04 December 2013

Pemimpin itu milik saya

Entah sudah berapa lama, rakyat – orang banyak – dijauhi oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pemimpin mereka. Di awal kemerdekaan Indonesia, semua orang di pelosok negeri merasa mereka adalah satu kata dan perbuatan dengan orang-orang di Jakarta: mereka benar-benar terwakili.

Kelamaan para pemimpin Orde Lama juga menjauh sedikit-sedikit dari rakyatnya; mereka kemudian berbicara atas nama rakyat tetapi bermaksud menang sendiri; ini terlihat misalnya dari jaman pergantian cabinet, pemberontakan di beberapa daerah.

Orde Baru di awal pemerintahannya juga mewakili emosi massa, tetapi bulan madu itu hanya sebentar saja sebelum akhirnya para pemimpin Orde Baru berbuat semaunya sendiri. Ini bisa berakhir setelah banyak orang nekad demo di tahun 97-98.

Hiruk pikuk kepemimpinan nasional kemudian benar-benar diambil alih oleh para elit politik dan orang-orang kaya setelah tahun 1999. Rakyat benar-benar dijauhkan sama sekali dari membuat keputusan. Mereka diperlukan untuk ramai-ramai saja: demo, kampanye, kerusuhan. Selebihnya mereka ya jadi boneka saja.

Bukannya rakyat tidak mau ikut tetapi saluran partisipasi tertutup oleh uang dan oligarki kekuasaan. Rakyat dipaksa melewati alur itu jika mau didengar.

Untunglah ada internet, ada berbagai aplikasi media social yang memberdayakan jeritan masyarakat. Ini adalah pelarian dari jejaring politik resmi yang dikuasai uang dan kekuasaan.

Lewat jejaring media social, rakyat mengekspresikan dirinya, aspirasinya dan keinginannya; juga dukungan dan penolakan; juga kritik dan sumbang-saran; berdiskusi dengan cara kasar dan bijak sekaligus; melahirkan gerakan social bebas uang dan politik, memperbaiki kehidupan bermasyarakat.

Sasaran terakhir: memperbaiki kehidupan masyarakat belum tercapai, sulit tercapai tanpa ada pemimpin yang bisa dipercaya. Dalam konteks inilah kemudian Jokowi jadi primadona. Ia kelihatannya bisa dipercaya... untuk saat ini.

Dia berpikir, bertindak, berkata, berbuat, mewakili banyak orang yang gemes dengan keadaan dengan cara yang santun, cengengesan, khasa Jawa. Lebih asiknya lagi, ia didampingi Ahok yang ceplas-ceplos, kasar, tanpa tedeng aling-aling yang telah mengakomodir kemarahan rakyat.

Singkat kata, Jokowi dan Ahok adalah rakyat. Mereka berdua adalah saya, begitu perasaan banyak orang. Sehingga ketika ada orang-orang, terutama mereka yang berasal dan diidentikan berasal dari golongan kaya dan berkuasa mengkritik Jokowi-Ahok, serentak rakyat membela mereka berdua. Meskipun kadang mereka juga membela dengan gelap mata. Hmm.. setidaknya itulah yang terlihat dalam kolom komentar kompas.com dan detik.com.


Kenapa mereka marah? “Sebab,” kata rakyat, “pemimpin itu milik saya dan kalian orang-orang tak bermoral yang korup, tidak berhak mbacot mengenai mereka karena yang dilakukan pemimpin saya itu adalah apa yang ingin saya lakukan dan seharusnya dilakukan untuk kebaikan bersama, bukan kebaikan sekelompok orang saja.”


17 October 2012

Virtual Parliament

Social media katanya sudah menjadi alat lumayan ampuh untuk menyampaikan pendapat publik. Baru-baru ini, ada kisah sukses social media - SaveKPK. Sebelumnya, social media telah memberi sumbangsih kesuksesan Jokowi jadi Gubernur DKI.

Jika memang demikian, mengapa tidak menggunakan social media untuk mengendalikan pengelolaan pemerintahan dan publik. Dalam konteks ini, apa salahnya para penggiat social media membentuk dewan perwakilan rakyat virtual?

Memang harus ada satu ada dua atau kelompok kecil orang yang menjadi tim lapangan. Tugasnya adalah mempublikasi aktivitas yang ada.

Saya pikir, kepemimpinan Jokowi memungkinkan itu. Dengan semangat transparansi, para penggiat social media dapat berpartisipasi mengurusi Jakarta.



Jadi, kita bisa menggalang kampanye kebersihan kota. Dari sini pasti akan muncul ide-ide kreatif dari masyarakat. Lalu para anggota komunitas DPRD virtual akan mencari informasi mengenai program kebersihan dari Pemda DKI, mempublikasikan anggaran yang disediakan, memantau kemajuan pelaksanaan program dan melaporkan ketidak-benaran. Usul masyarakatpun dapat diakomodasi ke dalam program Pemda.

Saya pikir bila ini berjalan, rasa memiliki masyarakat terhadap program pembangunan akan semakin menguat.