02 June 2004

Kita yang harus selalu jadi korban


Sial bener deh kita ini anggota masyarakat biasa yang tak tahu dengan pasti mengapa harga-harga kebutuhan pokok naik. Kata pemerintah, pengamat ekonomi dan orang-orang yang pandai-pandai itu penyebabnya adalah harga minyak mentah naik terus dan nilai rupiah yang semakin lemah menghadapi dolar. Saya tidak tahu hubungannya bagaimana, apalagi untuk harga minyak mentah. Semua orang bilang Indonesia kaya raya akan sumber minyak, karenanya seharusnya senang dong dengan kenaikan harga minyak, sebab kita bisa menangguk untung berlipat. Tetapi, belum-belum si menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menegaskan kenaikan harga minyak mengakibatkan subsidi BBM naik dan anggaran belanja juga harus naik. Sumpah mati saya tak mengerti logika ini. Bukankah dulu tahun 70-an, Indonesia kelimpahan untung begitu banyak ketika harga minyak naik, dan keuntungan itu sebagian untuk membangun negara dan sebagian dikantongi Soeharto, militer dan kroninya. Kok sekarang tak bisa? Mengapa?

Kalau nilai tukar rupiah melemah melawan dolar, saya sedikit mengerti. Misalnya, tempe dibuat di Indonesia. Bahan mentahnya, yakni kedelai diimpor dari sebuah negara di Amerika Selatan. Membayarnya dengan dolar Amerika. Kedele itu diolah lalu dijual dalam rupiah. Pabrik tempe mengambil untung dari selisih nilai dolar dan rupiah itu. Apabila dolar naik, maka selisih semakin kecil. Dia masih dapat untung jika tetap menjual dengan harga sekarang. Hanya saja setelah itu dia akan bangkrut sebab keuntungannya tak cukup untuk beli kedele yang dijual dalam dolar AS. Oleh sebab itu, harga tempe harus naik. Demikian juga harga-harga barang konsumsi yang masih menggunakan bahan baku impor.

Persoalannya adalah sebagian besar sembako masih membutuhkan impor. Beras, diimpor. Minyak goreng masih menggunakan bahan campuran yang diimpor. Pakan ternak juga. Mi instan juga perlu gandum impor. Jadi semuanya naik. Sudah tahu begini, pemerintah kelihatannya juga tak mencoba mengatasinya. Kita seperti semut yang akan mati di timbunan gula. Tanah kita yang subur ternyata tak mampu menumbuhkan segala kebutuhan kita. Kita harus beli dari tanah lain.

Nah, di tengah-tengah ini ada kampanye presiden. Entah apa yang akan mereka janjikan untuk mengatasi hal-hal mendasar seperti ini. Saya yakin apapun janji mereka untuk mengatasi persoalan ini tak ada yang dapat dilaksanakan sebab aturan main yang berlaku saat ini adalah aturan yang tak dibukukan dalam undang-undang. Mereka bisa berhasil mengatasi masalah ini jika mereka memakai cara yang tak terdapat dalam undang-undang juga.

Kalaupun mereka mau pakai undang-undang, maka mereka harus menggunakannya dengan saklek. Hanya ada intepretasi tunggal atas sebuah perundangan, tak ada kompromi. Itu pun baru akan jadi sebuah contoh, belum tentu akan jadi sistem yang akan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.

Contoh akan jadi sistem apabila terus menerus dilakukan, dan bukan hangat-hangat tai ayam!

Begitu dah!



No comments: