12 July 2004

Adil

Putus asa. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kegagalan kita mengharapkan keadilan sesuai perundangan dijalankan dengan sejujurnya oleh aparatur pengegak keadilan: polisi, jaksa dan hakim.

Entah alasan apa yang pantas untuk menjustifikasi keberadaan mereka saat ini di antara masyarakat. Ketiga fungsi penertiban sosial tadi tak ubahnya seperti pedagang saja. Mereka memiliki jasa yang diperjualbelikan layaknya pedagang sayur di pasar saja. Ada tarif untuk berbagai jenis jasa. Harganya sangat tergantung pada tingkat kerumitan problem yang dihadapi pembeli.

Secara teoritis, apabila ada sekelompok orang banyak berkumpul di satu tempat tentu memerlukan aturan main yang adil dan memaksa. Sebab kalau tidak, pasti ada sekelompok orang yang akan terus menerus menang dan sebaliknya, ada anggota masyarakat yang selalu jadi korban. Jadi orang kaya dan berkuasa tidak diperkenankan menguasai seluruh sumber makanan dan minuman. Maksudnya supaya orang lain memiliki akses mengelola sumber itu.

Untuk menjaga aturan itu, maka sebuah masyarakat memerlukan polisi yang bertugas menjaga peraturan tidak dilanggar, memberi informasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai peraturan yang berlaku dan menangkap orang yang nekad melanggar. Agar tidak dikira sewenang-wenang, maka masyarakat memerlukan jaksa yang bertugas menuntu ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Demi keadilan, maka diperlukan seorang hakim yang harus melihat seluruh fakta yang terjadi, dari pihak kepolisian dan kejaksaan serta dari pihak yang dikenai dakwaan. Lalu hakimlah yang menentukan apa yang akan terjadi berikutnya.

Praktisnya, ya tidak ada yang begitu. Polisi dapat tidak menangkap seseorang apabila ada uang. Apabila fakta-fakta lapangan tidak memungkinkan seseorang mau tidak mau harus ditangkap, maka dia dapat mempengaruhi jaksa untuk membuat tuntutan yang biasa-biasa saja, yang dengan mudah dipatahkan oleh tim penasihat hukum terdakwa. Ini dapat terjadi apabila ada uang. Apabila masih berlanjut ke pengadilan, maka si terdakwa masih dapat berharap dari hakim. Barangkali saja uang akan membebaskannya. Ini fakta yang ada sekarang ini. Jika dianologikan, trio polisi-jaksa-hakim adalah pemain dalam kubangan yang sama.

Dalam konteks semacam inilah pernyataan Jaksa Agung MA Rachman jadi aneh. Dia bilang di Tempo interaktif, 12 Juli 2004, mengharapkan penggantinya berasal dari jaksa karir. Adakah itu berarti jaksa dengan karir menerima uang dari berbagai tingkatan? Jika ini terjadi, ya, kacau balau. Bukan berarti tak ada jaksa jujur saat ini, tapi ya itu tadi, itu kubangan. Masak iya membersihkan badan dari air kubangan. Kotor juga kan hasilnya?

Menurut saya, dari tiga rantai polisi-jaksa-hakim, harus ada perbaikan di dua rantai terakhir: jaksa dan hakim. Kalau polisi, sudahlah... pasrah saja kita. Caranya bagaimana? Pecat dengan mendadak seluruh jaksa dan hakim secara serentak. Sebelum mengumumkan pemecatan, mintalah anggota masyarakat untuk mengisolasi gedung kejaksaan dan pengadilan. Umumkan pemecatan pada malam hari, sehingga para jaksa dan hakim tak sempat membakar berkas-berkasnya.

Setelah itu, seleksi ulang dari para mantan pegawai kejaksaan dan kehakiman, mulai dari tukang sapu hingga ke pimpinan. Ini perlu sebab seluruh jajaran kedua lembaga tadi memang berpartisipasi dalam pembengkokan undang-undang. Mereka yang terpilih diminta langsung bekerja untuk menganalisis kasus-kasus yang ada. Lalu mereka diminta memberlakukan perundangan dengan setegas-tegasnya. Tentu saja mereka harus digaji besar karena resiko dan kerja mereka memang berat.

Tetapi untuk menjalankan itu, perlu orang yang nekad dan berani mati. Adakah orang semacam itu di Indonesia? Ada, hanya saja mereka bukan pemimpin. Orang seperti itu banyak di negara kita ini dan biasanya mereka hanya jadi peserta kuis-kuis adu berani dan adu malu atau adu nekad di tv-tv?

Sayang sekali.......

No comments: