15 March 2004

Kampanye

Saya mencoba mencari-cari sesuatu yang menarik dari kampanye pemilu sekarang. Dan saya gagal. Calon legislatif yang mengajukan diri kebanyakan tak diketahui rimbanya. Sekali diketahui, ternyata orang yang dulu-dulu juga. Janji yang mereka ucapkan, ya.. cuma beda redaksional saja. Esensi (jika ada) sama. Tak peduli yang bicara itu orang yang telah begitu lama di politik atau mereka yang mencobai politik sebagai lahan baru.

Cara berkampanye juga sama. Ada orang-orang yang penuh semangat berorasi di hadapan segelintir orang yang tak sabar untuk segera berpawai, bersama segenap keluarga: istri dan anak-anak mereka. Kampanye, dari kacamata ini, seperti darma wisata. Dan amat salah jika KPU atau Panwaslu mengatakan perilaku ini sebagai pelanggaran.

Apabila ada massa yang lebih besar berkumpul di lapangan terbuka dan besar, menunggu idola politik mereka berorasi, keadaan jadi agak kacau. Sebab, semua orang di wilayah itu 'dipaksa' untuk ikut kampanye walaupun mereka sebenarnya bukan anggota partai itu, atau bahkan simpatisannya sama sekali. Tetapi karena mereka menghadapi gelombang massa yang lebih besar, terpaksalah mereka ikut kampanye dengan tidak membuka toko, menunda keberangkatan, membatalkan acara, dan bersabar. Padahal, si idola politik yang ditunggu datang begitu terlambat sampai penyusun kamus bahasa Indonesia mungkin harus menciptakan definisi baru. Mereka datang pun hanya untuk bicara paling lama 10 menit, lalu mencelat begitu saja.

Kampanye juga menyebabkan segala benda yang bisa dicantoli dan ditempeli jadi berwarna. Ada bendera merah, kuning, hijau, putih, atau kombinasi warna-warna itu. Posternya juga. Dengan ini, masyarakat tiba-tiba bisa menjadi kritikus seni. "Bendera itu jelek, bendera ini bagus, kertasnya murah, kertas ini mahal. Tak kreatif, masa logo partai saja sama. Dst, dll." Masyarakat juga seperti ikut kursus sempoa. "Parta nomer sekian, gambarnya ini." Jadi bolehlah, kampanye membuat "rasa" dan "logika" masyarakat lebih tajam.

Semoga saja "ketajaman" mereka juga menjadi alasan untuk memilih parpol yang "cukup" bersih dan mau membela rakyat. Mengapa cukup? Karena, mustahil menyebut parpol "bersih". Logikanya begini: politik adalah sebuah sistem. Di Indonesia, politik diakui lebih kotor ketimbang seni. Jadi, politik di Indonesia adalah seni kekotoran. Siapapun yang mau menerjuni politik di Indonesia harus bersedia kotor. Dengan mempertahankan sistem kekotoran ini, sistem politik berjalan. Ini logika politik kita. Lalu ada orang yang dengan serta merta berkata menerjuni politik dengan semangat bersih. Yah, tak mungkin lah. Pepatah bilang, "main api terbakar, main air basah." Demikian juga mereka nantinya. Jika terus bermain politik, tentulah akan kotor juga. Tak ada kesempatan mereka untuk bersih. Singkat kata, pemilu kali ini tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Kita akan tahu bahwa keadaan sesudah pemilu 2004 seratus persen mirip dengan keadaan yang kita miliki selama lima tahun terakhir ini. Istilahnya, "Deja Vu!"

Jadi, kembali ke keinginan tahu saya mencari sesuatu yang baru di kampanye kali ini, kegagalan saya mendapatinya telah memperoleh jawabnya. Saya sedih tapi bagaimana lagi. Perlu lebih dari sekedar pemilu untuk mengubah Indonesia kita ini. Amat menakutkan kemungkinan ini, tetapi, seperti kata pakar matematika di Jurassic Park edisi pertama, "life will find its way". Dan Indonesia akan menemukan jalan hidupnya sendiri, nanti, dengan resiko apapun.

Bersiaplah semua!

No comments: