29 April 2004

Siapa Yang Kuat?

Adakah orang yang kuat bukan karena kita anggap dia kuat, melainkan kuat karena dirinya sendiri? Mungkin ada, tetapi dalam lingkup teramat kecil. Misalnya, seorang kepala rumah tangga, dalam hal ini pria, haruslah kuat mengatur organisasi rumah tangganya. Dia akan tambah kuat apabila istri dan anak-anaknya menganggapnya kuat. Dengan keadaan itu, dia mungkin akan mengatur rumah tangganya dengan baik, jika dia demokratis, ataupun dengan buruk, jika dia seorang otoriter.

Dalam lingkup yang lebih besar dari keluarga, yakni lingkungan tetangga, seseorang akan merasa dirinya kuat apabila dia secara ekonomi mampu, secara intelektual terdidik, secara usia dia cukup tua. Dia akan merasa dirinya kuat. Tetapi apakah keadaan ini akan membuatnya mampu mengatur lingkungannya, misalnya jadi ketua RT? Belum tentu. Sebab dia harus berdialog dengan para tetangganya supaya dia dianggap kuat.

Dalam organisasi lain juga begitu. Misalnya tempat kerja. Atau kelompok hobinya. Model ini juga dapat diproyeksikan ke dalam negara. Pertanyaannya, sekali lagi: adakah orang yang kuat itu?

Wiranto? Bahkan di Golkar pun ia kalah kuat dibanding Akbar Tanjung kendati dia memenangi konvensi. Akbar Tanjung? Ah, dia sudah kalah dalam segala hal. Amien Rais? Kuat di PAN atau di Muhammadiyah, tetapi tak cukup kuat dalam lingkup bangsa. Gus Dur juga begitu. Megawati juga. Singkat kata, ketiga orang yang disebut terakhir adalah jago kandang. Eh, ternyata, istilah ini juga dapat diterapkan pada semua nama-nama yang biasa disebut sebagai calon pemimpin.

Jadi tak ada calon pemimpin yang dapat kita anggap kuat, dong? Memang tak ada. Itu sebabnya semua orang mencari teman untuk menambah kekuatannya. SBY main sama Jusuf Kalla. Mega dan Wiranto berusaha main bareng Hasyim Muzadi, si ketua NU. Gus Dur memang kelihatannya tak mau main sama siapa-siapa, tetapi dia hanya mau mengambil orang yang kuat saja untuk jadi anak buahnya. Jadi, seperti ada gerombolan-gerombolan.

Padaha menurut saya yang kuat cuma militer. Bukan karena mereka punya senjata. Tetapi mereka kuat karena mereka berusaha mengumpulkan dan menjaga kekuatan yang sudah terkumpul. Dan merekalah sebenarnya yang menjalankan negara ini. Mereka tahu itu. Dan tanpa harus berteman dengan siapapun, kemampuan mereka tak berkurang, cuma mungkin jadi kelihatan tak pantas. Analoginya, seperti preman ngurusi pasar. Sebab itu mereka secara verbal mengatakan bahwa mereka netral.

Biar begitu, masih saja ada orang yang membujuki mereka ikut jadi teman. Kalaupun tidak bisa ya bekas militer juga bolehlah. Maka tak perlu heran bila Wiranto dan SBY jadi kandidat presiden.

Maka boleh dibilang, jalannya Indonesia tergantung militer. Jika militer mau ada pemilu presiden aman, ya dia bikin aman. Bila tidak, ya tidak. "Jadi mereka tak bertindak demi NKRI dong?" Memang tidak. Mereka akan melakukan segala yang perlu demi keuntungan sendiri. Jargon NKRI kan sama saja jargon yang biasa dipakai sipil "Brantas KKN".

Akhirnya, kalau mau lihat Indonesia nantinya seperti apa ya lihat saja militer akan kebagian apa. Bila kekuasaan mereka secara hakiki terkurangi, mungkin Indonesia tak akan pernah aman. Setidaknya itu yang akan terjadi hingga 2009.

Begitulah menurut saya!


23 April 2004

Menciptakan Kebenaran

Adakah yang namanya untung? Ada lah! Istilah ini identik dengan dagang. Kita ambil barang dua ribu, kita jual tiga ribu. Untung seribu. Jadi kata "untung" memang ada rujukannya di dunia nyata.

Apakah untung dapat diterapkan di dunia selain dagang? Oh ya, tentu saja bisa. Ada istilah ilmiah di ilmu sosial, khususnya komunikasi, yakni: economy of the truth! Maksudnya adalah apabila seseorang atau sekelompok orang yang diuntungkan oleh satu atau beberapa kebenaran. Misalnya: kemarin ada wabah deman berdarah. Lalu para dokter berkata, "hindarkan diri anda dari gigitan nyamuk". Ini adalah kebenaran. Dan yang diuntungkan adalah para pedangan obat nyamuk.

Kalau begitu kebenaran bisa sengaja diciptakan supaya orang memperoleh untung, dong? Jawabnya: betul! Contoh sederhana begini. Misalnya ada sebuah keluarga yang memiliki anak. Karena keluarga ini tidak kaya, maka sang kepala keluarga tidak mampu menyediakan kebutuhan anaknya dengan berlebihan. Apabila anak laki-laki, dia tidak bisa membelikan mobil dengan remote control. Apabila anak perempuan, dia tak mampu beli boneka Barbie. Lalu kedua orang tua ini menciptakan "kebenaran" yang dapat menghindarkan anak-anaknya mengkonsumsi mainan yang mahal-mahal itu. Misalnya dengan mengatakan, "Mobil remot dan boneka barbie buatan Amerika, nanti yang untung Amerika kalau kita beli. Lebih baik main mobil-mobilan dari kulit jeruk bali dan beli boneka cepot saja. Kita harus bangga jadi orang Indonesia!"

Coba deh lihat sendiri. Pasti pernah mendengar, entah itu orang tua kita, guru, atasan, teman, bahkan pacar yang menciptakan satu pernyataan "kebenaran" karena dengan melakukan itu mereka untung. Atau ingat-ingat sendiri, barangkali saja kita pernah melakukan itu.

Karena untung-rugi juga ada dalam penciptaan kebenaran, maka dari itu kita tak harus percaya-percaya betul apapun kata orang, kendati si pengucap kalimat itu adalah orang yang memiliki otoritas atas kebenaran itu. Misalnya, kyai/ulama atau pendeta yang mengeluarkan pernyataan keagamaan, dokter dengan istilah-istilah yang kedengarannya indah untuk penyakit kelamin, atau hakim/jaksa yang menggunakan kata ulangan untuk membebaskan seorang tersangka, politisi yang berjanji akan memberantas KKN. Sebab semua pernyataan tadi mengikuti prinsip ekonomi kebenaran.

Lalu bagaimana menghadapi dunia yang seperti ini? Waduh... itu saya juga tak tahu. Ada filsuf yang bilang bahwa dunia pernyataan tadi adalah fenomena. Maksudnya, pernyataan tadi benar hanya pada saat itu dan di tempat itu saja dan tidak terkait dengan apapun di luar pernyataan itu sendiri. Misalnya ada yang bilang, "Saya adalah seorang kapiten." Itu artinya, ya dia adalah kapiten pada saat ia mengatakannya dan tak perlu dirujuk kalau dia hidup di laut. Singkatnya, tak perlu menghubungkan sebuah pernyataan dengan pernyataan lain sehingga pernyataan tadi seolah-olah memiliki makna lain.

Tetapi karena orang cenderung selalu mencoba memahami satu pernyataan dengan kerangka pikir lain, ada seorang pakar sosial lain yang bilang bahwa kebiasaan itu dapat menciptakan kenyataan dari kenyataan yang semu. Analoginya adalah seperti seekor anak kucing yang berdiri di depan cermin dan ia menganggap ada kucing lain di seberang sana. Istilahnya, hiper-realitas.

Dan hiperrealitas ini terkadang buruk sebab cenderung menuntun orang merealisasikan kenyataan berdasarkan imajinasinya. Misalnya, ada orang yang ingin membangun rumah. Ia survey ke berbagai perumahan. Ia membaca banyak majalah atau tabloid tentang arsitektur rumah. Dan akhirnya ia menghubungi jasa pembuatan desain rumah yang dilengkapi efek tiga dimensi. Ia telah membuat kenyataan; dan kenyataan itu kemudian mengendalikan dirinya. Ia jadi bekerja lebih keras, lebih tak mempedulikan kemaslahatan orang banyak, asal ia dapat uang untuk membangun impiannya itu. Well, ini sih masih wajar.

Tetapi coba bila ada seorang yang yakin bahwa dunia akan aman apabila dia yang menjadi pemimpin dan mengikuti segala cara yang dia inginkan? Ya, seperti sekarang ini..... datar semua. Tak ada yakin bahwa masa depan patut dipertimbangkan lagi....

Sungguh memilukan!

15 April 2004

Ketidakjelasan yang sangat jelas

Aduh, rasanya sudah lama sekali tak menulis. Memang sebenarnya juga tak ada ide yang pantas untuk ditulis. Habis, saya sejujurnya agak kecewa dan patah arang dengan hasil pemilu kemarin. Saya memang terkejut dengan komposisi hasil perolehan suara, tetapi itu bukan masalahnya. Yang saya tunggu adalah hasil itu cepat selesai dan segera diumumkan, supaya kita tak tertunda dalam mempersiapkan apa yang sepantasnya disiapkan.

Pada hari pertama seusai pemilu, jadi tanggal 6 april, saya masih maklum dengan perolehan suara yang masih seribu dua ribu. Namun pada hari-hari berikutnya, penambahan suara seperti dicicil. Waktu itu saya menduga, paling lama seminggu seluruh suara dapat dihitung. Dan sekarang, tanggal 15 april, belum ada 100 juta suara. Jadi masih ada kurang lebih 40-an juta suara yang belum terhitung. Itu sudah 10 hari.

Memang rada kacau perhitungan suara ini. Kecurangan yang biasa terjadi semasa Orba, dilakukan. Dan panwaslu serta orang-orang yang berkepentingan atas itu juga lalai. Sementara, KPU sebagai panitia pemilu juga kelihatan gagap dengan segala hal. Dalam perundangan, dalam percetakan, dalam pengiriman logistik, dalam perhitungan suara, mungkin juga nanti dalam pengaturan pemiliha presiden. Tapi, ya sudahlah... sebenarnya itu tak ada sangkut pautnya secara langsung dengan kehidupan sehari-hari saya, cuma ini menyebalkan saja... Keseluruhan proses ini makin membuat saya yakin bahwa tak ada satu pun orang Indonesia dapat dipercaya memimpin, tak peduli siapa dia!

Nah, terkait dengan pemimpin, sekarang juga sedang berlangsung, kata koran, lobi tingkat tinggi. Wah, para calon pemimpin itu sepertinya tak kapok juga dan tak menyadari jika rakyat itu bisa menghukum. Perolehan suara PDIP menurun adalah hukuman, juga perolehan suara PAN. Sebaliknya, suara banyak untuk Demokrat dan PK Sejahtera adalah hadiah.

Apa yang para elit lakukan sebenarnya sah saja, setidaknya begitulah ungkapan lisan tiap orang. Tapi dalam hati, seharusnya apa yang seharusnya tidak dilakukan ya jangan dilakukan. Elit itu harusnya tak bermain dengan daerah "abu-abu". Rakyat sudah lelah. Rakyat inginnya yang jelas saja. Sebut saja: saya ingin jadi pemimpin karena ini dan itu dan saya berdedikasi tinggi bagi rakyat semua, karena itu saya tak mau bergabung dengan parpol ini atau itu sebab hal itu akan menganggu keinginan saya memihak rakyat!

Tapi tak ada tuh yang begitu. Mereka masih khawatir dengan jumlah suara yang mereka peroleh. Meski suara itu berpengaruh untuk mencalonkan nama capres dan wapres tetapi itu tak berpengaruh terhadap bagaimana rakyat memilih orang.

Rakyat hanya akan memilih orang yang "kelihatannya" dan "kedengarannya" atau "rasa-rasanya" ada di pihak mereka. Jika mereka melihat dan mendengar X membela mereka, rakyat akan merasa pantas saja memilih X untuk menjadi pemimpinnya. Begitu sederhana.

Tetapi, para elit memang punya kepentingan lain. Jadi... biar saja mereka sekali lagi dihukum oleh rakyat.

Dan ternyata, bagi orang-orang seperti saya yang tidak terdaftar jadi pemilih, dapat mendaftar untuk ikut memilih presiden. Jadi, saya agak senang dan mau memanfaatkan hak pilih saya itu. Setidaknya itu adalah keinginan saya saat ini.
Entah besok......

02 April 2004

NGOTB

Pemilu tinggal beberapa hari lagi. Dan dua hari yang lalu, saya mendapati kalau ternyata saya tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Jadi, mungkin saya tak akan ikut nyoblos.

Sebenarnya bisa saja mengeluhkan hal ini ke RT, yang kemudian akan meneruskan hingga ke, entah KPU, entah Panwaslu. Tetapi tak saya lakukan, sebab kasihan saja: mereka sudah bekerja keras, di-grecokin sana-sini. Jadi dengan tidak mengeluhkan perihal ini, saya pikir setidaknya inilah yang bisa saya lakukan untuk mensukseskan Pemilu.

Golputkah saya? Menurut saya sih bukan. Golput adalah mereka yang sudah terdaftar menjadi pemilih tetap, mendatangi TPS, mengambil kertas suara, lalu masuk ke bilik suara, tetapi kemudian memilih untuk tidak memilih satu pun partai, atau nama caleg atau DPD. Dengan kata lain, golput adalah abstain.

Sedang saya kan tidak terdaftar. Mungkin saya boleh dibilang warga negara liar. Kalau meminjam istilah yang dipakai Pak Harto - presiden Orba itu - untuk mengidentifikasi orang-orang yang dituduh di belakang kerusuhan 27 Juli saat penyerbuan kantor PDI-nya Mega - saya dan orang-orang seperti saya adalah organisasi tanpa bentuk, disingkat OTB.

Waktu saya mengaitkan dengan ketidakikutsertaan saya di Pemilu, mungkin orang-orang seperti kami lebih pantas kalau disebut Gerombolan Tanpa Bentuk, disingkay GTB. Supaya kedengaran keren - dan sedikit memplesetkan boyband Amerika NKOTB (New Kids on the Block), maka pantas juga kalau singkatannya diperpanjang menjadi NGOTB = New Gerombolan On The Block!

Kendati saya tak nyaman dengan ini, tapi apa mau dikata: Pemilu kali ini, saya dipastikan hanya akan jadi anggota NGOTB saja.

Hidup NGOTB. Merdeka!!!