17 May 2004

Sistem Kesalahan Kolektif

Saya sering jengkel saat mengemudi di jalan di mana banyak angkutan umum: metro mini, kopaja, angkot. Sebab, mereka selalu seenaknya sendiri. Seolah-olah cuma mereka yang punya kepentingan khusus, yakni mencari uang untuk menguber setoran dan untuk diri dan keluarganya sendiri, orang lain tidak. Dalam bahasa susah: "Ends justify the means". Apapun sah dilakukan oleh para pengemudi angkutan umum itu asal tujuan tercapai. Betapa mulia!

Seorang kawan yang saya paksa mendengarkan keluhan saya mengenai angkutan umum ini, memberi informasi lain. Secara personal dia memang mengiyakan pendapat saya, tetapi dia memberi fakta lain. Suatu ketika, dia naik angkot. Jalan macet dan angkot yang dia tumpangi mencoba segala upaya melakukan apa yang seharusnya dilakukan pengemudi angkot lain: mengambil jalur dari arah sebaliknya untuk menyalip dan kemudian dengan tiba-tiba dan memaksa kembali ke jalur kiri apabila ada kendaraan dari depan yang tak bisa ia paksa minggir, misalnya truk Pertamina atau kendaraan besar lainnya. Nah, saat akan kembali ke kiri, ada pengemudi mobil pribadi yang tak memberi ruang, si supir angkot langsung mencak-mencak: "dasar gila, mau menang sendiri, mentang-mentang mobil pribadi, enggak mau ngalah sama angkot." Padahal, kalimat tadi seharusnya diucapkan si pemilik kendaraan pribadi tadi. Intinya adalah, pengemudi mobil pribadi akan menyalahkan angkutan umum dan pengemudi angkutan umum akan dengan lebih galak lagi memarahi pemilik mobil pribadi.

Saya pernah mencoba ber-empati terhadap pengemudi angkutan umum. Saya memang maklum dengan apa yang mereka lakukan, tetapi cara itu bukanlah cara yang benar menurut hukum. Jadi, seharusnya mereka tertib saja.

Sayangnya, fakta di lapanga lain. Ada banyak sekali angkutan umum yang mencoba mencari uang. Di beberap jalur, angkutan umum bahkan melebihi kapasitas penumpang. Sehingga, persaingan menjadi sangat keras. Untuk mengatasi itu, para pengemudi harus melakukan apa saja, termasuk melanggar peraturan dan mengacuhkan kepentingan pengguna jalan lain. Dapat diasumsikan jumlah uang yang diperoleh pengemudi berbanding lurus dengan kenekadan si pengemudi. Semakin gila, semakin banyak uang. Sebuah keabsurdan yang teramat nyata.

Tetapi, sekali lagi itu salah, menurut hukum. Tetapi sekali lagi karena keadaan ekonomi sulit, penjaga ketertiban, entah itu polisi, DLLAJ, pamong praja, maklum. Apalagi jika mereka diberi "gizi".

Di Indonesia, sebenarnya banyak yang salah. Tetapi kesalahan itu dibiarkan terus terjadi sebab apabila dilarang, maka akan terdapat terlalu banyak orang miskin. Jadi kehidupan kita sehari-hari, didasarkan atas hukum yang salah.

Atau, jangan-jangan justru hukumnya yang salah. Sudah tahu orang Indonesia tak bisa menunggu dan turun di halte, masih saja dibuat halte di mana. Sudah tahu orang Indonesia lebih senang menunggu di pertigaan atau perempatan jalan menunggu angkutan umum, masih saja membuat terminal yang terlalu jauh. Sudah tahu orang Indonesia suka menyebrang di mana saja, masih saja membuat jembatan penyebrangan atau zebra cross. Dengan ini, kita dapat artikan bahwa, orang-orang yang kita percaya dapat membuat peraturan dan hukum demi ketertiban malah tidak mampu memahami irama hidup manusia Indonesia.

Jadi kalau dirangkum. Ada kelompok orang yang akan membuat peraturan dan hukum supaya kehidupan menjadi aman tertib dan nyaman. Dalam pelaksanaannya, ada aparat yang bertugas memastikan semua peraturan ditaati. Tetapi karena peraturan itu tidak membuat kebanyakan anggota masyarakat, maka kelompok masyarakat ini akan menciptakan sebuah kebiasaan sendiri yang mereka rasa nyaman, kendati cara itu sama sekali tidak sesuai dengan peraturan dan hukum yang ada. Aparat yang seharusnya menjaga peraturan dengan terpaksa menerima kenyataan itu dan membolehkannya, apalagi mereka secara ekonomis diuntungkan. Jadi, terbentuklah sebuah kebiasaan baru yang lebih aktual, bukan imajiner.

Singkatnya, ada sistem hukum yang diciptakan berdasarkan idealisme. Ada sistem sosial yang diciptakan berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat. Yang kedualah yang dijalankan.

Dalam cakupan yang lebih besar, asumsi ini juga dapat diterapkan, koq. Ada sistem pemilu presiden yang memungkinkan tiap individu untuk secara bebas aktif menentukan pilihannya sendiri. Ada juga sistem sosial di mana seorang kuat akan menentukan apa yang harus dilakukan oleh sekelompok massa yang lebih besar.

Sehingga, tak ada kewajiban untuk selalu taat peraturan yang ada. Lebih nyaman ikuti kebiasaan saja. Kendati salah, tetapi lebih membuat kita jadi anggota masyarakat biasa.

Dan tak ada kok yang akan bilang kita dungu karenanya!

No comments: