04 August 2008

TUA MUDA

Malam minggu di rumah menonton pertandingan sepakbola antara Arsenal dan Juventus. Ada kontras di sana. Arsenal dipenuhi pemain muda usia, Juventus sebaliknya. Tetapi kedua tim bermain dengan kualitas yang sama. Bahkan pemain Arsenal cenderung lebih ofensif dalam tingkat kematangan yang sama dengan para pemain Juventus. Mungkin karena main di kandang sendiri.

Saya sih terkagum-kagum saja melihat permainan bola kelas tinggi dimainkan dengan apik oleh anak-anak muda. Kok bisa? Kok di negeri kita tak bisa? Kalau mau repot-repot mencari penjelasanny, well, kita akan dapat banyak jawaban. Mungkin fasilitas, kultur, sistem edukasi atau faktor pelatih, tetapi yang pasti bukan karena faktor manusia. Sebab, manusia di mana-mana sama. Jika ada pembunuh berantai (terminologi yang aneh: kalau dirantai bagaimana bisa membunuh....) di Amerika yang mengubur mayat-mayatnya di dasar rumahnya, di Indonesia juga ada tuh. Sebab itu, jika ada anak-anak berusia muda dari pelbagai penjuru dunia dan berkumpul di Arsenal dan memainkan bola bagus, harusnya ada jugalah anak-anak Indonesia yang bisa bermain sebagus mereka. Apalagi, jika kita menimbang sejarah, banyak sekali orang Indonesia di masa lalu yang memiliki prestasi melebihi orang-orang Eropa. Sebut saja Tan Malaka yang berhasil memenangkan kursi di dewan perwakilan Belanda mewakilui partai buruh pada saat berusia 20-an tahun, mengungguli ketua partainya sendiri yang notabene orang Belanda asli. Anak Indonesia, bukanlah anak-anak terbelakang terlepas dari makanan, gaya hidup, cara dibesarkan, dan dipimpin oleh koruptor.

Apakah usia memang harus jadi isu? Ya! Sebab, dalam dua dekade terakhir, prestasi anak muda berbanding lurus dengan kecepatan informasi. Kok? Informasi cenderung bebas, dan mengalir demikian cepatnya, apa yang terjadi di belahan dunia lain, dalam hitungan detik, dapat diketahui oleh mereka yang tinggal di sisi yang lain. Informasi ini telah membuat orang yang mengaksesnya berkembang sedemikian cepatnya karena orang-orang ini dengan cepat pula menggunakan informasi itu untuk kepentingan dirinya, untuk kemajuan dirinya. Anak muda cenderung lebih adaptif dengan informasi sebab mereka masih terbilang cukup murni, tanpa beban, dan memiliki visi tanpa menyadari bahwa di masa datang begitu banyak yang harus dihadapi. Tetapi biar begitu, mereka maju pantang mundur. Alih-alih tertelan oleh sistem, mereka mendobrak sistem. Ini yang terjadi dengan sepakbola. Ketika Ronaldo yang masih muda menjadi pemain termahal, dengan segera digantikan oleh Michael Owen, dan seterusnya.

Singkat kata memang perlu lokomotif. Harus ada yang mencoba. Syukur-syukur, yang mencoba itu gerombolan, kelompok besar. Sehingga, daya dobrak kian besar. Sekali terdobrak, gerbong lain akan dengan sendirinya tertarik masuk.

Ini yang saya harapkan dari wacana yang dikembangkan oleh PKS yang meminta tokoh tua mundur. Sebenarnya ini bukan hal baru sebab di bidang-bidang lain, para muda Indonesia sudah mulai menggejolak, bukan dengan demo, tetapi dengan karya, dengan prestasi.

Saya dukung ini bukan berarti saya fans PKS. Saya cuma sudah bosan aja dengan orang-orang yang itu-itu juga. Kita telah berisiko menjadikan mereka pemimpin dan hasilnya juga boleh dibilang sama dengan rezim terdahulu. Saya pingin para muda yang memimpin, ambil resiko itu, moga-moga hasilnya beda. Kalaupun gagal, kita cuma kehilangan lima tahun. Tetapi kita bisa bangga bahwa kita pernah mencoba. Dan kita bisa mati dengan tanpa rasa sesal!

No comments: