10 March 2005

Batas kita sampai mana


Harus ada batas. Semua hal harus ada batasnya.

Pertanyaannya: bagaimana menemukan batas itu? Kapan? Di mana?

Seringkali, apalagi saat bahagia, batas itu tak nampak. Jikapun terlihat, kita abaikan. Sebab batas tadi akan menghentikan kebahagiaan kita. Sebaliknya, apabila sedih, sang batas adalah impian yang minta segera diwujudkan, atau hadir, atau ada. Dan ini wajar, sangat manusiawi.

Problemnya: kita tak bisa hidup semanusiawi itu selamanya. Setiap saat kita dituntut untuk seperti Tuhan. Baik budi taat beribadah, menjauhi yang kejahatan, beramal kebajikan. Sementara di sekeliling kita ada materi yang harus dimiliki, ada kekuasaan yang harus kita punyai, ada benda-benda nyata dan tak nyata yang lebih mengasyikan untuk dilakukan. Nampaknya kita hidup di lingkungan yang salah. Seperti ayam yang harus hidup di belantara.

Batas, bagaimanapun juga adalah persoalan. Seringkali, batas susah ditentukan. Ada yang menyangka batas di lokasi tertentu, batas ditentukan oleh perilaku tertentu. Lawan bicara kita bilang kita sudah kelewat batas, sementara kita pikir masih belum seberapa.

Ketidakcocokan pemahaman atas batas pasti menimbulkan perselisihan. Bisa bertengkar mulut, bisa juga beradu fisik, bahkan sampai mati.

Batas adalah kesepakatan. Batas dosa dan tidak dosa adalah kesepakatan kita dengan Tuhan, kiyai atau pemuka agama tak punya wewenang mengintervensi. Batas legal dan illegal merupakan kesepakatan kita dengan negara. Batas tak bisa ditentukan sendiri. Batas adalah resultan dari dua atau lebih pendapat.

Begitulah. Batas kita dengan Malaysia tak akan selesai jika tak ada kesepakatan. Dan kesepakatan itu bisa kita peroleh dengan duduk berbincang atau berperang. Yang kalah akan kalah, yang menang boleh ambil semua.

Dan itu sah saja untuk sekali-kali dengan tegas mengatakan kepada orang lain di mana batas kita dan bagaimana rupanya.

No comments: