20 February 2004

Profesi versus tau-apalah-namanya

Saya dapat email yang bercerita tentang sebuah rumah sakit mahal telah lalai, alpa, teledor, merawat seorang pasien anak orang kaya yang mampu membayar berapapun biaya yang dibutuhkan untuk kesembuhan anaknya. Si anak meninggal karena DB. Letak kealpaan rumah sakit itu adalah tidak menurunkan dokter terbaiknya, sebaliknya, hanya menugaskan perawat. Salah diagnosa, tidak kompeten merawat pasien dalam keadaan gawat.

Kemarin ada berita tentang Menteri Kesehatan Suyudi, Gubernur DKI Jakarta dan Taufiek Kiemas. Mereka menengok sebuah rumah sakit yang dibanjiri penderita DB. Bang Yos bilang pemprov DKI menyubsidi dana untuk perawatan orang miskin. Tetapi ketika ada seorang pasien miskin yang langsung mengeluh ke Menteri Kesehatan karena ia dipaksa rumah sakit mengganti biaya perawatan yang mahal, pak Menteri kehilangan kata-kata. Dia cuma minta pihak rumah sakit membereskannya.

Hujan yang belakang hari turun semakin deras, selain menyebabkan banyak penyakit, juga adalah batu ujian bagi kekuatan sebuah konstruksi, khususnya jalan raya. Adalah kebiasaan setiap jalan pasti rusak kendati baru saja diperbaiki. Belum cerita, entah itu tanggul, Sekolah Dasar, pasar umum, semua rubuh sebelum satu tahun. Saya tak habis pikir saja. Penjajah Belanda - dengan teknologi abad ke 18 dan 19 saja, mampu membangun konstruksi yang tahan hingga puluhan, atau mungkin ratusan tahun. Adakah teknologi konstruksi telah demikian mundurnya, sehingga seluruh konstruksi yang dibangun orang Indonesia sendiri di abad 21 sedemikian rapuhnya. Sebuah paradox yang mengenaskan.

Tapi saya teramat terharu ada seorang pemegang dua gelas kesarjanaan mengabdikan diri di belantara hutan Riau mengajari anak-anak suku Anak Dalam. Dan saya yakin masih ada satu dua orang yang berprofesi khusus mengabdikan diri karena merasa yakin bahwa profesi yang ia emban dan segala macam ilmu yang ia peroleh harus berguna untuk masyarakat. Ia bertindak atas nama profesinya an sich.

Kendati mereka tahu ada realitas eksternal yang harus mereka hadapi dan juga penuhi. Tetapi mereka mendahulukan profesi mereka. Tugas dokter adalah merawat yang sakit. Seorang sarjana tekhik adalah membuat konstruksi yang kuat dan tahan lama.

Tulisan ini bukan untuk menggarisbawahi kedua profesi di atas. Saya niatkan itu hanya jadi model saja bagi kita untuk melihat profesi lain dan profesi diri sendiri.

Yang bikin saya sedih, saya tidak punya profesi yang khusus...

No comments: