Entah sudah berapa lama, rakyat – orang banyak – dijauhi
oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pemimpin mereka. Di awal kemerdekaan
Indonesia, semua orang di pelosok negeri merasa mereka adalah satu kata dan
perbuatan dengan orang-orang di Jakarta: mereka benar-benar terwakili.
Kelamaan para pemimpin Orde Lama juga menjauh
sedikit-sedikit dari rakyatnya; mereka kemudian berbicara atas nama rakyat
tetapi bermaksud menang sendiri; ini terlihat misalnya dari jaman pergantian cabinet,
pemberontakan di beberapa daerah.
Orde Baru di awal pemerintahannya juga mewakili emosi massa,
tetapi bulan madu itu hanya sebentar saja sebelum akhirnya para pemimpin Orde
Baru berbuat semaunya sendiri. Ini bisa berakhir setelah banyak orang nekad
demo di tahun 97-98.
Hiruk pikuk kepemimpinan nasional kemudian benar-benar
diambil alih oleh para elit politik dan orang-orang kaya setelah tahun 1999.
Rakyat benar-benar dijauhkan sama sekali dari membuat keputusan. Mereka
diperlukan untuk ramai-ramai saja: demo, kampanye, kerusuhan. Selebihnya mereka
ya jadi boneka saja.
Bukannya rakyat tidak mau ikut tetapi saluran partisipasi
tertutup oleh uang dan oligarki kekuasaan. Rakyat dipaksa melewati alur itu
jika mau didengar.
Untunglah ada internet, ada berbagai aplikasi media social yang
memberdayakan jeritan masyarakat. Ini adalah pelarian dari jejaring politik
resmi yang dikuasai uang dan kekuasaan.
Lewat jejaring media social, rakyat mengekspresikan dirinya,
aspirasinya dan keinginannya; juga dukungan dan penolakan; juga kritik dan
sumbang-saran; berdiskusi dengan cara kasar dan bijak sekaligus; melahirkan
gerakan social bebas uang dan politik, memperbaiki kehidupan bermasyarakat.
Sasaran terakhir: memperbaiki kehidupan masyarakat belum
tercapai, sulit tercapai tanpa ada pemimpin yang bisa dipercaya. Dalam konteks
inilah kemudian Jokowi jadi primadona. Ia kelihatannya bisa dipercaya... untuk saat ini.
Dia berpikir, bertindak, berkata, berbuat, mewakili banyak
orang yang gemes dengan keadaan dengan cara yang santun, cengengesan, khasa
Jawa. Lebih asiknya lagi, ia didampingi Ahok yang ceplas-ceplos, kasar, tanpa
tedeng aling-aling yang telah mengakomodir kemarahan rakyat.
Singkat kata, Jokowi dan Ahok adalah rakyat. Mereka berdua
adalah saya, begitu perasaan banyak orang. Sehingga ketika ada orang-orang,
terutama mereka yang berasal dan diidentikan berasal dari golongan kaya dan
berkuasa mengkritik Jokowi-Ahok, serentak rakyat membela mereka berdua. Meskipun kadang mereka juga membela dengan gelap mata. Hmm..
setidaknya itulah yang terlihat dalam kolom komentar kompas.com dan detik.com.
Kenapa mereka marah? “Sebab,” kata rakyat, “pemimpin itu
milik saya dan kalian orang-orang tak bermoral yang korup, tidak berhak mbacot mengenai mereka karena yang
dilakukan pemimpin saya itu adalah apa yang ingin saya lakukan dan seharusnya
dilakukan untuk kebaikan bersama, bukan kebaikan sekelompok orang saja.”