09 June 2004

Rasa Malu

Dari mana datangnya? Saya mencoba mencari tahu dengan berkeliling di internet. Ada yang menulis lebih baik mengenali malu dengan cara menggandengkannya dengan kata cemas. Resikonya, kita akan terjebak pada debat kusir seperti dalam kasus "telur sama ayam duluan mana?" Terkadang rasa malu timbul terlebih dulu dan akhirnya membuat cemas yang nampak dalam ekpresi bahasa tubuh; dan sebaliknya kelihatannya kecemasan muncul dulu dan menyebabkan seseorang jadi malu. Dalam keduanya ada situasi eksternal yang mempengaruhi si pemilik rasa malu. Jadi rasa malu itu adalah perasaan tak nyaman ketika: berada di antara orang banyak, berbicara dengan orang lain dan meminta tolong orang lain (www.wordiq.com)

Rasa malu biasanya melekat pada anak kecil. Ia malu ketemu orang lain. Semakin dewasa anak, rasa malu itu akan berkurang, apalagi jika seseorang merasa nyaman di dalam situasi yang dihadapinya. Kendati demikian, tiap orang dewasa punya tendensi untuk merasa malu.

Rasa malu bisa menjadi bagus, bisa juga tidak. Rasa malu bisa jadi pangkal segala perbuatan bajik, karena ia mencegah orang untuk berbuat seenaknya sendiri. Seorang jadi punya kontrol atas dirinya sendiri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan mendeskreditkan namanya.

Rasa malu juga bisa memicu tindakan kriminal. Misalnya ada seorang perempuan yang hamil di luar nikah, janinnya coba digugurkan, atau membunuh bayinya begitu terlahir. Padahal janin atau bayi itu hanyalah sekedar hasil dari perbuatan yang tidak malu-malu. Jadi yang harus dihabisi bukan janin atau bayi itu, melainkan rasa tidak malu-malu ketika melakukan persetubuhan. Logika ini juga bisa diterapkan untuk kasus korupsi: saat melakukannya tak malu, tapi begitu dihukum malu, orang tua malu apabila anaknya tak naik kelas karena masyarakat akan menganggap anaknya tak pandai atau bengal, tetapi tidak malu ketika anaknya tidak belajar sebab masyarakat tak tahu anaknya tak belajar (Oleh: Margaretha Sih Setija Utami)

Rasa malu juga dapat menyebabkan orang jadi fatalis. Misalnya, Tupiyanti (25), seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di plafon rumah kontrakannya, disaksikan anak satu-satunya di Kampung Cibeurih, Desa Galumpit, Kecamatan Plered, Purwakarta, Selasa (24/2). Anak sekecil itu dipaksa untuk melihat sang ibu yang meregang nyawa secara perlahan. Penyebabnya diduga Tupiyanti tak kuat menahan malu lantaran terus-terusan ditagih utang sebesar Rp 50.000,00 (kolom tajuk Pikiran Rakyat).

Bila disimpulkan, rasa malu terkait dengan ruang privat dan ruang publik. Seseorang tak akan merasa malu apabila dia berada di situasi personal yang ia kuasai sendiri; sebaliknya orang akan malu apabila dia berada di situasi yang disangkanya dapat membuka tabir hidup personalnya. Itu sebabnya, sepasang kekasih bermesraan tak malu, tetapi malu ketika si perempuan hamil di luar nikah.

Nah, bagaimana apabila orang yang seharusnya malu malah tak malu. Misalnya, seorang artis membuka tabir pakaian dalamnya di media publik. Atau, ketika Akbar Tanjung langsung memimpin delegasi DPR berkunjung ke luar negeri padahal dia baru saja dikenai hukuman tiga tahun. Wah, kalau ini sekarang sedang trend di Indonesia. Budaya tak tahu malu. Jadi, tak heran pula situasi Indonesia kacau balua sebab orang sudah tak punya kontrol atas perbuatan baik-buruk, benar-salah. Motivasi terpenting dari tindakan manusia Indonesia saat ini adalah - dalam istilahnya Darwin - "survival of the fittest". Hukum rimba!

Adakah yang masih memiliki rasa malu di antara kita? Menurut saya, sebaiknya malu dikeluarkan saja dari kamus Bahasa Indonesia, sebab itu membuat orang Indonesia jadi tak sederajat. Misalnya ada orang yang korupsi trilyunan tanpa malu-malu, tetapi ada orang yang bunuh diri gara-gara uang lima puluh ribu.

Sepertinya kacau banget nih negara kita ya?

No comments: