya setidaknya mengakui absurditas itu ada dan dia tak berbuat apa-apa. Kalaupun mau berbuat, dia tak bisa, karena dia telah jadi anggota rezim kebenaran yang mengagungkan retorika kebebasan. Dan, apabila ini berlanjut, kata Voltaire, manusia terus akan meyakini kekejian. Nyatanya begitu.

Maka dari itu, semakin sedikit kategori imperatif yang kita yakini, semakin merdeka. Dulu saya pernah denger Emha Ainun Najib ceramah dan dia berkata semakin sedikit peraturan yang kita ikuti semakin bebaslah kita. Kalau diterapkan semakin jauh, semakin tak bermoral dan tak berhati nurani, semakin merdekalah manusia. Dan orang-orang seperti itu dikenali oleh berbagi kebudayaan dunia sebagai "orang gila".

Tetapi karena gila, ya terserah dong.... seperti Zarathustra!








11 June 2004

Melodramatic

Padanan kata Indonesianya saya tak tahu persis, lha wong definisi Inggrisnya saja saya juga ragu artinya. Yang saya tangkap, segala aktivitas di atas panggung yang menguatkan kesan dramatis. Jadi kalau mau digampangkan, ya... mendramatisir!

Drama jadi menarik apabila cerita yang dipentaskan mengenai konflik: dua kerajaan berperang, konflik bapak anak, konflik percintaan. Dalam konflik, ada dua peran penting yang membuat cerita itu jalan, yakni yang baik dan yang jahat. Dalam film-film Holywood, Bollywood, Indonesiawood juga begitu. Penjahat menang dulu, yang baik menang setelah menderita sepanjang film dan melatih keahlian: main pedang, ilmu silat, komputer, bikin bom, kursus jadi model, dst-nya.

Saya pikir ini adalah metode umum yang bias kita pakai sehari-hari untuk mengenali realitas. Misalnya, si A baik, si B jahat. Karena sopan santun, kita biasanya menyebut si jahat dengan "kurang baik" atau "cukup jahat". Kita selalu berbelok-berbelok dan memilih cara tak langsung untuk mengatakan kejujuran karena takut si obyek pembicaraan tersinggung, marah dan kemudian membalas dengan lebih keras dan merugikan kita sendiri. Tapi bukan itu yang saya bahas.

Melodramatis. Sekarang ini lagi kampanye presiden. Setiap capres dan cawapres nampaknya berusaha keras ditampilkan oleh media sebagai "korban". Penyebabnya mungkin sukses SBY menjadikan dirinya korban kedzaliman Megawati, melalui pernyataan yang dibuat Taufik Kiemas dan Sekretaris Kabinet. Media massa membesar-besarkan ini dan yang diuntungkan SBY. Hasilnya, dia populer dan Partai Demokrat punya suara banyak.

Sekarang, Megawati berusaha memposisikan diri sebagai korban dari pernyataan para kyai yang mendukung Wiranto dan Salahuddin Wahid. Para kyai bilang "haram" presiden perempuan. Segera saja, orang lain yang punya pendapat lain dengan kyai di-blowout oleh media dan Megawati diuntungkan.

Tetapi, yang kelihatannya mati-matian berusaha menjadikan dirinya korban adalah Wiranto. Dia memposisikan diri sebagai orang lemah yang melakukan sebisanya untuk menjaga negara apabila ada tuduhan tentang keterlibatannya di masa lalu dalam kerusuhan Mei 98 atau Timor Timur. Tetapi, dia memposisikan diri jadi orang yang bakal kuat untuk memimpin masa depan Indonesia. Hasilnya, untuk orang-orang berpendidikan tinggi dan tinggal di kota, kampanye itu tak berefek maksimal, tetapi di desa-desa, kampanye itu mungkin memperkuat posisinya.

Sayangnya, sebagian besar rakyat Indonesia yang sebenarnya jadi korban kebijakan negara, baik langsung atau tidak langsung, tanpa akting dan membuat-buat, tak memperoleh simpati dari mana pun. Kalaupun ada perhatian dari para capres dan cawapres, atau organisasi non-laba asing maupun domestik, itu hanya usaha mereka untuk mencari kesan baik, kurang kerjaan dan bahkan jadi mata pencaharian.

Siapa yang peduli sebenarnya?


09 June 2004

Rasa Malu

Dari mana datangnya? Saya mencoba mencari tahu dengan berkeliling di internet. Ada yang menulis lebih baik mengenali malu dengan cara menggandengkannya dengan kata cemas. Resikonya, kita akan terjebak pada debat kusir seperti dalam kasus "telur sama ayam duluan mana?" Terkadang rasa malu timbul terlebih dulu dan akhirnya membuat cemas yang nampak dalam ekpresi bahasa tubuh; dan sebaliknya kelihatannya kecemasan muncul dulu dan menyebabkan seseorang jadi malu. Dalam keduanya ada situasi eksternal yang mempengaruhi si pemilik rasa malu. Jadi rasa malu itu adalah perasaan tak nyaman ketika: berada di antara orang banyak, berbicara dengan orang lain dan meminta tolong orang lain (www.wordiq.com)

Rasa malu biasanya melekat pada anak kecil. Ia malu ketemu orang lain. Semakin dewasa anak, rasa malu itu akan berkurang, apalagi jika seseorang merasa nyaman di dalam situasi yang dihadapinya. Kendati demikian, tiap orang dewasa punya tendensi untuk merasa malu.

Rasa malu bisa menjadi bagus, bisa juga tidak. Rasa malu bisa jadi pangkal segala perbuatan bajik, karena ia mencegah orang untuk berbuat seenaknya sendiri. Seorang jadi punya kontrol atas dirinya sendiri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan mendeskreditkan namanya.

Rasa malu juga bisa memicu tindakan kriminal. Misalnya ada seorang perempuan yang hamil di luar nikah, janinnya coba digugurkan, atau membunuh bayinya begitu terlahir. Padahal janin atau bayi itu hanyalah sekedar hasil dari perbuatan yang tidak malu-malu. Jadi yang harus dihabisi bukan janin atau bayi itu, melainkan rasa tidak malu-malu ketika melakukan persetubuhan. Logika ini juga bisa diterapkan untuk kasus korupsi: saat melakukannya tak malu, tapi begitu dihukum malu, orang tua malu apabila anaknya tak naik kelas karena masyarakat akan menganggap anaknya tak pandai atau bengal, tetapi tidak malu ketika anaknya tidak belajar sebab masyarakat tak tahu anaknya tak belajar (Oleh: Margaretha Sih Setija Utami)

Rasa malu juga dapat menyebabkan orang jadi fatalis. Misalnya, Tupiyanti (25), seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di plafon rumah kontrakannya, disaksikan anak satu-satunya di Kampung Cibeurih, Desa Galumpit, Kecamatan Plered, Purwakarta, Selasa (24/2). Anak sekecil itu dipaksa untuk melihat sang ibu yang meregang nyawa secara perlahan. Penyebabnya diduga Tupiyanti tak kuat menahan malu lantaran terus-terusan ditagih utang sebesar Rp 50.000,00 (kolom tajuk Pikiran Rakyat).

Bila disimpulkan, rasa malu terkait dengan ruang privat dan ruang publik. Seseorang tak akan merasa malu apabila dia berada di situasi personal yang ia kuasai sendiri; sebaliknya orang akan malu apabila dia berada di situasi yang disangkanya dapat membuka tabir hidup personalnya. Itu sebabnya, sepasang kekasih bermesraan tak malu, tetapi malu ketika si perempuan hamil di luar nikah.

Nah, bagaimana apabila orang yang seharusnya malu malah tak malu. Misalnya, seorang artis membuka tabir pakaian dalamnya di media publik. Atau, ketika Akbar Tanjung langsung memimpin delegasi DPR berkunjung ke luar negeri padahal dia baru saja dikenai hukuman tiga tahun. Wah, kalau ini sekarang sedang trend di Indonesia. Budaya tak tahu malu. Jadi, tak heran pula situasi Indonesia kacau balua sebab orang sudah tak punya kontrol atas perbuatan baik-buruk, benar-salah. Motivasi terpenting dari tindakan manusia Indonesia saat ini adalah - dalam istilahnya Darwin - "survival of the fittest". Hukum rimba!

Adakah yang masih memiliki rasa malu di antara kita? Menurut saya, sebaiknya malu dikeluarkan saja dari kamus Bahasa Indonesia, sebab itu membuat orang Indonesia jadi tak sederajat. Misalnya ada orang yang korupsi trilyunan tanpa malu-malu, tetapi ada orang yang bunuh diri gara-gara uang lima puluh ribu.

Sepertinya kacau banget nih negara kita ya?

08 June 2004

Milih presiden

Tibalah pada tanggal 5 Juli 2004. Penduduk yang punya kartu pemilih mendatangi TPS. Di salah satu TPS ada seorang pemilih yang telah masuk ke bilik sekitar lima menit keluar lagi dengan wajah marah, lalu berteriak, "Kertas suara ini salah cetak. Masak tak ada namanya Siswono Yudhoyono1"

Pada giliran lain, ada seorang pemilih yang begitu lama di dalam bilik tak keluar-keluar. Karena sudah melebih waktu wajar, petugas PPS mendatangi bilik, lalu dari luar bilik ia berkata:
PPS: Sudah, pak
Pemilih (agak gugup): bentar, sebentar lagi, mas
PPS: jangan lama-lama pak
Pemilih: baik, mas
Satu menit berselang, si pemilih keluar, tersenyum ke petugas PPS dan dengan terburu-buru menuju kotak suara. Karena begitu tergesa, ia tersandung, dan gedubrak. Ia terjatuh, dan berserakanlah pensil warna di sekeliling tubuhnya yang terjerembab itu. Sementara kertas suaranya meski tak terbuka semua, menyembul gambar wiranto sudah berwajah merah dan berkumis. Orang lain pada senyum-senyum saja. Karena mereka yakin, bukan cuma wajah wiranto yang berubah, tetapi semuanya, sebab si pemilih tadi ada di bilik lebih dari 20 menit!

Ada satu peristiwa lagi. Seorang ibu menunggu giliran mencoblos. Di beberapa lokasi di sekeliling TPS ada alat peraga. Ia berkomentar. "Kenapa presiden sama wakilnya fotonya di kotak sendiri-sendiri. Kan lebih bagus kalau mereka fotonya berpelukan, kayak teletubbies." Mungkin usulnya juga dapat menghemat ongkos cetak.

Ah... sebel!



02 June 2004

Kita yang harus selalu jadi korban


Sial bener deh kita ini anggota masyarakat biasa yang tak tahu dengan pasti mengapa harga-harga kebutuhan pokok naik. Kata pemerintah, pengamat ekonomi dan orang-orang yang pandai-pandai itu penyebabnya adalah harga minyak mentah naik terus dan nilai rupiah yang semakin lemah menghadapi dolar. Saya tidak tahu hubungannya bagaimana, apalagi untuk harga minyak mentah. Semua orang bilang Indonesia kaya raya akan sumber minyak, karenanya seharusnya senang dong dengan kenaikan harga minyak, sebab kita bisa menangguk untung berlipat. Tetapi, belum-belum si menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menegaskan kenaikan harga minyak mengakibatkan subsidi BBM naik dan anggaran belanja juga harus naik. Sumpah mati saya tak mengerti logika ini. Bukankah dulu tahun 70-an, Indonesia kelimpahan untung begitu banyak ketika harga minyak naik, dan keuntungan itu sebagian untuk membangun negara dan sebagian dikantongi Soeharto, militer dan kroninya. Kok sekarang tak bisa? Mengapa?

Kalau nilai tukar rupiah melemah melawan dolar, saya sedikit mengerti. Misalnya, tempe dibuat di Indonesia. Bahan mentahnya, yakni kedelai diimpor dari sebuah negara di Amerika Selatan. Membayarnya dengan dolar Amerika. Kedele itu diolah lalu dijual dalam rupiah. Pabrik tempe mengambil untung dari selisih nilai dolar dan rupiah itu. Apabila dolar naik, maka selisih semakin kecil. Dia masih dapat untung jika tetap menjual dengan harga sekarang. Hanya saja setelah itu dia akan bangkrut sebab keuntungannya tak cukup untuk beli kedele yang dijual dalam dolar AS. Oleh sebab itu, harga tempe harus naik. Demikian juga harga-harga barang konsumsi yang masih menggunakan bahan baku impor.

Persoalannya adalah sebagian besar sembako masih membutuhkan impor. Beras, diimpor. Minyak goreng masih menggunakan bahan campuran yang diimpor. Pakan ternak juga. Mi instan juga perlu gandum impor. Jadi semuanya naik. Sudah tahu begini, pemerintah kelihatannya juga tak mencoba mengatasinya. Kita seperti semut yang akan mati di timbunan gula. Tanah kita yang subur ternyata tak mampu menumbuhkan segala kebutuhan kita. Kita harus beli dari tanah lain.

Nah, di tengah-tengah ini ada kampanye presiden. Entah apa yang akan mereka janjikan untuk mengatasi hal-hal mendasar seperti ini. Saya yakin apapun janji mereka untuk mengatasi persoalan ini tak ada yang dapat dilaksanakan sebab aturan main yang berlaku saat ini adalah aturan yang tak dibukukan dalam undang-undang. Mereka bisa berhasil mengatasi masalah ini jika mereka memakai cara yang tak terdapat dalam undang-undang juga.

Kalaupun mereka mau pakai undang-undang, maka mereka harus menggunakannya dengan saklek. Hanya ada intepretasi tunggal atas sebuah perundangan, tak ada kompromi. Itu pun baru akan jadi sebuah contoh, belum tentu akan jadi sistem yang akan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.

Contoh akan jadi sistem apabila terus menerus dilakukan, dan bukan hangat-hangat tai ayam!

Begitu dah!